Perempuan Penjaga Hutan di Negeri Patriarki: Kisah Mpu Uteun dan Ekofeminisme di Aceh

Foto bersama seorang Mpu Uteun. | Foto: Dokumentasi pribadi Naufal Akram.
Damaran Baru menguarkan aroma tanah basah dan udara sejuk khas dataran tinggi Gayo. Di antara semak belukar, langkah-langkah ringan diiringi bunyi ranting patah di bawah pijakan mengantarkan saya pada pertemuan yang berkesan dengan para penjaga hutan. Mereka adalah Mpu Uteun–para “ibu hutan”–yang tak gentar melawan penebangan ilegal, membongkar jerat pemburu, mendokumentasikan flora-fauna, dan menanam kembali kehidupan.
Deforestasi di Aceh dan Perjuangan Para Perempuan di Tanah Patriarki
Deforestasi Aceh telah dan sedang berlangsung membabi buta. Data menunjukkan tutupan hutan Aceh menyusut sebanyak 10.610 hektare pada 2024, naik 19% dari tahun sebelumnya. Kehadiran Mpu Uteun menjadi semacam benteng terakhir. Mereka membawa sesuatu yang kerap hilang dalam pendekatan konservasi berbasis kekuasaan: kepedulian relasional. Para perempuan di sini tak hanya melihat hutan sebagai sumber kayu atau lahan, melainkan sebagai penopang kehidupan–air, udara, pangan, dan warisan untuk anak cucu.
Namun, perjuangan Mpu Uteun tidaklah mudah, terutama karena berlangsung di tanah yang kental dengan norma patriarki. Sebuah ironi yang terasa anekdot: urusan hutan dan keamanan yang kerap dianggap domain laki-laki, justru diselesaikan oleh ine-ine–sebutan untuk ibu di Aceh– khususnya di kampung Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.
Kini, ruang perempuan pada eksistensi Mpu Uteun semakin melebar. Ruang mereka tidak lagi terbatas pada ranah domestik, melainkan hadir sebagai bagian penting dalam menjaga keseimbangan alam. Kehadiran mereka menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan mampu menghadirkan cara pandang yang lebih menyeluruh, yang menghubungkan relasi sosial, keberlanjutan lingkungan, dan keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Bahkan pada 2019, para perempuanlah yang diberi hak mengelola 253,04 hektare hutan desa. Setiap kali melakukan patroli, mereka diganjar kompensasi sekitar Rp100.000. Jumlah yang tak sebanding dengan risiko yang harus mereka harapi, namun cukup untuk membuktikan bahwa dedikasi mereka bukan tentang uang.
Munculnya Ekofeminisme di Aceh yang Patriarkal
Ekofeminisme lahir dari pandangan bahwa penindasan terhadap alam dan perempuan bersumber dari sistem dominasi yang sama–patriarki dan kapitalisme– yang menempatkan keduanya sebagai objek untuk dieksploitasi. Teori ini memiliki dua arus utama:
- Ekofeminisme kultural, yang menekankan kedekatan emosional dan spiritual perempuan dengan alam.
- Ekofeminisme materialis, yang berfokus pada hubungan struktural antara ketidakadilan gender dan perusakan lingkungan.
Cara Mpu Uteun dalam menjaga hutan mencerminkan sintesis keduanya. Ine-ine di Damaran Baru memperlihatkan bahwa mereka tidak hanya memandang hutan sebagai ibu yang harus dilindungi, namun juga memahami relasi kekuasaan yang membuat perempuan dan hutan sama-sama rentan. Alih-alih tunduk pada tatanan, mereka mengubah keterpinggiran menjadi kekuatan advokasi berbasis pengalaman dan kedekatan langsung dengan alam.
Kisah Mpu Uteun menjadi pengingat bahwa solusi terkait krisis lingkungan di wilayah patriarkis secara anekdot datang dari pihak yang justru diremehkan. Mpu Uteun adalah perlawanan simbolis terhadap dominasi patriarki dan eksploitasi alam. Fenomena ini adalah bentuk narasi baru bahwa perlindungan hutan tak harus berwajah maskulin.
Di tengah sunyi hutan Aceh, suara langkah perempuan-perempuan ini menggema lebih keras dari gergaji mesin. Pertemuan saya dengan para Mpu Uteun kala itu menjustifikasi bahwa harapan atas advokasi ekologis yang berkeadilan tumbuh dari keberanian mereka yang menantang stigma dan mengubah keterpinggiran menjadi kekuatan yang tak tergoyahkan.
Editor: Abul Muamar
Terbitkan cerita ringan dari tengah masyarakat bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Konten Komunitas GNA

Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan GNA Indonesia.
Langganan Anda akan memberikan akses ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia, memperkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda sekaligus mendukung kapasitas finansial Green Network Asia untuk terus menerbitkan konten yang didedikasikan untuk pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder.
Pilih Paket Langganan
Naufal adalah mahasiswa S1 Kesehatan Lingkungan di Universitas Indonesia. Ia memiliki minat yang kuat terhadap advokasi lingkungan dan keberlanjutan.