Hanna Keraf, Memberdayakan Perempuan di NTT dengan Menghidupkan Kembali Tradisi Menganyam
Menganyam merupakan tradisi yang telah ada sejak ratusan tahun lalu. Namun, di berbagai daerah di Indonesia, tradisi menganyam mulai luntur seiring perkembangan zaman. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), pudarnya tradisi menganyam berkelindan dengan berbagai masalah sosial-ekonomi, seperti kemiskinan, angka malnutrisi yang tinggi, hingga minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan. Semua masalah itu terutama berdampak pada kehidupan para perempuan yang cenderung tidak memiliki akses ke sumber penghasilan yang setara dengan laki-laki.
Keadaan itu mengusik Hanna Keraf, wirausaha muda yang dikenal sebagai salah satu pendiri Du Anyam. Du Anyam adalah sebuah kewirausahaan sosial yang bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas hidup ibu-ibu rumah tangga melalui kerajinan anyaman. Dengan bekal ilmu bisnis yang ia miliki, perempuan yang akrab disapa Hanna ini berupaya memberdayakan para perempuan di NTT dengan menghidupkan kembali tradisi menganyam.
Menghidupkan Kembali Tradisi Menganyam
Perjalanan Hanna dalam memberdayakan para ibu di NTT bermula di Maumere, Kabupaten Sikka, pada tahun 2012. Saat itu, ia masih bekerja untuk Yayasan Sahabat Cipta dan Swisscontact. Ia menyaksikan bagaimana masyarakat Maumere yang memiliki sumber daya alam yang kaya, justru sering tidak menikmati hasilnya karena semua dijual ke luar daerah.
“Misalnya waktu itu di dalam konservasi hutan ada produksi madu hutan. Kami tanya ‘Kalian minum madunya tidak?’ Ternyata tidak. Lah, gimana. Harusnya masyarakat lokal dulu yang merasakan madu itu sebelum dijual ke luar,” kenang Hanna.
Dalam perjalanannya, Hanna semakin sering menyaksikan masalah serupa di mana kekayaan dan potensi lokal yang ada seringkali tidak mampu mensejahterakan masyarakat setempat karena berbagai faktor, termasuk produk-produk anyaman dari daun lontar bikinan para perempuan di Sikka. Faktor-faktor tersebut antara lain kurangnya koordinasi dan inovasi di antara para pengrajin, akses pasar yang jauh dan terbatas, dan rantai pasok yang tidak efisien.
Seiring waktu, perlahan-lahan ia mulai membangun jejaring dengan melibatkan seratusan ibu-ibu penganyam. Gerakan itu ia beri nama Du Anyam, yang dalam bahasa Sikka berarti ‘Perempuan Menganyam’. Ia mengasah keterampilan para perempuan penganyam di daerah tersebut dan memoles kemampuan mereka dalam membuat produk anyaman dengan beragam desain yang fungsional dan estetik.
Setiap bulannya, para perempuan binaan Rumah Du Anyam mampu menghasilkan ratusan produk anyaman dari daun lontar dengan berbagai jenis. Produk anyaman yang mereka hasilkan di antaranya tapisan beras, tempat sirih pinang, kipas tangan, keranjang, topi, dompet, sobe (tas lonjong), dese (tas lebar), keleka (tapis beras), lepa (tas gantung), dan monga (piring).
Dari situ, tradisi menganyam daun lontar di NTT mulai berdenyut kembali dan para perempuan pun beroleh penghasilan. Melalui gerakan Du Anyam, Hanna membuat tradisi menganyam daun lontar yang semula hanya dipandang sebagai tradisi budaya, menjadi sumber penghasilan yang berarti bagi ibu-ibu yang terlibat di dalamnya.
“Bagaimana perempuan bisa menggunakan skil yang dimiliki dengan menggunakan bahan-bahan lokal yang ada, lalu dimanfaatkan untuk dibuat produk-produk yang memiliki nilai jual. Sesimpel itu sebenarnya idenya,” kata perempuan kelahiran 14 Desember 1988 ini.
