Mengulik Tantangan Pembiayaan Hijau untuk UMKM di Indonesia

Foto: Sovannkiry Sim di Unsplash.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah menjadi salah satu penopang utama perekonomian Indonesia. Sektor ini memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan penyerapan tenaga kerja setiap tahunnya. Namun, tantangan muncul ketika dunia beralih menuju praktik bisnis yang berkelanjutan, dengan pembiayaan sebagai motor penggeraknya. Lantas, bagaimana tantangan pembiayaan hijau untuk UMKM di Indonesia sejauh ini?
Sebuah laporan kajian yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, bekerjasama dengan Unit Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada (P2EB FEB UGM), mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan itu dengan mengulik regulasi, ketersediaan, dan kebutuhan pembiayaan hijau untuk UMKM.
UMKM dan Praktik Bisnis Berkelanjutan
Di tengah upaya untuk mencapai emisi nol bersih, dunia usaha semakin dituntut untuk menerapkan praktik bisnis yang berkelanjutan, tidak terkecuali UMKM. Penelitian OECD tahun 2022 menunjukkan bahwa UMKM menyumbang sekitar 40% dari total emisi gas rumah kaca di sektor bisnis. Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi UMKM untuk berinvestasi dalam mengadopsi praktik bisnis yang lebih ramah lingkungan.
Sayangnya, akses keuangan masih menjadi salah satu hambatan utama yang dihadapi UMKM dalam transisi ini. Sebuah survei tahun 2023 mengidentifikasi sekitar 48% UMKM yang tidak memiliki modalitas yang cukup untuk mengadopsi praktik bisnis ramah lingkungan. Hampir 70% UMKM menyatakan bahwa mereka membutuhkan dana tambahan untuk bertransisi ke praktik bisnis hijau ataupun mengurangi penggunaan emisi. Sebuah studi mengungkap bahwa salah satu tantangan dalam pengembangan ekonomi hijau di Indonesia adalah kurangnya informasi yang dapat diakses oleh UMKM, di samping kurangnya kapasitas sektor jasa keuangan untuk mendukung usaha ekonomi hijau.
Tantangan Pembiayaan Hijau untuk UMKM
Kajian Bank Indonesia dan P2EB FEB UGM bertujuan untuk mendukung terwujudnya ekosistem pembiayaan hijau yang kuat bagi UMKM, dengan fokus pada analisis dari sisi supply (lembaga keuangan dan lembaga non-keuangan) dan demand (UMKM). Berdasarkan tingkat adopsi praktik ramah lingkungan, UMKM dikategorikan menjadi pre-adopter (belum menerapkan praktik ramah lingkungan), eco-adopter (sudah menerapkan praktik ramah lingkungan namun proses bisnis belum sepenuhnya ramah lingkungan), eco-entrepreneur (sudah menerapkan praktik ramah lingkungan dan dapat menangkap peluang pasar hijau), dan eco-innovator (sudah melakukan inovasi produk dengan meningkatkan teknologi maupun nonteknologi untuk meningkatkan produktivitas usaha yang sejalan dengan pengurangan dampak lingkungan.).
Menurut kajian tersebut, mayoritas UMKM (87,98 %) belum mengadopsi praktik ramah lingkungan (pre-adopter), dan sisanya belum menjadikan kebelanjutan sebagai inti dari model bisnis mereka meskipun telah mulai mengadopsi beberapa praktik ramah lingkungan. Kajian tersebut menunjukkan bahwa skor UMKM hijau terendah berada pada aspek Keuangan (0,57), disusul oleh aspek Produksi (0,83). Dari sisi penggunaan bahan baku hijau, hanya 10 dari 599 UMKM yang disurvei yang telah menggunakan bahan baku hijau bersertifikasi nasional. Adapun sektor usaha yang paling banyak membutuhkan pembiayaan hijau menurut kajian tersebut adalah pertanian (84,1%), perdagangan (83,1%), manufaktur/pengolahan (77,8%), dan kerajinan (73,2%).
Sementara itu, beberapa hambatan yang dialami UMKM dalam mengakses pembiayaan hijau antara lain kurangnya pemahaman tentang ketersediaan kredit/pembiayaan untuk bisnis ramah lingkungan (59,32%), kurangnya pemahaman tentang bisnis ramah lingkungan (33,65%), dan ketidakmampuan memenuhi persyaratan dari lembaga keuangan yang menyediakan kredit/pembiayaan untuk bisnis ramah lingkungan (12,36%).
