Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Beriklan
  • GNA Internasional
  • Jadi Member
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Akar Rumput
  • Muda
  • Siaran Pers
  • Corporate Sustainability
  • GNA Knowledge Hub
  • Kolom IS2P
  • Opini

Sadar Dampak, Sadar Arah: Cara Sederhana Memahami Keberlanjutan

Setidaknya ada tiga pertanyaan sederhana yang bisa menjadi kompas awal bagi kita yang ingin turut mewujudkan keberlanjutan. Apa saja?
Oleh Pendi Setyawan
29 Mei 2025
telefon genggam dengan posisi menengadah, dengan beberapa pop up barang

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.

Ketika berbicara soal keberlanjutan, seseorang terkadang merasa bahwa itu adalah urusan para ahli lingkungan, perusahaan besar, atau bahkan negara. Padahal, kenyataannya keberlanjutan dimulai dari cara kita memandang hidup sehari-hari.

Keberlanjutan dapat diartikan sebagai kemampuan suatu sistem (alam, sosial, ekonomi) untuk bertahan dalam jangka panjang tanpa merusak dasar pendukungnya. Tapi di tengah kompleksitas istilah seperti ESG, SDGs, atau istilah lainnya, kita justru membutuhkan pendekatan yang lebih membumi agar semua orang merasa bisa terlibat dalam menangani isu-isu keberlanjutan.

Salah satu cara efektif untuk membumikan keberlanjutan adalah dengan mulai bertanya. Setidaknya ada tiga pertanyaan sederhana yang bisa menjadi kompas awal bagi kita, baik sebagai individu maupun bagian dari entitas pemerintah atau swasta yang ingin turut mewujudkan keberlanjutan.

1. Apa dampak dari aktivitas saya?

Setiap aktivitas kita, sekecil apapun, meninggalkan jejak. Saat seseorang misal saya membeli ayam goreng kemudian dibungkus lalu dibawa pulang, itu bukan hanya soal makanan. Ada kantong plastik, minyak sawit, gas elpiji, dan jejak karbon dari transportasi logistik dalam prosesnya sehingga saya bisa menikmati ayam goreng tersebut. Ini yang disebut sebagai life cycle thinking — berpikir dari hulu ke hilir, dari bahan mentah, proses produksi, penggunaan, hingga pembuangan (sisa/limbahnya).

Di tingkat perusahaan, hal ini diukur lewat Life Cycle Assessment (LCA). Namun bagi masyarakat biasa, kesadaran ini cukup diwujudkan dalam bentuk pertanyaan: Apakah ada cara lain yang lebih ramah lingkungan untuk melakukan ini?

Contoh sederhana: alih-alih selalu membeli air mineral kemasan, membawa botol minum sendiri dapat mengurangi konsumsi plastik harian yang bisa mencapai 1–2 botol per orang. Jika 10 juta orang Indonesia melakukannya, dampaknya tentu akan signifikan.

2. Bagaimana saya bisa menguranginya atau mengubahnya?

Kita tidak harus sempurna, tapi kita bisa mulai dengan perubahan kecil yang konsisten. Inilah prinsip 5R yang sering digunakan dalam pendekatan keberlanjutan: Reduce, Reuse, Recycle, Replace, Rethink.

Di kota-kota seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung, gaya hidup reuse mulai jadi kebiasaan baru sebagian orang. Ini juga didorong oleh kebijakan pemerintah yang membatasi penggunaan kantong plastik sekali pakai. Sekarang, pemandangan orang bawa tas belanja sendiri atau kotak makan ke warung telah menjadi hal yang lumrah.

Contoh lain, di beberapa daerah di Bali, ada program kompos skala rumah tangga, di mana sisa dapur dan sampah rumah tangga diolah menjadi pupuk. Program ini mendukung target SDG Nomor 12 (konsumsi dan produksi berkelanjutan) serta sejalan dengan strategi pengelolaan sampah nasional.

3. Siapa yang Terdampak oleh Keputusan Saya?

Keberlanjutan tidak hanya bicara soal lingkungan, tapi juga soal keadilan sosial dan etika. Ketika kita memilih suatu produk, apakah kita tahu siapa yang membuatnya? Apakah mereka dibayar layak? Apakah perusahaan memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan kerja karyawannya?

Di dunia kerja, misalnya, banyak kantor kini mulai memikirkan untuk bekerjasama dengan vendor lokal, atau memilih katering dari UMKM sekitar untuk kegiatan internal. Ini sejalan dengan prinsip stakeholder thinking dalam framework ESG — bahwa keberlanjutan juga tentang menciptakan nilai untuk semua pihak yang terlibat, bukan hanya pemegang saham.

Contoh keseharian lainnya: ketika masyarakat memilih untuk membeli sayur langsung dari petani atau pasar tani, mereka bukan hanya mendapat sayur yang lebih segar, tapi juga memotong rantai distribusi yang panjang dan memberi nilai lebih bagi petani lokal.

Pada skala korporasi, praktik ini bisa terlihat dari kebijakan sourcing yang bertanggung jawab (responsible sourcing)—misalnya, perusahaan makanan dan minuman yang hanya mengambil bahan baku dari petani binaan yang menerapkan pertanian berkelanjutan. Contoh lainnya, di sektor manufaktur, beberapa perusahaan besar kini mewajibkan mitra pemasok mereka untuk memiliki sertifikasi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) serta bebas dari praktik kerja paksa dan pekerja anak.

