Menciptakan Lingkungan Kerja yang Ramah Ibu Menyusui

Foto: UNICEF Indonesia.
Air susu ibu (ASI) adalah sumber perlindungan dan nutrisi terbaik untuk bayi. UNICEF dan WHO merekomendasikan pemberian ASI dalam satu jam pertama setelah kelahiran dan selama enam bulan pertama kehidupan tanpa tambahan makanan atau cairan lain apapun. Namun sayang, masih banyak bayi di Indonesia yang tidak mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan penuh, salah satunya karena lingkungan kerja yang kurang mendukung. Hal ini menggarisbawahi urgensi untuk menciptakan lingkungan kerja yang ramah ibu menyusui.
Kerja yang Tak Longgar dan Layanan Pengasuhan Berkualitas yang Tak Serta Merta Tersedia
Di Indonesia, pelonggaran kerja untuk ibu menyusui merupakan hal yang jarang terdengar. Secara umum, ibu menyusui yang kembali ke pekerjaan setelah melewati masa cuti melahirkan—yang umumnya selama tiga bulan—tetap harus menjalankan pekerjaannya seperti biasa tanpa beban yang dikurangi atau pengaturan waktu kerja yang fleksibel. Bagi ibu menyusui, terutama dengan jenis atau beban pekerjaan tertentu, hal ini dapat memicu kelelahan atau stres dan berisiko menghambat produksi ASI mereka, yang selanjutnya akan berdampak pada pemberian ASI eksklusif untuk bayi mereka.
Dalam banyak kasus, para ibu menyusui sering menemui hambatan untuk mengambil cuti atau istirahat untuk bisa fokus menyusui atau memerah ASI. Rasa sungkan atau bahkan takut setelah menjalani cuti selama tiga bulan, adalah faktor yang paling umum. Ini belum termasuk lingkungan kerja yang kurang suportif terhadap kebutuhan ibu menyusui, serta kurangnya pemahaman umum terkait proses menyusui.
Di samping itu, kurangnya dukungan fasilitas untuk ibu menyusui di tempat kerja, seperti ketersediaan ruang laktasi, juga masih menjadi tantangan hingga hari ini di Indonesia. Padahal, keberadaan fasilitas pendukung ini sangat penting mengingat produksi ASI merupakan proses yang menantang, antara lain perlu melibatkan stimulasi dari si bayi, dan kasusnya beragam pada setiap perempuan—tidak semua perempuan dapat begitu saja memproduksi ASI dengan lancar.
Pada saat yang sama, layanan pengasuhan yang berkualitas dan terjangkau tidak serta merta hadir di setiap rumah tangga yang memiliki bayi/balita; dan ini juga merupakan hambatan yang signifikan. Tanpa layanan pengasuhan yang berkualitas, yang menjamin bayi/balita aman ditinggal selama berjam-jam, ibu menyusui akan sulit bekerja dengan tenang dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi ASI mereka.
Mengapa Tempat Kerja Ramah Ibu Menyusui Penting
Secara statistik, angka pemberian ASI eksklusif pada bayi usia di bawah enam bulan memang terus meningkat, dari 52% pada 2017 menjadi 66,4% pada 2024. Namun, data tersebut sekaligus menunjukkan bahwa masih banyak bayi yang belum mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan penuh. Meski terdapat banyak faktor yang melatarinya, isu ini tidak terlepas dari meningkatnya angka partisipasi perempuan dalam dunia kerja (terlepas masih tertinggal dari angka partisipasi laki-laki), yang sayangnya tidak didukung oleh penciptaan lingkungan kerja yang ramah ibu menyusui.
Lantas, mengapa tempat kerja harus ramah ibu menyusui?
Pertama, bayi atau anak adalah generasi penerus, harapan bagi masa depan. Merekalah yang akan melanjutkan tugas kita, membangun peradaban yang lebih baik. Pada saat yang sama, masa kanak-kanak, khususnya usia 0-2 tahun, adalah masa-masa yang sangat krusial dalam fase perkembangan manusia, dan memberi mereka ASI eksklusif adalah fondasi utama yang menyokong kesehatan dan pertumbuhan mereka. Mendukung tumbuh kembang mereka secara optimal adalah upaya kita untuk mendukung lahirnya generasi yang sehat.
