Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Internasional
  • Berlangganan
  • Log In
Primary Menu
  • Beranda
  • Terbaru
  • Topik
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Wawancara
  • Opini
  • Figur
  • Infografik
  • Video
  • Komunitas
  • Partner
  • Siaran Pers
  • Muda
  • Dunia
  • Kabar
  • Unggulan

Equalitera Artspace: Ruang Seni Disabilitas untuk Seni yang Lebih Inklusif

Equalitera Artspace hadir sebagai ruang seni yang mengusung prinsip kesetaraan dan inklusivitas, yang terbuka untuk para seniman difabel maupun non-difabel.
Oleh Indira Mustika
9 Desember 2024
Galeri Equalitera Artspace.

Galeri Equalitera Artspace. | Foto: Sukri Budi Dharma untuk Green Network Asia.

Daerah Istimewa Yogyakarta selama ini dikenal sebagai salah satu daerah yang kaya akan karya-karya kesenian. Di provinsi ini, ada banyak galeri seni yang menampilkan berbagai karya seniman dari berbagai penjuru daerah. Namun, ruang seni yang menampilkan karya dari orang-orang dengan disabilitas (difabel) masih terbilang terbatas. Terkait hal ini, Equalitera Artspace hadir sebagai ruang seni yang mengusung prinsip kesetaraan dan inklusivitas, yang terbuka untuk para seniman difabel maupun non-difabel. 

Isu Inklusivitas dalam Dunia Seni

Dunia kesenian, meski dikenal sebagai ruang ekspresi tanpa batas, seringkali belum sepenuhnya inklusif dalam berbagai praktiknya. Kelompok-kelompok marginal dan minoritas, seperti seniman difabel, masih kurang mendapatkan kesempatan yang setara, termasuk dalam menampilkan karya-karya mereka di ruang publik. Kurangnya kesempatan bagi seniman difabel untuk berpartisipasi dalam dunia seni tidak hanya membatasi ruang ekspresi mereka, tetapi juga mempersempit persepsi masyarakat terhadap seni sebagai medium universal. 

Laporan “Pemetaan Kesenian dan Disabilitas di Indonesia” yang diterbitkan oleh Pusat Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (PLD-UB) dan British Council mengungkap bahwa karya-karya seniman difabel sering kali diabaikan, atau jikapun mendapatkan apresiasi, hanya dipandang dari sudut rasa kasihan. Perspektif ini tidak hanya meremehkan kualitas karya seni yang dihasilkan, tetapi juga mereduksi posisi seniman difabel menjadi sekadar objek empati.

Di luar apresiasi yang tidak setara, seniman difabel juga menghadapi kendala akses terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan infrastruktur ruang kesenian. Misalnya, beberapa galeri seni dan tempat pertunjukan kerap tidak menyediakan fasilitas yang mendukung kebutuhan pengguna kursi roda. Ramp yang ada seringkali terlalu curam atau tidak sesuai standar. Selain itu, akses terhadap toilet yang ramah difabel dan guiding block bagi difabel netra juga sering tidak tersedia secara memadai.

Kondisi ini menciptakan hambatan bagi para seniman difabel untuk menampilkan karya mereka. Pada gilirannya, hal ini berdampak luas. Seniman difabel kehilangan peluang untuk diakui secara profesional dan berkontribusi lebih besar pada dunia seni, yang kemudian akan berdampak pada kesejahteraan mereka, terutama ketika mereka hidup dengan mengandalkan karya-karya yang mereka hasilkan. 

Equalitera Artspace sebagai Ruang Pamer Seniman Difabel

Di tengah tantangan tersebut , Equalitera Artspace hadir untuk menjembatani kesenjangan di dunia seni. Diinisiasi oleh Jogja Disability Arts, galeri ini didirikan untuk merespons kegelisahan para seniman difabel di Yogyakarta, yang selama ini kurang mendapatkan panggung. 

Berada di bilangan Ring Road Barat, Kalurahan Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Equalitera Artspace bertujuan memberikan ruang bagi seniman difabel untuk memamerkan karya mereka, mulai dari seni lukis hingga seni instalasi multimedia. Selain itu, galeri seni ini hadir untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya inklusivitas dalam kesenian.