Dari Kesadaran Pribadi ke Perubahan Sistemik

Tiga pertanyaan tadi mungkin terdengar sederhana. Namun justru dari kesederhanaan itu, kita bisa membentuk pola pikir kritis dan berempati, yang menjadi fondasi lahirnya budaya keberlanjutan.

Sebagai bangsa, Indonesia memiliki kekayaan nilai kultural seperti gotong royong, rasa cukup, dan kedekatan dengan alam. Dalam kerangka ESG, nilai-nilai ini sesungguhnya sangat relevan, hanya saja perlu dikontekstualisasikan ulang agar sejalan dengan dinamika zaman dan kebutuhan sistemik.

Namun penting untuk digarisbawahi bahwa kesadaran individu saja tidak cukup. Kita butuh transformasi struktural, mulai dari regulasi, insentif pasar, hingga penguatan infrastruktur. Di sinilah pentingnya membangun pusat-pusat pembelajaran ESG di kampus-kampus, memperluas literasi keberlanjutan sejak dini, dan mengembangkan kapasitas lokal untuk merespons isu-isu global dengan solusi yang adaptif dan kontekstual.

Upaya pemerintah dalam mendorong transisi menuju net zero emission, penguatan regulasi konservasi energi, serta kehadiran standar pelaporan ESG oleh BEI merupakan langkah signifikan. Namun kerjasama lintas sektor tetap menjadi kunci. Karena keberlanjutan bukan sekadar tren atau tuntutan global, melainkan investasi sosial-ekologis jangka panjang.

Editor: Abul Muamar


Tentang Kolom IS2P:

Kolom IS2P merupakan platform konten terdedikasi kolaborasi Indonesian Society of Sustainability Professionals (IS2P) bersama Green Network Asia. Kolom IS2P memberikan wadah dan dukungan editorial kepada anggota IS2P untuk menyebarluaskan wawasan, pengalaman, dan kebijaksanaan praktikal mereka dengan tujuan mempromosikan pendidikan keberlanjutan di tengah masyarakat.

Bermitra dengan Green Network Asia:

Luncurkan platform konten “Kolom” terdedikasi atas nama organisasi Anda dan berikan manfaat kepada tim kepemimpinan & manajemen, karyawan, dan anggota komunitas Anda dengan kredit publikasi dan dukungan editorial dari Green Network Asia, termasuk layanan kurasi, penyuntingan, desain visual, publikasi, dan diseminasi. Kolaborasi ini akan menciptakan nilai untuk organisasi Anda berupa komunitas yang lebih terlibat, thought leadership yang lebih kuat, kredibilitas yang meningkat, dan visibilitas yang lebih luas.

Dukung Green Network Asia dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Jadi Member Sekarang

Pendi Setyawan
+ postsBio

Pendi adalah seorang manajer sustainability dengan pengalaman lebih dari 10 tahun di perusahaan swasta. Ia menangani proyek-proyek yang berkaitan dengan energy management, community development, safety management, dan environment management.

    This author does not have any more posts.

Continue Reading

Sebelumnya: PUA-DEM: Model Komputer yang Lebih Akurat untuk Prediksi Longsor
Berikutnya: Kerusakan Lahan Gambut yang Terus Berlanjut di Kalimantan Tengah

Lihat Konten GNA Lainnya

dua buah kakao berwarna kuning di batang pohon Bagaimana Kerja Sama Indonesia-Prancis dalam Memperkuat Industri Kakao
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Bagaimana Kerja Sama Indonesia-Prancis dalam Memperkuat Industri Kakao

Oleh Abul Muamar
14 Oktober 2025
Beberapa orang berada di dalam air untuk memasang kerangka jaring persegi berwarna hijau, sementara lainnya berdiri di pematang tambak dengan pagar bambu sederhana di bagian belakang. Rehabilitasi Mangrove Berbasis Komunitas dengan Silvofishery
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Rehabilitasi Mangrove Berbasis Komunitas dengan Silvofishery

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
13 Oktober 2025
Dua perempuan menampilkan tarian Bali di hadapan penonton. Menghidupkan Kembali Warisan Budaya Bersama di Asia Tenggara
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Menghidupkan Kembali Warisan Budaya Bersama di Asia Tenggara

Oleh Attiatul Noor
13 Oktober 2025
perempuan yang duduk di batang pohon besar, laki-laki berdiri di sampingnya dan dikelilingi rerumputan; keduanya mengenakan pakaian tradisional Papua Deklarasi Sira: Memperjuangkan Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Deklarasi Sira: Memperjuangkan Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat

Oleh Seftyana Khairunisa
10 Oktober 2025
stasiun pengisian daya dengan mobil listrik yang diparkir di sebelahnya. Proyeksi Pengembangan dan Peluang Transportasi Energi Terbarukan
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Proyeksi Pengembangan dan Peluang Transportasi Energi Terbarukan

Oleh Kresentia Madina
10 Oktober 2025
seorang pria tua duduk sendiri di dekat tembok dan tanaman Mengatasi Isu Kesepian di Kalangan Lansia
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Mengatasi Isu Kesepian di Kalangan Lansia

Oleh Abul Muamar
9 Oktober 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Laporan Akar Rumput GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia