Mengevaluasi Koperasi Desa Merah Putih sebagai Penggerak Ekonomi Pedesaan

Foto: Daniel Lee di Pexels.
Sejak dahulu kala, masyarakat Indonesia dikenal memiliki budaya gotong royong tinggi. Budaya ini salah satunya tercermin dari keberadaan koperasi, yang banyak ditemui terutama di wilayah pedesaan. Sebagai lembaga ekonomi kolektif, koperasi desa terbentuk atas kebutuhan warga dan dikelola secara partisipatif berdasarkan konteks lokal. Lantas, bagaimana dengan program Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP) yang digulirkan oleh pemerintah?
Koperasi di Indonesia
Koperasi telah menjadi bagian dari praktik ekonomi masyarakat Indonesia sejak akhir abad ke-19. Pendirian koperasi pada saat itu umumnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di tengah pendudukan Belanda. Memasuki masa kemerdekaan, koperasi dijadikan bagian dari sistem ekonomi nasional. Pemerintah mulai menetapkan dasar hukum koperasi dan menjadikannya instrumen pembangunan di sektor pertanian, perdagangan, hingga distribusi kebutuhan pokok. Dalam praktiknya, koperasi digunakan sebagai sarana untuk mendukung program-program pemerintah, seperti penyediaan sarana produksi dan distribusi barang ke daerah.
Pada masa orde baru (Orba), koperasi difungsikan sebagai pelaksana program pembangunan di pedesaan, yang ditandai dengan pembentukan Koperasi Unit Desa (KUD) untuk mendukung program intensifikasi pertanian dan kemudian berkembang menjadi koperasi untuk berbagai kebutuhan seperti perkreditan, penyediaan barang kebutuhan sehari-hari, penyaluran sarana produksi, dan berbagai jasa lainnya. Meski berkembang pesat dari sisi jumlah, di masa tersebut koperasi menghadapi tantangan pada kemandirian usaha, terutama karena kuatnya peran negara dalam pengelolaannya. Setelah reformasi, banyak KUD mengalami kemunduran karena kehilangan dukungan struktural.
Hingga saat ini, koperasi tetap menjadi bagian dari strategi pemerintah dalam mendorong penguatan ekonomi. Namun dalam praktiknya, penguatan kelembagaan koperasi masih menghadapi tantangan, khususnya terkait tata kelola dan partisipasi anggota. Lalu, pada 2025, pemerintah mengusung Program Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP).
Koperasi Desa Merah Putih
Kopdes MP merupakan program nasional yang diklaim untuk memperkuat ekonomi desa, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan juga sebagai upaya meningkatkan ketahanan pangan. Namun, laporan Center Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkap bahwa rancangan dan implementasi program ini memiliki sejumlah masalah di lapangan.
Berdasarkan survei terhadap 108 responden perangkat desa dari 34 provinsi di Indonesia, 76 persen di antaranya menolak skema pembiayaan Kopdes MP melalui pinjaman dari himpunan bank milik negara (bank Himbara) yang cicilannya dibebankan pada alokasi dana desa. Selain itu, 65 persen responden mengindikasikan adanya potensi praktik korupsi dalam tata kelola Kopdes MP. Selain itu, 35 persen responden melihat adanya kepentingan politik dalam pendirian Kopdes MP, dan 46 persen responden mengkhawatirkan potensi konflik yang dapat timbul di masyarakat. Kondisi tersebut tergambarkan dalam detail temuan yang mencakup antara lain:
- Kopdes MP dapat mengganggu fungsi alokasi dana desa sekaligus merusak kredibilitas dan profitabilitas bank Himbara
Pemerintah desa diminta untuk membentuk Kopdes MP dengan berhutang ke bank himbara senilai Rp 3 miliar dengan tenor pengembalian selama 10 tahun yang akan dibayar melalui dana desa. Selain dapat mengganggu fungsi dana desa sebagai instrumen untuk mendanai pembangunan desa, hal ini juga akan membuat bank himbara menghadapi risiko stabilitas keuangan. - Kopdes MP bersifat sentralistik, dengan dana desa dikuasai tanpa persetujuan masyarakat desa
