Kemitraan untuk Lindungi Keanekaragaman Hayati Wallacea
Keanekaragaman hayati merupakan denyut kehidupan. Berbagai spesies hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme yang saling berinteraksi dalam suatu ekosistem, menghadirkan warna dan harmoni dalam keberlangsungan alam. Namun, keanekaragaman hayati di berbagai belahan dunia menghadapi ancaman yang semakin nyata, terutama akibat kerusakan lingkungan dan habitat. Keanekaragaman hayati di Wallacea, wilayah bagian tengah Indonesia yang memiliki kekayaan endemisitas, juga tidak luput dari ancaman tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati di Wallacea. Salah satunya adalah Program Kemitraan Wallacea yang diselenggarakan oleh Burung Indonesia dan menggandeng masyarakat setempat.
Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati Wallacea
Berada di antara Pulau Jawa, Bali, dan Kalimantan di sebelah barat dan Papua di sebelah timur, Wallacea dikenal sebagai surganya keanekaragaman hayati. Kawasan ini meliputi pulau-pulau di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Maluku Utara, dan beberapa pulau kecil lainnya. Kawasan ini merupakan laboratorium hidup untuk mempelajari evolusi. Penamaannya berasal dari nama Alfred Russel Wallace, naturalis Inggris yang pernah menjelajahi kepulauan Nusantara pada abad ke-19 dan mengembangkan teori seleksi alam melalui pengamatannya terhadap berbagai satwa endemik.
Keanekaragaman hayati Wallacea kini tengah menghadapi ancaman deforestasi dan degradasi hutan, terutama akibat aktivitas pertambangan, pertanian, dan perkebunan yang massif dalam beberapa dasawarsa terakhir. Yang paling mencolok adalah tambang nikel, yang kini menjamur di wilayah Sulawesi dan Maluku Utara seiring dengan ambisi pemerintah untuk menjadi pemain utama dalam industri kendaraan listrik.
Selain itu, perburuan dan perdagangan satwa liar dan endemik, juga turut berkontribusi dalam menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati Wallacea. Elang Flores dan Celepuk Siau adalah dua jenis burung yang paling menyedihkan nasibnya, dan kini berstatus terancam punah.
”Di Sulawesi juga ada [perburuan] bushmeat (daging semak), yang berpotensi memicu zoonosis dan harus dikontrol untuk mencegah pandemi di masa depan,” kata Jatna Supriatna, ahli biologi konservasi dari Institute for Sustainable Earth and Resources-Universitas Indonesia (ISER-UI), dalam acara Midterm Review Program Kemitraan Wallacea II di Makassar, 4 Mei 2023.
Ancaman lainnya yang bahkan lebih serius adalah perubahan iklim. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa perubahan iklim akan sangat berdampak terhadap kehidupan di pulau-pulau kecil, termasuk di Pulau Komodo. Pada Agustus 2021, Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) menetapkan komodo sebagai spesies yang Terancam Punah (Endangered). Pemanasan global dan kenaikan air laut merupakan ancaman terbesar bagi keberlangsungan hidup komodo, dan diprediksi akan mengurangi 30% populasi kadal raksasa itu dalam 45 tahun ke depan.
Melindungi Keanekaragaman Hayati Wallacea
Program Kemitraan Wallacea merupakan upaya untuk melindungi ekosistem pesisir dengan menerapkan pemanfaatan berkelanjutan di wilayah Wallacea. Program yang mendapat dukungan dana dari Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) ini telah dimulai sejak 2015. Tahap pertama program ini telah berakhir pada 2019 dan kini memasuki tahap kedua.
Fokus Kemitraan Wallacea tahap II menyasar tujuh koridor laut prioritas, meliputi Togean Banggai, Pangkajene Kepulauan, Solor-Alor, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Bentang Laut Buru. Diimplementasikan ke dalam 44 proyek yang dikerjakan oleh 38 mitra, Kemitraan Wallacea II dimaksudkan untuk memperkuat peran kelompok masyarakat sipil dalam perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati laut, pengelolaan ekosistem pesisir, dan pengembangan kelembagaan masyarakat pesisir dalam skema perikanan skala kecil yang berkelanjutan.
“Kegiatannya terutama untuk proteksi yang lebih baik terhadap spesies di laut. Kami juga melakukan peningkatan kapasitas masyarakat sipil dan kontribusi terhadap perbaikan kebijakan pemerintah,” kata Direktur Eksekutif Burung Indonesia Dian Agista.
Pada akhirnya, melindungi keanekaragaman hayati adalah tugas kita bersama. Untuk itu, kolaborasi antar-pemangku kepentingan lintas-sektoral perlu ditingkatkan untuk memastikan upaya yang dilakukan dapat mencapai hasil yang diharapkan. Di samping itu, penting juga untuk mengikuti kerangka kerja global untuk mengatasi penurunan keanekaragaman hayati secara komprehensif di tingkat lokal, regional, hingga internasional. Menyelamatkan keanekaragaman hayati juga berarti mendukung pelestarian lingkungan, ketahanan pangan, dan memastikan kesejahteraan untuk semua.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.