Nama Equalitera diambil dari gabungan kata equality yang berarti kesetaraan, dan terra yang berarti tanah atau bumi, yang mencerminkan semangat untuk menciptakan ruang hidup yang merangkul kesetaraan. Selain itu, kata litera, yang berarti literasi atau pengetahuan, menunjukkan misinya sebagai tempat di mana seni, keterampilan, dan pengetahuan tumbuh dengan menghargai keberagaman.

Pameran perdana Equalitera menampilkan berbagai karya dari para seniman difabel, dengan pesan utama bahwa seni adalah medium yang mampu melampaui batasan fisik maupun sosial. Selain memamerkan karya, inisiatif ini juga menyediakan pelatihan seni bagi seniman difabel, memastikan mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan yang terus berkembang.

Selain mengusung inklusivitas dalam hal karya yang dipamerkan, Equalitera juga mempertimbangkan pengalaman pengunjung yang beragam. Ruang seni ini dirancang dengan aksesibilitas yang lengkap, seperti panduan audio untuk pengunjung difabel netra, deskripsi karya dalam braille, dan akses fisik yang ramah kursi roda. 

Mewujudkan Seni yang Lebih Inklusif

Seni yang inklusif bukan hanya tentang memberikan ruang yang setara bagi seniman difabel atau seniman-seniman dari kelompok marginal lainnya, tetapi juga tentang meruntuhkan stigma dan memperluas pemahaman akan kesetaraan. Dalam hal ini,  seni dapat menjadi sarana untuk mencapai perubahan sosial yang nyata—bukan hanya tentang estetika. Equalitera Artspace dapat menjadi inspirasi dan memperluas kesadaran akan pentingnya kesetaraan dalam dunia seni. Oleh karena itu, mengarusutamakan ruang-ruang seni yang merangkul dan terbuka untuk semua sangatlah penting untuk menciptakan dunia seni yang lebih inklusif. 

Editor: Abul Muamar


Berlangganan Green Network Asia – Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Pilih Paket Langganan

Continue Reading

Sebelumnya: Deforestasi yang Semakin Parah di Tengah Transisi Hijau
Berikutnya: Pemanenan Air Hujan untuk Atasi Krisis Air Tanah

Artikel Terkait

seekor orangutan duduk di ranting pohon di hutan GEF Danai Dua Proyek Konservasi Keanekaragaman Hayati di Indonesia
  • Eksklusif
  • Kabar
  • Unggulan

GEF Danai Dua Proyek Konservasi Keanekaragaman Hayati di Indonesia

Oleh Abul Muamar
20 Juni 2025
mesin tik dengan kertas bertuliskan “artificial intelligence” Pentingnya Regulasi AI untuk Penggunaan AI yang Bertanggung Jawab
  • Kabar
  • Unggulan

Pentingnya Regulasi AI untuk Penggunaan AI yang Bertanggung Jawab

Oleh Ayu Nabilah
20 Juni 2025
Pulau-pulau kecil di tengah laut Raja Ampat Tambang Nikel Raja Ampat dan Dampak Eksploitasi Sumber Daya Alam
  • Kabar
  • Unggulan

Tambang Nikel Raja Ampat dan Dampak Eksploitasi Sumber Daya Alam

Oleh Andi Batara
19 Juni 2025
bunga matahari yang layu Pemantauan Kekeringan Komprehensif dan Partisipatif untuk Tingkatkan Mitigasi Bencana
  • Eksklusif
  • Kabar
  • Unggulan

Pemantauan Kekeringan Komprehensif dan Partisipatif untuk Tingkatkan Mitigasi Bencana

Oleh Kresentia Madina
19 Juni 2025
tulisan esg di atas peta negara ESG Saja Tidak Cukup: Mengapa Dunia Butuh CSV dan SDGs?
  • Opini
  • Unggulan

ESG Saja Tidak Cukup: Mengapa Dunia Butuh CSV dan SDGs?

Oleh Setyo Budiantoro
18 Juni 2025
beberapa megafon terpasang pada pilar Peran Komunikasi Risiko untuk Kesiapsiagaan Bencana yang Lebih Baik
  • Eksklusif
  • Kabar
  • Unggulan

Peran Komunikasi Risiko untuk Kesiapsiagaan Bencana yang Lebih Baik

Oleh Kresentia Madina
18 Juni 2025

Tentang Kami

  • Founder’s Letter GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Siaran Pers GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Konten Komunitas GNA
  • Pedoman Media Siber
  • Internship GNA
  • Hubungi Kami
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia - Indonesia.