Pendekatan Sistemik untuk Hapus Kekerasan Seksual di Fasilitas Kesehatan

Foto: Nappy di Unsplash.
Fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, klinik, dan lainnya semestinya adalah tempat orang-orang memperoleh layanan kesehatan untuk hidup yang lebih baik. Namun, bagaimana jika rumah sakit maupun fasilitas kesehatan lainnya menjelma tempat yang mengerikan, termasuk menjadi tempat berlangsungnya kekerasan seksual? Itulah fakta yang terjadi di beberapa fasilitas kesehatan di berbagai daerah di Indonesia. Demi terciptanya layanan kesehatan yang aman dan berkualitas untuk mendukung kesehatan masyarakat, memberantas kekerasan seksual di fasilitas kesehatan adalah harga mati.
Kekerasan Seksual di Fasilitas Kesehatan
Kekerasan seksual di fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit, bukanlah hal yang baru di Indonesia. Bentuk kejahatan ini telah terjadi selama bertahun-tahun, dan marak pada semester pertama tahun 2025. Kurun Maret-April 2025 saja, ada empat kasus yang terungkap ke permukaan, dengan pelaku seluruhnya merupakan dokter.
Salah satu kasus terjadi di Bandung, dengan pelaku seorang dokter residen PPDS Anestesi di RSUP Dr Hasan Sadikin. Berdasarkan keterangan yang diterima kepolisian dari korban, pelaku sengaja memasukkan bius ke dalam infus saat pengambilan darah korban untuk didonorkan kepada ayahnya yang sedang menjalani perawatan, lantas korban diperkosa saat tak sadarkan diri. Belakangan terungkap bahwa ada dua korban kekerasan seksual lain oleh pelaku yang sama.
Di Garut, seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan (Obgyn) melakukan pelecehan seksual terhadap pasien hamil di sebuah klinik saat melakukan pemeriksaan USG. Video kejahatannya beredar luas di media sosial, dan dokter tersebut kemudian ditetapkan sebagai tersangka atas kasus kekerasan seksual yang berbeda.
Di Jakarta, seorang dokter gigi peserta PPDS Universitas Indonesia, menjadi tersangka setelah merekam seorang mahasiswi yang sedang mandi di sebuah indekos. Sementara di Malang, seorang dokter dilaporkan atas dugaan kekerasan seksual terhadap seorang pasien perempuan di sebuah rumah sakit swasta. Kasus tersebut sejatinya terjadi pada September 2022 saat korban menjalani rawat inap di rumah sakit tersebut, dan baru dilaporkan ke pihak kepolisian pada April 2025.
Sementara menurut catatan Komnas Perempuan, setidaknya ada 15 kasus kekerasan seksual di fasilitas kesehatan sepanjang 2020 hingga 2024, dengan 9 di antaranya melibatkan dokter sebagai pelaku. Jumlah kasus sebenarnya mungkin jauh lebih banyak, namun tidak pernah mengemuka karena berbagai faktor penghalang, antara lain karena lemahnya mekanisme pengaduan dan dukungan bagi korban, serta stigma yang menghambat korban untuk bersuara.
“Ini adalah ‘fenomena gunung es’. Selama ini memang praktik-praktik seperti ini sangat tertutup. Tapi sekarang, dengan media sosial dan keterbukaan dari generasi muda, kasus-kasus ini bisa muncul ke permukaan,” kata Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers pada 21 April 2025.
Kawasan Bebas Kekerasan Seksual di Fasilitas Kesehatan
Kekerasan seksual di fasilitas kesehatan adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia–terhadap hak atas rasa aman, hak atas kesehatan, dan hak atas perlakuan bermartabat. Kejahatan ini juga merupakan bentuk pelanggaran etika profesi yang dapat menggerus kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan. Meski tenaga medis (dokter dan perawat) paling sering menjadi pelaku, kekerasan seksual di fasilitas kesehatan juga dapat menempatkan tenaga medis sebagai korban, baik oleh sesama tenaga medis maupun oleh pasien.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan merekomendasikan agar Kementerian Kesehatan menetapkan kebijakan nasional tentang Kawasan Bebas Kekerasan Seksual dan zona integritas di semua fasilitas kesehatan, yang mencakup pengembangan mekanisme pencegahan dan penanganan dengan pendekatan berbasis hak dan berpusat pada korban. Langkah-langkah yang diperlukan meliputi penyusunan kebijakan yang jelas dan selaras dengan standar nasional dan internasional seperti Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan pedoman WHO; mekanisme pelaporan yang aman, mudah diakses, rahasia, serta melindungi pelapor dari intimidasi dan pembalasan; SOP pencegahan dan penanganan pengaduan yang berpusat pada korban; pembentukan satgas, serta pelatihan rutin tentang dinamika relasi kuasa dalam profesi dan isu kekerasan seksual.
Komnas Perempuan juga mendorong organisasi profesi kedokteran dan tenaga kesehatan untuk memperkuat sistem etik dan disiplin internal, termasuk membentuk mekanisme khusus untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berpihak pada korban.
Pendekatan Sistemik dan Transformatif
“Perlindungan menyeluruh terhadap korban, penegakan etika profesi yang tegas, serta akuntabilitas lembaga harus diwujudkan untuk menghadirkan sistem kesehatan yang adil, responsif gender, inklusif, dan menjunjung hak asasi manusia. Komnas Perempuan menegaskan pentingnya pendekatan sistemik dan transformatif dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di fasilitas kesehatan demi menjamin perlindungan yang adil dan menyeluruh bagi korban,” kata Ratna Batara Munti, Komisioner Komnas Perempuan.
Menghapus ketimpangan relasi antara tenaga medis dan pasien, memperkuat pengawasan dan penegakan etika profesi, meningkatkan sosialisasi/edukasi tentang hak-hak dan kewajiban pasien dan tenaga medis, merancang aturan terkait penanganan kekerasan seksual di internal fasilitas kesehatan, memperkuat komitmen dan tanggung jawab terhadap kasus-kasus kekerasan seksual serta menghentikan pembelaan/penyangkalan terhadap pelaku di kalangan tenaga medis, serta memperkuat mekanisme pengaduan dan dukungan bagi korban, adalah beberapa langkah penting yang diperlukan. Di samping itu, yang tak boleh ketinggalan, adalah mereformasi sistem pendidikan dokter dan lingkungan kerja medis untuk menciptakan fasilitas kesehatan sebagai ruang publik yang aman dan menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

Berlangganan Green Network Asia – Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor di beberapa media tingkat nasional.