Pelanggaran HAM dan Dampak Lingkungan Tambang Nikel di Pulau Kabaena

Aktivitas tambang nikel PT AMINDO di dekat Desa Wulu, Kecamatan Talaga Raya, Kabupaten Buton Tengah, Pulau Kabaena. | Foto: Satya Bumi.
Pulau Kabaena adalah sebuah pulau kecil di Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pulau ini memiliki kekayaan alam dan menjadi rumah dan sumber penghidupan berbagai masyarakat adat. Sayangnya, Pulau Kabaena kini dicengkeram oleh tambang-tambang nikel yang menyebabkan berbagai kerusakan ekologis dan berdampak terhadap kondisi sosial masyarakat setempat. Hal ini terungkap dalam sebuah laporan yang dirilis oleh Satya Bumi dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Tenggara pada Juni 2025. Laporan berjudul “Kabaena Jilid 2: Menelusuri Pintu Awal Kerusakan dari Jejaring Politically Exposed Persons” ini menyoroti berbagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM) yang terjadi dalam praktik tambang nikel di Kabaena.
Ekspansi Tambang Nikel di Pulau Kabaena
Laporan tersebut memfokuskan investigasinya di empat desa yang berada di wilayah Kabaena bagian Buton tengah. Wilayah ini terdampak oleh tiga perusahaan nikel yang beroperasi, yaitu Anugrah Harisma Barakah (AHB), Arga Morini Indah (AMI), dan Arga Morini Indotama (AMINDO). Dengan menggunakan citra satelit, laporan tersebut menemukan adanya peringatan deforestasi hingga seluas 506,55 hektare di area konsesi PT AMI dan 194,51 hektare di wilayah pertambangan PT AMINDO antara tahun 2001 hingga 2024. Peringatan deforestasi juga ditemukan pada 641,29 hektare area konsesi PT AHB selama 2001-2022. Selain itu, setidaknya 661,9 hektare lahan juga telah dibuka untuk kawasan tambang yang sebagian besar terletak di kawasan dengan tingkat kemiringan tinggi dan potensi erosi yang besar.
Data dari citra satelit tersebut juga mengindikasikan adanya pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Misalnya, pembukaan hutan untuk jalan tambang PT AMINDO telah terlihat pada tahun 2007 meskipun surat izin operasi untuk perusahaan ini baru terbit tiga tahun setelahnya. Di samping itu, konsesi ketiga perusahaan juga tumpang tindih dengan kawasan hutan. Konsesi PT AHB bahkan tumpang tindih dengan hutan lindung seluas 19,59 hektare. Padahal UU Nomor 41 Tahun 1999 jelas menyebutkan bahwa praktik pertambangan terbuka dilarang dilakukan pada kawasan hutan lindung. Pengamatan citra satelit juga memperlihatkan empat titik lubang tambang yang tidak aktif masih menganga terbuka dan belum direklamasi. Hal ini menjadi indikasi bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak menjalankan reklamasi atau pemulihan pascatambang meski kewajibannya telah diatur tegas dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan laporan tersebut, tambang nikel di Pulau Kabaena terindikasi menjadi bagian dari rantai pasok global untuk bahan baku baterai kendaraan listrik. Bijih nikel dari tambang-tambang ini dipasok ke perusahaan-perusahaan smelter untuk diolah menjadi komponen baterai kendaraan listrik sebelum didistribusikan ke perusahaan-perusahaan otomotif multinasional seperti Tesla dan Ford.
Minim Keterlibatan Publik
Selain observasi dari citra satelit, riset dalam laporan ini juga melibatkan wawancara terhadap 62 responden yang tinggal di empat desa yang menjadi lokasi kajian. Dari wawancara tersebut, sebanyak 43,5% responden menyatakan mengalami dampak kesehatan terutama gangguan pernapasan dan penyakit kulit. Hal ini disebabkan oleh limbah tambang nikel di Kabaena yang telah mencemari udara dan laut sebagai ruang hidup utama bagi warga yang mayoritas adalah nelayan atau petani rumput laut.
Pembukaan lahan juga telah meningkatkan laju sedimentasi di perairan selatan Pulau Kabaena yang mengancam lingkungan dan keanekaragaman hayati. Sedimentasi ini bahkan telah mengancam keberadaan satwa langka, seperti penyu belimbing, yang melewati perairan bagian selatan Kabaena ketika bermigrasi.
Tidak hanya itu, sebanyak 69,4% responden juga mengatakan bahwa kerusakan lingkungan telah mempengaruhi hasil tangkapan atau aktivitas perdagangan yang membuat pendapatan warga menurun. Tambang nikel telah membuat laut menjadi keruh sehingga nelayan harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk menangkap ikan. Air laut yang tercemar juga membuat siklus panen rumput laut mengalami pergeseran signifikan sehingga hasil panen menjadi lebih sedikit. Akibatnya, Suku Bajau di Desa Kokoe yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan terdampak paling berat karena mereka sangat bergantung pada ekosistem laut. Sementara Suku Buton di Desa Liwulompona dan Talaga Besar lebih banyak terdampak oleh konflik lahan.
Laporan tersebut juga menemukan bahwa pelaksanaan Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) belum berjalan efektif di Pulau Kabaena. Hanya 30,6% responden yang menyatakan pernah dilibatkan dalam konsultasi. Mayoritas mengaku tidak pernah dikunjungi oleh perusahaan maupun mendapat audiensi publik.
Lebih lanjut, hampir seluruh petani pemilik kebun juga mengaku bahwa lahannya telah direbut oleh perusahaan tanpa proses konsultasi atau ganti rugi yang memadai. Dari total kerugian Rp14 miliar sejak 2007 misalnya, PT AMI masih menunggak Rp4,6 miliar. Hanya sebagian kecil korban yang menerima ganti rugi, pun sebagian besar dalam jumlah yang tidak proporsional. Sementara ketika warga Kabaena melakukan protes dan berupaya menuntut hak atas lahannya yang dirampas, mereka justru dihadapkan dengan kriminalisasi.
Memperkuat Regulasi dan Penindakan
Berbagai petaka yang timbul akibat praktik tambang nikel yang tidak bertanggung jawab menggarisbawahi urgensi penyelamatan pulau-pulau kecil seperti Kabaena. Sebagai langkah minimum, pemerintah harus melakukan evaluasi atau audit menyeluruh terhadap seluruh izin usaha pertambangan di Pulau Kabaena maupun pulau-pulau kecil lainnya. Selanjutnya, pemerintah mesti menindak tegas pelaku industri ekstraktif yang praktiknya melanggar peraturan, sekaligus meninjau ulang kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, termasuk peraturan yang memungkinkan kriminalisasi terhadap para pembela lingkungan, dan memperkuat regulasi yang mendukung perlindungan ekosistem.
Mengingat bahwa pulau kecil dilindungi undang-undang dari segala praktik pertambangan, maka pemerintah dan perusahaan harus segera menghentikan segala praktik eksploitasi sumber daya alam yang bertentangan dengan prinsip keadilan ekologis. Pada saat yang sama, perusahaan-perusahaan tambang juga harus memulihkan segala kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi yang telah diakibatkan dari operasional kegiatan tambang, dan menyelesaikan seluruh proses ganti rugi secara adil dan transparan. Pada akhirnya, transisi energi yang menjadi pemicu ekspansi tambang nikel dan segala bentuk ambisi pembangunan lainnya harus dilakukan dengan memprioritaskan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan manusia di atas kepentingan bisnis yang mengejar keuntungan semata.
Editor: Abul Muamar
Nisa adalah reporter dan asisten peneliti di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.