Mengulik Dampak Lingkungan dari Perkebunan Tebu Monokultur

Foto: sarangib di Pixabay.
Indonesia banyak dilimpahi dengan tanah subur yang mendukung sektor pertanian dan perkebunan. Selama ini, telah banyak komoditas yang dikembangkan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun menjadi komoditas ekspor, salah satunya tebu. Tebu merupakan komoditas yang terus digenjot produksinya untuk memenuhi kebutuhan gula nasional sekaligus dikembangkan sebagai sumber bahan bakar nabati. Namun, praktik perkebunan tebu monokultur yang telah berlangsung lama di Indonesia ternyata dapat menyebabkan degradasi lahan dan berbagai dampak buruk lainnya.
Perkebunan Tebu Monokultur dan Dampaknya
Sejak tahun 1970 dan 1980-an, pemerintah telah menetapkan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi gula untuk mencukupi konsumsi nasional yang terus meningkat seiring bertambahnya populasi. Perkebunan tebu pun diintensifkan di beberapa wilayah, khususnya Pulau Jawa. Namun, sebuah penelitian menunjukkan bahwa perkebunan tebu monokultur yang telah berlangsung lama di Indonesia justru telah menyebabkan berbagai dampak buruk terhadap lingkungan.
Salah satu yang paling disorot adalah dampaknya terhadap kualitas tanah. Perkebunan tebu di Indonesia jarang ditumbuhkan bersama tanaman penutup tanah, sehingga membuat tanah mudah erosi karena hujan ataupun aliran irigasi yang berlebih. Erosi yang menghilangkan lapisan atas tanah ini dapat berujung pada menurunnya kandungan nutrisi dan bahan organik dalam tanah. Hal ini pun dapat berdampak pada keberadaan keanekaragaman hayati pertanian (agrobiodiversitas) yang penting untuk menjaga kesuburan tanah. Misalnya, di Malang, Jawa Timur ditemukan adanya penurunan populasi cacing tanah di area perkebunan tebu monokultur yang telah berlangsung lama.
Penggunaan pupuk dan pestisida yang cukup intensif dalam perkebunan tebu monokultur juga dapat menyebabkan eutrofikasi, yaitu pertumbuhan tanaman yang tidak terkontrol di badan air sehingga mengancam keberlangsungan ekosistem dan menurunkan kualitas air. Beberapa kasus eutrofikasi ditemukan di beberapa badan air dekat perkebunan tebu di daerah Subang, Jawa Barat.
Perkebunan tebu bahkan juga turut berkontribusi dalam peningkatan emisi gas rumah kaca. Emisi ini utamanya dihasilkan akibat pembakaran saat panen, penggunaan pupuk sintetis, dan juga bahan bakar fosil saat mendistribusikan tebu ke pabrik gula. Pembakaran merupakan praktik umum yang dilakukan untuk mempercepat dan mempermudah proses panen tebu. Sayangnya, praktik ini tidak hanya menghasilkan emisi, tetapi juga mengurangi kesuburan tanah dan meningkatkan risiko kebakaran lahan.
Degradasi ekologis akibat perkebunan tebu monokultur jangka panjang di atas justru dapat berujung pada menurunnya produktivitas. Misalnya, di daerah Lampung Utara, produktivitas tebu telah menurun sejak tahun 1984 akibat kesuburan tanah yang terus menurun. Hal yang sama juga terjadi di beberapa daerah di Jawa. Penting dicatat bahwa degradasi lahan ini bukan menjadi faktor satu-satunya karena terdapat berbagai permasalahan yang lebih kompleks, seperti perubahan iklim dan minimnya riset dan koordinasi dari pelaku industri tebu.
Mewujudkan Praktik Perkebunan yang Berkelanjutan
Untuk mengurangi dampak ekologis dari perkebunan tebu monokultur, penelitian tersebut menjabarkan beberapa cara alternatif yang mengintegrasikan praktik-praktik berkelanjutan, mulai dari sistem rotasi tanaman, tumpang sari, pemanenan yang berkelanjutan, dan pertanian presisi–yaitu pertanian berbasis sistem yang mengoptimalkan penggunaan sumberdaya untuk hasil maksimal dengan mengurangi dampak terhadap lingkungan. Meskipun begitu, cara-cara ini membutuhkan dukungan pemerintah dalam pemberdayaan dan peningkatan kapasitas petani tebu. Selain itu, pemerintah juga harus mendesak industri agar melakukan praktik pertanian tebu berkelanjutan, dengan mekanisme penerapan sanksi untuk pelanggaran.
Editor: Abul Muamar
Nisa adalah reporter dan asisten peneliti di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.