Memberdayakan Perempuan Lewat Anyaman
Dari Sikka, Hanna kemudian beralih ke Kabupaten Lembata dan Kabupaten Flores Timur pada tahun 2014. Bersama dua temannya, Azalea Ayuningtyas dan Melia Winata, ia mengembangkan Du Anyam menjadi sebuah kewirausahaan sosial yang lebih besar dan terus bertahan sampai hari ini. Bermula dari kelompok-kelompok kecil di lima desa, kini Du Anyam telah merambah ke 32 desa di NTT dan Nabire (Papua Tengah) dan melatih sekitar 1.400 perempuan penganyam.
Selain meningkatkan kualitas dan citra anyaman, Du Anyam juga meningkatkan keterampilan menganyam dan keterampilan bisnis para perempuan pengayam, serta membantu dalam memasarkan produk mereka ke berbagai wilayah Indonesia dan luar negeri. Beberapa produk yang mereka hasilkan diperkenalkan dalam beberapa event internasional, seperti Asian Games 2018 dan pada ASEAN Summit 2023. Dengan penghasilan yang diperoleh, para perempuan binaan Du Anyam tidak hanya melestarikan tradisi menganyam, tetapi juga mampu menghasilkan pendapatan sendiri dan menjadi lebih berdaya.
“Goal akhirnya adalah menjadikan mereka mandiri, menjadi entrepreneur on themselves. Skil mereka end to end. Mulai dari membuat produk, memasarkan, termasuk punya kemampuan story telling untuk menjual produk mereka. At the end mereka ada yang menjadi trainer, ada yang menjadi pemimpin di komunitas mereka, menjadi pengurus di koperasi kredit, atau jadi kepala dusun, jadi RT, jadi RW, dan lainnya. Mereka menempati posisi-posisi kepemimpinan dimana mereka bisa menyampaikan informasi dengan baik. Peningkatan kualitas SDM itu yang paling membuat saya bangga,” kata sarjana bisnis internasional dari Universitas Ritsumeikan, Jepang, ini.
Pendirian Du Anyam tidak terbatas oleh tujuan pemberdayaan perempuan dan pelestarian tradisi anyaman. Di samping itu, Hanna juga melihat adanya permasalahan kaum muda di daerah yang kurang berperan dalam memajukan perekonomian lokal. Pada saat potensi yang ada tidak tergarap, kaum muda di daerah lebih banyak memilih untuk bekerja di wilayah perkotaan. Permasalahan tersebut, menurutnya, muncul akibat kurangnya kemampuan dalam menerjemahkan dan memanfaatkan informasi.
“Bukan cuma di Indonesia Timur saya kira, tapi juga daerah-daerah terpencil lain juga sama kasusnya. Merantau menjadi opsi yang paling mudah untuk memperbaiki ekonomi. Ini salah satunya karena di daerah seringkali tidak ada kesempatan kerja. Kalaupun ada pasti mensyaratkan pendidikan yang bagus, lalu harus bersaing dengan segala sistem yang sering tidak ideal,” kata Hanna.
Mengembangkan Produk Anyaman dari Purun
Pada tahun 2020, Du Anyam merentangkan sayap ke wilayah Kalimantan Selatan dengan mengolah tanaman purun menjadi produk kerajinan anyaman. Tanaman purun merupakan tanaman yang tumbuh secara liar di lahan gambut dan sering dijadikan sebagai bahan dasar anyaman atau produk kerajinan tangan. Bisnis ini berjalan beriringan dengan konservasi lahan gambut, bekerja sama dengan Badan Restorasi Gambut dengan fokus mencegah kebakaran, penyalahgunaan, dan konversi lahan. Dalam hal ini, Du Anyam mengembangkan sistem produksi anyaman purun berbasis komunitas dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai penjaga utama lahan gambut.
“Harapannya, masyarakat yang tinggal di sekitar situ bisa menjadi ‘polisi’ dan mendapatkan benefit dengan menjaga lahan gambut,” kata Hanna.
Sejak 2021, Hanna juga mulai mengembangkan Krealogi, sebuah aplikasi yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan pelaku UMKM. Krealogi tidak hanya berfokus pada anyaman, tapi juga berbagai produk buatan masyarakat lokal dari daerah pedalaman.
“Produknya berasal dari usaha ultra mikro dan mikro dari daerah terpencil. Ada keripik, tenun, kain-kain batik, dan lainnya. Jadi cukup banyak. Ini untuk mengatasi kendala pelaku usaha ultra mikro dan mikro saat harus bersaing dengan usaha yang kelasnya sudah menengah,” kata Hanna.