Kopdes MP akan menggeser alokasi anggaran pembangunan desa seperti pembangunan jalan, irigasi, jembatan, dan infrastruktur lainnya yang sering kali menjadi kebutuhan masyarakat desa. Kondisi tersebut dapat menimbulkan dilema di kalangan perangkat desa yang akan berhadapan dengan protes masyarakat. - Kopdes MP berpotensi menghambat perkembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
Desa-desa di Indonesia telah memiliki BUMDes untuk meningkatkan perekonomian desa dan kesejahteraan masyarakat desa. Kehadiran Kopdes MP yang memiliki tujuan serupa berpotensi menimbulkan berbagai persoalan, salah satunya soal kewenangan ataupun pembagian peran yang tumpang tindih. Potensi konflik pun juga bisa muncul apabila pemerintah lebih berfokus pada Kopdes MP dan abai terhadap tantangan yang dihadapi BUMDes. - Kopdes MP merusak ekosistem usaha desa
Kopdes MP akan menggarap berbagai jenis usaha seperti simpan pinjam, gerai sembako, gerai cold storage, hingga apotek (distribusi obatnya diwajibkan mengambil dari laboratorium farmasi TNI), yang merupakan duplikasi dari usaha-usaha lokal yang sudah ada. Dengan suntikan dana yang besar, Kopdes MP dapat menggeser pelaku lokal yang tidak memiliki perlindungan dan akses modal yang setara. - Kopdes MP berpotensi memicu konflik dan melahirkan tengkulak baru
Besarnya aliran dana pada fase awal pendirian Kopdes MP akan menciptakan kondisi saling curiga antara masyarakat dengan aparatur desa yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Di samping itu, dengan skema pembentukan koperasi saat ini, ada kemungkinan Kopdes MP akan dikuasai oleh elite lokal yang memiliki kepentingan ekonomi politik tertentu sehingga berpotensi melahirkan “tengkulak baru” terutama dalam rantai pasok pertanian. - Kopdes MP jadi alat konsolidasi politik
Secara kelembagaan, Kopdes MP wajib memiliki lima pengurus dan tiga pengawas, dengan kepala desa sebagai ketua koperasi. Dengan 80.000 Kopdes MP yang akan dibentuk di seluruh Indonesia, setidaknya akan ada 160.000 orang pengawas dan 400.000 orang pengurus yang terlibat secara formal dalam struktur Kopdes MP. Para pengurus dan pengawas ini berpotensi untuk dimobilisasi dalam memenangkan calon tertentu dalam pemilu mendatang, dan bahkan juga bisa digerakkan untuk mengontrol pilihan masyarakat di desa.
Perlu Ditinjau Kembali
Dengan temuan-temuan tersebut, laporan CELIOS menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap pembentukan Kopdes MP, terutama dalam hal kesesuaian program dengan konteks lokal, mekanisme pembiayaan, partisipasi masyarakat, dan perlindungan terhadap kelembagaan lokal seperti BUMDes. Laporan tersebut memberikan beberapa rekomendasi berikut yang terutama ditujukan kepada pemerintah:
- Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar segera membuat stress test (uji ketahanan bank terhadap skenario risiko ekstrim) dan mitigasi risiko sistemik bank himbara akibat pembiayaan ke Kopdes MP.
- Menerapkan model pembiayaan yang inklusif, yakni menggabungkan antara sumber daya internal (kontribusi anggota) dengan pembiayaan eksternal.
- Menciptakan pasar yang adil untuk koperasi dengan langkah konkret seperti membuat regulasi yang melindungi pasar koperasi dari dominasi ritel besar, memberikan insentif fiskal bagi koperasi yang memasuki pasar modern, dan mengintervensi struktur harga agar koperasi bisa bersaing.
- Mendorong terciptanya koperasi yang mandiri dan inovatif yang jauh dari intervensi eksternal, termasuk pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah hanya perlu mendukung dengan regulasi yang adil dan perlindungan pasar.
- Meningkatkan program pelatihan dan pengembagan kapasitas sumber daya manusia pengelola koperasi.
- Membangun kerja sama antara koperasi dengan Balai Latihan Kerja (BLK) untuk berbagai jenis pelatihan dengan skema co-funding pelatihan, kurikulum bersama, magang, pelatihan berbasis masyarakat, pusat inkubasi, dan sertifikasi kompetensi.
Editor: Abul Muamar