Membalikkan Arus Perdagangan Sirip Hiu Global

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Dermaga Pelabuhan Tanjung Luar sudah ramai sejak subuh. Perahu-perahu menepi dengan muatan hasil tangkapan yang berat, dan para nelayan menyeret hiu-hiu tak bernyawa ke lantai pasar yang dingin. Hiu-hiu tersebut dulunya adalah penguasa lautan. Kini, mereka “turun kasta” menjadi komoditas, yang dikirim ke pasar-pasar jauh untuk memasok permintaan dalam perdagangan sirip hiu global.
Bagi para nelayan, hasil tangkapan berarti pendapatan. Bagi hiu, hal ini membuat populasi mereka menyusut. Bagi dunia, ini adalah petanda krisis ekologi.
Perdagangan Sirip Hiu Global
Perikanan hiu di Indonesia hanyalah mikrokosmos dari masalah yang berlangsung secara global. Selama dua dekade terakhir, Indonesia telah mencatat pendaratan hiu tertinggi di dunia, dengan harga sirip mencapai US$100 (sekitar Rp1,64 juta) per kilogram di pasar internasional. Sebagai negara dengan penangkapan hiu terbesar di dunia, Indonesia menanggung nasib 117 spesies hiu karena implikasi yang melampaui batas wilayah dalam perdagangan sirip hiu global.
Perdagangan sirip hiu memicu penangkapan ikan berlebihan, yang mengakibatkan populasi hiu menurun, dan berdampak pada kesehatan laut di seluruh dunia. Sebagai predator puncak, hiu menjaga keseimbangan ekosistem laut. Penurunan populasi hiu membuat predator tingkat menengah berpopulasi berlebihan dan mengganggu terumbu karang serta perikanan.
Ini bukan hanya masalah lingkungan. Degradasi laut pada gilirannya akan berdampak pada ekonomi, mengancam ketahanan pangan, pariwisata, dan mata pencaharian masyarakat pesisir di seluruh dunia.
Perdagangan sirip hiu sendiri merupakan sumber penghidupan bagi banyak orang. Di Indonesia, penangkapan ikan hiu menghidupi ribuan keluarga pesisir, terutama di wilayah minim alternatif ekonomi. Penelitian tentang perikanan hiu di Indonesia timur mengungkap bahwa pembatasan akses ke perairan yang kaya akan hiu tanpa alternatif mata pencaharian mendorong nelayan ke arah penangkapan ikan ilegal atau penangkapan ikan dengan hasil rendah, memperburuk kemiskinan, dan mengalihkan tekanan kepada spesies dan wilayah lain.
Tensi antara kepentingan untuk melindungi ekosistem dan mempertahankan kelangsungan hidup manusia merupakan hal yang kompleks dan terus berlanjut. Meski ada upaya untuk menghentikan perdagangan sirip hiu yang eksploitatif, praktik-praktik yang tidak berkelanjutan masih merajalela. Ketiadaan regulasi perdagangan yang kuat dan terkoordinasi membuat hiu yang terancam punah tetap membanjiri pasar internasional, dengan Hong Kong sebagai pusat utamanya.
Menghentikan Perdagangan
Namun, masih ada harapan. Konservasi hiu yang efektif membutuhkan pendekatan multifaset, yang menghubungkan kebijakan, mata pencaharian, dan kolaborasi global.
Pertama, konservasi dimulai dari manusia. Sangat penting untuk memberikan insentif bagi mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan bagi masyarakat pesisir. Di Alor, misalnya, Thresher Shark Indonesia melatih para nelayan dalam pengolahan ikan dan pengembangan UMKM, membantu mereka menjangkau pasar baru dan memperoleh sertifikasi halal. Sementara itu, proyek StAR di Raja Ampat berupaya memulihkan populasi hiu zebra tidak hanya untuk kesehatan ekologis tetapi juga peluang ekonomi, yang mendorong ekowisata bahari di wilayah tersebut. Memperluas langkah-langkah semacam ini melalui pembiayaan mikro, pengembangan kapasitas, dan akses pasar dapat mengurangi ketergantungan pada penangkapan hiu sekaligus memperkuat ekonomi lokal.
Di samping itu, kerja sama internasional juga sangat penting. Hiu berenang melintasi perairan internasional, sehingga membutuhkan tindakan dan kebijakan kolaboratif lintas batas di antara negara-negara tetangga. Inisiatif seperti Coral Triangle Initiative menunjukkan bagaimana kerja sama regional dapat melindungi keanekaragaman hayati laut di enam negara. Dengan mengkoordinasikan strategi manajemen, menyelaraskan kebijakan, dan berbagi pengetahuan dan sumber daya, negara-negara dapat memperkuat pemantauan dan penegakan hukum di lapangan.
Perdagangan sirip hiu terus bergulir karena permintaan global masih berlanjut dan menganggapnya sebagai makanan lezat. Namun, bukti menunjukkan bahwa kampanye kesadaran dapat mengubah perilaku konsumen. Di Hong Kong, masyarakat telah menunjukkan pergeseran budaya tentang sirip hiu berkat kampanye berkelanjutan, dan mereka kini semakin menganggapnya tidak penting. Demikian pula, sebuah studi di Singapura menyoroti bagaimana kesadaran strategis dan intervensi pasar dapat mengubah preferensi konsumen terhadap sirip hiu. Dengan mengekang permintaan, kampanye dapat secara langsung melemahkan perdagangan sirip hiu, mendukung inisiatif global untuk melestarikan populasi hiu global, dan memperkuat regulasi perdagangan internasional.
Peran Semua Pihak
Nasib hiu Indonesia adalah cermin yang memantulkan kondisi global. Bagaimanapun, perairan kita saling terhubung, dan kesehatan lautan kita tidak dapat dipisahkan dari pilihan yang kita ambil di darat. Konsumen, masyarakat pesisir, sektor swasta, pemerintah, dan organisasi internasional semuanya merupakan aktor kunci. Pada akhirnya, membuat pilihan yang bertanggung jawab dan membangun kerangka kerja pendukung adalah inti dari upaya kolektif kita untuk menyelamatkan hiu, laut kita, Bumi, dan penghuninya.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.

Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan Langganan GNA Indonesia.
Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan Langganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses digital ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Pilih Paket Langganan Anda
Danny adalah peminat isu-isu konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan ekosistem. Ia memiliki latar belakang akademis di bidang pembangunan ekonomi regional dan pengalaman langsung dalam rehabilitasi satwa liar serta sektor zoologi laut.