Bagaimana pun, semua itu tidak selalu berjalan mulus. Ada berbagai tantangan berat yang dihadapi Hanna dan timnya, salah satunya adalah memastikan keberlanjutan di seluruh rantai pasoknya. Tantangan lainnya menyangkut pencatatan, kualitas SDM yang belum merata, hingga adanya tradisi adat dan kepercayaan di tiap-tiap desa yang tidak bisa ditinggalkan.
“Ketika ada acara adat, seperti kematian, kelahiran, pernikahan, produksi jadi berhenti,” katanya tertawa. “Pada akhirnya kami harus mengambil pendekatan-pendekatan teknik industri, seperti time and motion study, kami adaptasikan dan kami terjemahkan itu di desa-desa.”
Merelakan Banyak Kesempatan
Di samping menghidupkan kembali tradisi anyaman dan memberdayakan perempuan, Hanna juga berupaya memberikan dukungan penting lainnya bagi masyarakat di Flores dan Lembata. Di antaranya, ia mengupayakan beasiswa untuk anak-anak di dua kabupaten itu dari para donor. Hingga Agustus 2023, sudah ada 400-an anak yang mendapatkan beasiswa untuk jenjang SD hingga perguruan tinggi.
Selain itu, ia juga mencarikan pendonor untuk mendukung anak-anak belajar dan para perempuan menganyam di malam hari, serta mengadakan pemberian makanan bergizi seimbang untuk membantu menangani masalah stunting di NTT.
Semua yang dilakukan Hanna bukannya tanpa pengorbanan. Ketika memutuskan untuk berangkat ke NTT, ia sebenarnya telah memperoleh beasiswa kuliah S2 di luar negeri. Jalan yang ia tempuh juga sejatinya tidak sesuai harapan orang tuanya, yang menginginkan ia bekerja di perusahaan-perusahaan besar di luar negeri.
“Ada beberapa kesempatan yang pada akhirnya tidak jadi saya ambil. Dan sebenarnya saya juga diarahkan oleh orang tua saya untuk di Tokyo, Singapura, ya, di luar negeri gitu. Namun keinginan untuk bisa berkontribusi ke Nusa Tenggara Timur menjadi alasan terbesar untuk memilih tinggal dan bekerja di Flores. Saya terinspirasi dari keluarga saya sendiri. Keluarga saya tadinya nelayan miskin, yang kemudian bisa keluar dari lingkaran kemiskinan berkat pendidikan,” ujar putri Sonny Keraf, mantan Menteri Lingkungan Hidup di era Presiden Gus Dur ini.
Sebagai seorang perempuan, Hanna tidak memungkiri adanya perlakuan “berbeda” yang ia rasakan selama melakoni inisiatif ini. Namun, hal itu tak menjadi halangan berarti baginya karena ia selalu yakin bahwa perempuan punya potensi dan kekuatan yang sama dengan laki-laki.
“Saya sering dibanding-bandingkan dengan entrepreneur muda laki-laki. Apalagi Indonesia secara umum masih sangat patriarki. Tapi pada akhirnya, karena saya punya tanggung jawab besar sebagai pemimpin, saya harus bisa beradaptasi dengan keadaan. Sebagai perempuan, saya dan pemimpin perempuan lain harus menunjukkan diri sebagai contoh pemimpin perempuan yang baik agar perempuan yang bekerja dengan kami mendapatkan contoh,” katanya.
Sebagai penutup, ia menambahkan, “Indonesia ini sangat kaya. Banyak sekali konteks hiperlokal yang berbeda-beda di setiap daerah. Solusi yang mungkin akan berlaku di semua tempat untuk pemberdayaan perempuan adalah laki-laki harus dilibatkan. Laki-laki harus mau mengakui kalau perempuan itu mampu dan bisa maju. Kalau tidak, akan selalu ada batu ganjalan saat perempuan hendak menjalankan perannya di tengah masyarakat. Kemudian, yang perlu difokuskan adalah bagaimana kita bisa mengembangkan daerah-daerah itu sesuai dengan konteks lokalnya agar perempuan di daerah-daerah tersebut bisa maju dan ekonomi lokalnya pun ikut maju.”
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.