Hasil kajian tersebut menemukan bahwa dari sisi supply, belum ada produk pembiayaan hijau dengan target UMKM hijau yang diimplementasikan di Indonesia meski regulasi yang mengatur pembiayaan hijau telah tersedia, antara lain UU Nomor 4 Tahun 2023 (UU P2SK), UU Nomor 6 Tahun 2023, Perpres 98/2021, dan Perpres 59/2017, dan Peraturan OJK Nomor 51/POJK.03/2017. Masih adanya ambiguitas dan kendala dalam penerapan regulasi menjadi hambatan bagi lembaga keuangan maupun lembaga nonkeuangan untuk mengimplementasikan pembiayaan hijau kepada UMKM. Beberapa kendalanya antara lain:
- Kompleksitas persyaratan pembiayaan hijau dan kriteria UMKM Hijau.
- Keterbatasan infrastruktur pembiayaan hijau dan insentif untuk melakukan praktik hijau.
- Kesenjangan persepsi risiko pinjaman antara UMKM dan lembaga keuangan.
- Kurangnya kesadaran, pengetahuan, kapasitas dan kapabilitas UMKM untuk melakukan praktik hijau.
- Kesulitan akses sertifikasi hijau bagi UMKM yang beralih ke praktik hijau.
Sementara itu, dari sisi demand, kebutuhan pembiayaan hijau untuk UMKM relatif sama untuk setiap kategori, yakni untuk membiayai akuisisi peralatan dan teknologi, akses ke pasar yang berminat pada produk hijau dan peningkatan pangsa pasar, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM), dan pemasaran untuk praktik bisnis hijau. Perbedaannya terletak pada kebutuhan sertifikasi hijau untuk UMKM eco-entrepreneur, dan pengadaan bahan baku produk hijau serta akses ke pasar domestik dan internasional untuk UMKM eco-innovator. Singkatnya, UMKM yang mengakses pembiayaan untuk kepentingan pengurusan sertifikasi hijau masih sedikit (8,2%).
Secara umum, praktik bisnis hijau memerlukan investasi modal yang tinggi. Laporan tersebut menggarisbawahi bahwa manfaat investasi tersebut tidak dapat diperoleh dalam waktu singkat karena animo pasar terhadap produk hijau masih rendah. Mengingat kemampuan modal UMKM yang terbatas, hal ini membutuhkan pengembalian investasi dalam jangka pendek untuk memastikan operasional bisnis tetap berjalan. Oleh karena itu, insentif untuk melakukan praktik hijau dan insentif pembiayaan hijau, antara lain dengan memberikan bunga yang lebih rendah dibanding pinjaman nonhijau, menjadi sangat penting untuk mengakselerasi penerapan praktik hijau oleh UMKM.
Rekomendasi
Berdasarkan temuan-temuan yang ada, laporan tersebut menekankan pentingnya memperkuat ekosistem pembiayaan hijau dan mengakselerasi transformasi UMKM hijau. Laporan tersebut memberikan beberapa rekomendasi, di antaranya:
- Memperkuat sosialisasi produk pembiayaan hijau, dengan melibatkan kerja sama antara lembaga penyedia pembiayaan dengan komunitas UMKM dan OMS.
- Meningkatkan penggunaan bahan baku hijau, dengan menerapkan standardisasi, uji mutu, dan sertifikasi.
- Meningkatkan dan memperluas sosialisasi dan edukasi terkait manfaat usaha ramah lingkungan. Di samping itu, penyedia pembiayaan perlu memberikan insentif untuk mendorong UMKM mengakses pembiayaan kredit untuk pengurusan sertifikasi, dengan menerapkan bunga yang lebih rendah. Meningkatkan akses ke layanan konsultasi dan bantuan teknis dari ahli atau organisasi yang relevan juga penting untuk mendukung langkah ini
- Memperkuat dukungan bagi operasional bisnis hijau pada sektor perdagangan dan manufaktur, untuk meningkatkan kualitas produk dan kelanjutan usaha, menjangkau pasar yang ramah lingkungan, dan menambah ketersediaan dan kompetensi SDM dalam bisnis ramah lingkungan.
- Meningkatkan kerjasama antara UMKM dengan lembaga agregator, akselerator, dan inkubator untuk meningkatkan pengetahuan, kinerja bisnis, dan kinerja hijau UMKM.
- Meningkatkan kolaborasi antarpemangku kepentingan untuk mengatasi hambatan-hambatan yang muncul dalam penerapan pembiayaan hijau untuk UMKM.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor untuk beberapa media tingkat nasional di Indonesia. Ia juga adalah penulis, editor, dan penerjemah, dengan minat khusus pada isu-isu sosial-ekonomi dan lingkungan.