Menangkal Masifnya Penyebaran Misinformasi dan Disinformasi

Ilustrasi oleh Freepik.
Hari-hari ini, media sosial dan platform-platform digital lainnya telah menjadi saluran utama bagi banyak orang dalam mencari informasi. Sayangnya, tidak semua informasi yang tersebar di ruang-ruang digital akurat dan benar. Banyak di antara informasi yang beredar merupakan disinformasi dan misinformasi, mengandung kesesatan dan kebohongan, termasuk yang sengaja dimanipulasi untuk tujuan tertentu. Lantas, di tengah derasnya arus informasi di era digital, apa yang diperlukan untuk menangkal misinformasi dan disinformasi yang semakin masif?
Misinformasi dan Disinformasi
Sepanjang tahun 2024, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah mengidentifikasi sebanyak 1.923 konten hoaks, berita bohong, dam informasi palsu. Konten hoaks terbanyak berkaitan dengan penipuan, politik, pemerintahan, kesehatan, dan kebencanaan.
Disinformasi didefinisikan sebagai informasi yang dibuat dan disebarkan secara sengaja untuk menyesatkan, memanipulasi keyakinan, atau menipu. Disinformasi tersebar dalam berbagai bentuk. Selain konten yang sepenuhnya direkayasa, konten manipulasi yang mendistorsi gambar atau sebagian informasi asli, konten tiruan, hingga konten atau informasi menyesatkan yang dijadikan sebagai fakta, termasuk ke dalam disinformasi. Sementara itu, misinformasi merujuk pada informasi yang salah atau tidak akurat, tidak lengkap, dan tersebar tanpa niat tertentu. Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada tujuan dan maksudnya.
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) juga berpengaruh terhadap bentuk misinformasi dan disinformasi, yang kerap disebut sebagai “deep fakes”. Deep fakes adalah manipulasi gambar, video, ataupun audio yang mengubah wajah atau perkataan seseorang dengan realistis meskipun tidak pernah terjadi di dunia nyata. Deep fakes menjadi perhatian luas karena kerap digunakan dalam berbagai motif, seperti revenge porn, pembuatan berita palsu, hingga kecurangan finansial.
Bisa Berasal dari Mana Saja, oleh Siapa Saja
Misinformasi dan disinformasi dapat bersumber dari mana saja dan melibatkan siapa saja, tidak terkecuali pihak-pihak yang memiliki otoritas dan pengaruh tertentu. Laporan Reuters Institute menunjukkan bahwa influencer, bersama dengan aktor politik, dipandang sebagai ancaman terbesar dalam penyebaran misinformasi dan disinformasi di ruang digital, terutama karena pengaruh yang mereka miliki. Selain itu, survei UNESCO terhadap 500 influencers di 45 negara menunjukkan bahwa dua pertiga influencer tidak memeriksa keakuratan informasi yang mereka bagikan.
Peran influencer atau figur publik dalam menyebarkan misinformasi dan disinformasi dapat terlihat dalam sebaran konten palsu dan ujaran kebencian terhadap pengungsi Rohingya pada akhir 2023 hingga awal tahun 2024, yang disebut UNHCR sebagai kampanye online terkoordinasi. Akibatnya, rasisme terhadap pengungsi Rohingnya tumbuh semakin liar dan posisi mereka menjadi semakin rentan karena harus menghadapi penyerangan dan pemindahan paksa.
Sementara itu, sebaran misinformasi dan disinformasi terkait kebijakan atau keputusan yang diambil pemerintah seringkali lebih sistematis. Misalnya, penyebaran disinformasi mengenai Otonomi Khusus (Otsus) Papua di salah satu platform media sosial pada tahun 2021. Laporan kolaborasi dari Internews, ICW, SAFEnet, dan Centre for Information menemukan adanya sebaran konten dengan narasi positif yang menyuarakan keberhasilan Otsus. Konten-konten tersebut diproduksi oleh akun-akun yang tidak otentik dengan komentar-komentar yang terindikasi palsu dan dikerahkan dengan mesin. Kenyataannya, pengesahan Otsus tersebut tidak melibatkan Majelis Rakyat Papua sebagai representasi orang asli Papua dan dinilai tidak menyelesaikan rentetan konflik, kekerasan, dan pelanggaran HAM yang terjadi.
