Nestapa Nelayan di Dusun Sei Sembilang Banyuasin di Tengah Perubahan Iklim

Nelayan di pesisir Dusun Sei Sembilang. | Foto: Dinar Try Akbar.
Perubahan iklim telah menimbulkan dampak di seluruh belahan dunia, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan tingkatan yang berbeda-beda. Namun, desa-desa di pesisir Indonesia termasuk di antara wilayah yang paling rentan dan merasakan dampak yang lebih buruk. Badan Pusat Statistik (2024) mencatat setidaknya 1.511 desa di Indonesia yang berada di daerah pesisir; dan yang menyedihkan, lebih dari 1,3 juta orang yang tinggal di desa-desa pesisir hidup dalam keadaan miskin, dengan tingkat kerentanan sosial, ekonomi, dan ekologis yang tinggi. Hal tersebut juga dirasakan oleh warga dan komunitas nelayan di Dusun Sei Sembilang, Desa Sungsang IV, sebuah kampung yang terletak di ujung timur pesisir Banyuasin, Sumatera Selatan, yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Berbak Sembilang–yang telah ditetapkan sebagai cagar biosfer dunia oleh UNESCO.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan beberapa warga setempat selama 3 hari pada 16-18 Mei 2025, saya mendapat informasi bahwa nelayan Sei Sembilang kini menghadapi tekanan berlapis akibat dampak perubahan iklim. Mereka merasakan produktivitas hasil tangkapan menurun, sementara biaya operasional melaut dan biaya kebutuhan domestik rumah tangga semakin meningkat.
Kesulitan yang Mendera Nelayan Sei Sembilang
Cuaca yang sulit diprediksi dan meningkatnya frekuensi gelombang tinggi dan arus laut telah sering dihadapi oleh masyarakat dan nelayan di Dusun Sei Sembilang dan masyarakat di desa-desa lainnya di sepanjang pesisir Banyuasin. Anomali iklim saat ini sulit mereka pahami berdasarkan pengetahuan lokal mereka, sehingga membuat produktivitas nelayan menurun. Para nelayan Sei Sembilang harus melaut lebih jauh untuk mencari ikan karena wilayah tangkapan mereka telah berubah. Kini, mereka terpaksa mengeluarkan biaya solar dua kali lipat dibanding beberapa tahun lalu untuk mencapai titik yang sama.
Tidak hanya membawa dampak ekologis, perubahan iklim juga berdampak pada aspek sosial-ekonomi yang lebih luas. Dampak ini paling dirasakan oleh perempuan di dusun tersebut, yang tidak hanya semakin kesulitan dalam mengelola rumah tangga, tetapi juga harus menanggung beban ekonomi tambahan saat penghasilan suami berkurang. Kondisi ini kian menyulitkan karena letak Dusun Sei Sembilang berada di wilayah terluar dengan keterbatasan infrastruktur dasar seperti akses pendidikan, layanan kesehatan, dan air bersih. Selain itu, peluang ekonomi di dusun ini juga masih sangat terbatas–mayoritas warga hanya mengandalkan hasil tangkapan dari laut.
Kesulitan yang dirasakan mereka semakin parah karena wilayah ini juga belum teraliri listrik dari jaringan nasional. Warga Sei Sembilang sangat bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang dimiliki oleh pribadi. Setiap rumah tangga harus membayar iuran sebesar Rp650 ribu hingga Rp1,2 juta per bulan hanya untuk penggunaan benda-benda elektronik yang tidak memerlukan daya yang besar, dan biaya ini dapat naik menyesuaikan dengan harga BBM yang berlaku.
Adapun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang merupakan program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) dari PT Kilang Pertamina Internasional RU III, belum mampu menjadi sumber listrik utama untuk semua rumah tangga karena hanya menjangkau beberapa titik seperti masjid, bangunan rumah literasi, dan kantor dusun.
Upaya Adaptasi dan Harapan
Di tengah segala kesulitan dan keterbatasan, para warga dan nelayan di Dusun Sei Sembilang mencoba beradaptasi dengan keadaan. Kelompok ibu-ibu rumah tangga, misalnya, berupaya memperoleh tambahan pendapatan dengan membuat produk olahan dari ikan dan udang, seperti pempek dan terasi. Perlahan, olahan terasi mereka telah terjual sampai Pulau Bangka Belitung dan Kota Palembang dengan menitipkan pada nelayan yang akan melaut atau lewat jasa transportasi sungai.

Sementara itu, para nelayan, yang merupakan suami mereka, pun tak kehabisan akal. Saat tidak dapat melaut jauh, mereka menangkap komoditas seperti kepiting, kerang, dan udang di kawasan mangrove yang berada di sepanjang pinggiran sungai Sembilang. Selain untuk dijual, hasil tangkapan membantu memenuhi kebutuhan konsumsi harian mereka.
Dengan segala keterbatasan, mereka juga terlibat dalam upaya restorasi mangrove swadaya, karena mereka sepenuhnya sadar bahwa kehidupan mereka sangat bergantung pada kelestarian ekosistem pesisir dan laut. Selain itu, mereka juga mengelola sampah organik menjadi kompos untuk mendukung perkebunan sayur untuk memenuhi kebutuhan mereka. Namun, sekalipun mampu beradaptasi dengan berbagai kesulitan, mereka tetap membutuhkan dukungan sistemik dan responsif terhadap perubahan iklim agar mereka tidak hanya sekadar bertahan, tetapi juga dapat merasakan kehidupan yang lebih baik dan sejahtera.
“Warga di dusun kami tetap berusaha bertahan. Beberapa inisiatif seperti restorasi mangrove swadaya dan pelatihan pengolahan produk hasil laut telah dimulai sebagai alternatif ekonomi. Harapannya, pemerintah dapat memperhatikan kebutuhan mendasar warga di dusun kami seperti infrastruktur listrik, kesehatan, dan pendidikan,” kata Monik, Kepala Dusun Sei Sembilang.
Editor: Abul Muamar

Berlangganan Green Network Asia – Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Dinar adalah peneliti dan mahasiswa Magister Pengelolaan Lingkungan Pascasarjana Universitas Sriwijaya. Ia merupakan koordinator Komunitas Mangrove Jaga Kita (Mangjaki).