Dalam hal ini, tempat kerja yang ramah ibu menyusui merupakan bentuk dukungan nyata terhadap kesehatan ibu dan anak. Bukti menunjukkan bahwa menyusui mengurangi risiko kelebihan berat badan dan obesitas pada masa kanak-kanak dan memberikan perlindungan terhadap penyakit tidak menular. Selain itu, menyusui juga dapat meningkatkan perkembangan kognitif anak-anak sebesar 3-4 poin IQ. Sebaliknya, bayi yang tidak disusui berisiko hingga 14 kali lebih mungkin meninggal dunia sebelum ulang tahun pertama mereka daripada bayi yang disusui secara eksklusif selama enam bulan pertama.
Selain bagi bayi, menyusui juga memberikan banyak manfaat bagi sang ibu, termasuk membantu ibu pulih lebih cepat pascapersalinan, dan mencegah stres pada ibu. Dan tidak hanya tentang kesehatan, menyusui juga jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan pemberian susu formula, karena mengurangi emisi karbon dan limbah kemasan.
Sementara itu, bagi perusahaan, lingkungan kerja yang ramah ibu menyusui dapat membantu meningkatkan loyalitas, produktivitas, dan kepuasan karyawan. Fasilitas seperti ruang laktasi yang memadai, jadwal kerja fleksibel, dan waktu istirahat untuk memerah ASI memungkinkan ibu menyusui tetap fokus dan nyaman menjalankan peran ganda sebagai pekerja dan ibu. Hal ini juga dapat membantu membangun citra perusahaan sebagai tempat kerja yang inklusif dan ramah keluarga, yang peduli pada kesejahteraan karyawan.
Meningkatkan Dukungan
Tanpa dukungan lingkungan kerja yang memadai, banyak ibu yang terpaksa berhenti menyusui lebih awal dari yang direkomendasikan oleh WHO. Atau sebaliknya: tidak sedikit ibu menyusui yang terpaksa memilih keluar dari pekerjaan demi dapat fokus untuk memberikan ASI eksklusif untuk bayinya; dan hal ini dapat berarti kemunduran bagi upaya penciptaan dunia kerja yang inklusif dan adil-gender. Oleh karena itu, menciptakan lingkungan kerja yang ramah ibu menyusui adalah sebuah urgensi.
Pada Pekan ASI Sedunia 2025, UNICEF dan WHO menyerukan kepada seluruh pihak—pemerintah, dunia usaha, institusi kesehatan, sektor swasta, dan masyarakat—untuk mempercepat upaya dalam mendukung ibu menyusui. Salah satu poin rekomendasi yang disampaikan adalah menerapkan kebijakan ramah keluarga di lingkungan kerja, termasuk cuti melahirkan dengan upah, ruang laktasi, dan pengaturan kerja yang fleksibel.
Pada akhirnya, lingkungan kerja yang ramah ibu menyusui bukanlah satu-satunya dukungan yang dibutuhkan. Yang diperlukan adalah sistem dukungan yang komprehensif, partisipatif, dan berkelanjutan, yang melibatkan peran seluruh anggota masyarakat, antara lain dengan mengarusutamakan peran pengasuhan yang setara (melibatkan peran yang bermakna dari ayah, terutama selama proses menyusui), menghormati otonomi perempuan dan haknya untuk menyusui kapan saja dan di mana saja, menciptakan sistem layanan kesehatan yang ramah terhadap perempuan dan ibu menyusui, dan membangun solidaritas. Selain itu, UNICEF dan WHO merekomendasikan hal-hal berikut:
- Memperluas akses terhadap layanan konseling menyusui yang terampil melalui fasilitas kesehatan, layanan masyarakat, dan opsi jarak jauh seperti telekonseling dari Kementerian Kesehatan.
- Memastikan seluruh fasilitas bersalin menerapkan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui dalam Inisiatif Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi.
- Menegakkan Kode Internasional Pemasaran Produk Pengganti ASI guna melindungi keluarga dari praktik pemasaran yang tidak etis.
- Mengintegrasikan edukasi tentang menyusui dalam kurikulum pelatihan tenaga kesehatan.
“Dengan berinvestasi pada sistem dukungan bagi ibu menyusui, kita menciptakan jaring pengaman penting yang memastikan tak ada ibu yang menghadapi tantangan menyusui seorang diri,” ujar Maniza Zaman, Perwakilan UNICEF Indonesia. “Ketika perempuan dan bayi mereka berhasil menyusu dengan baik, hal ini akan menciptakan dampak positif berantai—tidak hanya bagi tumbuh kembang anak, tapi juga bagi ketahanan keluarga, kesehatan masyarakat, dan masa depan bangsa yang lebih baik.”

Berlangganan GNA Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor di beberapa media tingkat nasional.