Konten manipulatif yang terkoordinir dan berasal dari akun-akun anonim atau pendengung (buzzer) menjadi salah satu corak umum lanskap sebaran misinformasi dan disinformasi di Indonesia. Tidak hanya untuk memanipulasi opini publik, sebaran informasi palsu bahkan juga digunakan untuk menekan partisipasi publik lewat trolling (penyebaran konten yang menghasut), pelecehan, hingga doxing (penyebaran informasi pribadi seseorang tanpa izin).
Propaganda dan Manipulasi Narasi
Dalam kehidupan bernegara, misinformasi dan disinformasi juga dapat menjadi alat propaganda yang dipakai untuk membentuk opini publik sesuai kepentingan pihak tertentu. Melalui permainan bahasa, suatu peristiwa bisa diberi label tertentu sehingga menggeser atau membelokkan maksud dan tujuan yang sebenarnya. Dengan pilihan kata dan bingkai wacana, realitas yang kompleks dapat disederhanakan sehingga tampak sesuai dengan kepentingan tertentu. Penggunaan kata-kata seperti “makar”, “didalangi asing”, dan lain sebagainya untuk membingkai gelombang demonstrasi besar-besaran, misalnya, dapat mengaburkan atau membuyarkan tujuan awal dari demonstrasi tersebut.
Fenomena ini dapat mencederai demokrasi karena menciptakan polarisasi sekaligus menutup ruang kritik terhadap penyelenggaran pemerintahan. Selain itu, sebaran misinformasi dan disinformasi juga mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi, menghalangi hak masyarakat dalam mendapatkan informasi yang benar dan akurat, dan pada akhirnya dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga negara.
Menangkal Misinformasi dan Disinformasi
Sebagai individu, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menangkal misinformasi dan disinformasi. Beberapa di antaranya:
- Memeriksa penulis atau pihak yang memproduksi dan menyebarkan informasi, terutama untuk konten berbentuk berita, apakah mereka kredibel, memiliki reputasi baik, atau apakah mereka memiliki agenda tertentu.
- Periksa dan verifikasi setiap informasi yang kita terima dengan sumber-sumber lain seperti berita atau liputan dari media yang kredibel.
- Berpikir kritis dengan menelusuri mengapa konten tersebut dibuat.
- Periksa fakta. Berita yang kredibel akan membuat banyak fakta seperti data, statistik, dan kutipan dari ahli. Periksa juga kapan berita atau konten tersebut dibuat karena informasi palsu seringkali memuat tanggal yang salah atau linimasa yang diubah.
- Periksa komentar-komentar yang ada di suatu unggahan karena bisa dibuat secara otomatis oleh bot.
- Periksa bias karena orang cenderung membagikan informasi yang sesuai dengan keyakinannya.
- Periksa apakah konten yang dibuat hanya bentuk parodi, satir, atau lelucon semata.
- Periksa keaslian gambar dengan memperhatikan tanda-tanda tertentu, seperti bentuk-bentuk yang terlihat aneh dan tidak sebagaimana mestinya.
- Menggunakan situs atau sistem pengecekan fakta.
Sementara itu, pemerintah dapat menerapkan beberapa langkah berikut:
- Membentuk satgas yang bertugas untuk mengembangkan strategi komprehensif dalam memerangi misinformasi dan disinformasi.
- Melakukan riset dan analisis untuk lebih memahami sumber, metode, dan dampak misinformasi dan disinformasi untuk pengembangan langkah-langkah penanggulangan yang efektif.
- Meningkatkan kesadaran publik mengenai bahaya misinformasi dan disinformasi serta mengampanyekan edukasi mengenai cara mengidentifikasinya.
- Berkolaborasi dengan organisasi pemeriksa fakta, termasuk penyediaan dana dan dukungan untuk organisasi-organisasi tersebut.
- Mengembangkan program pendidikan untuk meningkatkan literasi media, literasi informasi, dan keterampilan berpikir kritis.
- Bekerja sama dengan platform media sosial untuk mengembangkan kebijakan yang relevan seperti moderasi konten dan mengambil tindakan terhadap akun yang berulang kali menyebarkan informasi menyesatkan.
- Menetapkan dan menjamin konsekuensi hukum atas penyebaran misinformasi dan disinformasi.
Editor: Abul Muamar

Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan Langganan GNA Indonesia.
Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan Langganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses digital ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Pilih Paket Langganan AndaNisa adalah reporter dan asisten peneliti di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.