Perubahan Iklim adalah Masalah Kesenjangan Sosial
Pernah mendengar slogan “Save Water, Save The Earth”? Masalahnya, menghemat air tidak akan pernah cukup untuk menghentikan perubahan iklim yang terjadi saat ini. Secara umum, hal itu memang akan membantu jika kita semua melakukannya secara kolektif. Tapi sayangnya, tindakan ini masih belum cukup. Mengapa?
Perubahan iklim sudah lama dilihat hanya sebagai isu lingkungan di lingkup ilmu pengetahuan alam. “Antroposen”, istilah yang umum digunakan untuk menekankan peran manusia dalam menciptakan perubahan iklim, terlalu menyederhanakan gagasan bahwa semua orang punya tanggung jawab yang sama atas perubahan iklim. Ini menciptakan kerangka tentang bagaimana masyarakat bersama-sama melihat masalah iklim dan bagaimana dapat menyelesaikannya bersama.
Sebenarnya, gagasan Antroposen kurang tepat karena menekankan tanggung jawab perubahan iklim yang sama pada semua orang. Ini justru mengabaikan shareholder capitalism sebagai sistem yang memainkan peran penting dalam hal ini dan menetralkan beban kerusakan lingkungan yang dirasakan oleh kelompok rentan. Secara historis, kita gagal melihat isu perubahan iklim dalam kompleksitasnya. Analisis interdisipliner yang melibatkan kelas, kekuasaan, dan politik seringkali hilang dari narasi-narasi yang seharusnya jadi hal yang sangat penting untuk dikaji.
Konsepsi sempit tentang kapitalisme telah menempatkan tenaga kerja sebagai komoditas, memperdalam jurang ketimpangan dan menciptakan kerusakan lingkungan. Dalam kasus perubahan iklim, sebagian besar emisi karbon jika ditelusuri secara teliti ternyata hanya untuk memaksimalkan keuntungan jangka pendek. Seperti produksi bahan bakar fosil yang menyebabkan kerusakan ekologis dan menghancurkan kehidupan banyak penduduk lokal.
Sejarah bahan bakar fosil sendiri tidak dapat dipisahkan dari kolonialisme Eropa di Afrika di akhir abad 19. Pengembangan sumber daya minyak di koloni Afrika dikejar untuk kepentingan ekonomi kekuatan kolonial dalam mendominasi produksi minyak. Para ahli menyebutnya kolonialisme iklim, yang didefinisikan sebagai perluasan dominasi asing untuk mengeksploitasi sumber daya negara-negara miskin dan mengancam kedaulatan mereka.
Bahkan, setelah dekolonisasi Afrika kini masih ada neo-kolonialisme. Kepopuleran sumber daya minyak di awal 2000-an, membuat perusahaan-perusahaan asing asal Amerika dan Tiongkok mencoba untuk mendapatkan dukungan pemerintah Afrika sebagai pihak pengambil kebijakan. Selain bahan bakar fosil, negara-negara berkembang juga telah lama mengekspor sumber daya alam mereka ke negara-negara maju seperti Jerman atau Amerika Serikat dengan biaya lebih rendah daripada produk jadi yang kemudian mereka impor untuk konsumsi mereka sendiri.
Hal ini membuat Global North diuntungkan sedangkan Global South terus berjuang dalam pembangunan ekonomi dan destabilisasi. Dari sini sudah bisa dilihat bahwa negara-negara maju telah mengeluarkan lebih banyak karbon daripada yang negara-negara lain. Wajar jika mereka harus memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk mengurangi emisi dalam upaya menghentikan perubahan iklim.
Namun, negara-negara maju bukan satu-satunya penyebab. Sebuah laporan yang ditulis pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa hanya ada 100 perusahaan yang bertanggung jawab atas lebih dari 70% emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sejak tahun 1988. Di antara perusahaan-perusahaan tersebut, penghasil emisi tertinggi adalah produsen bahan bakar fosil yang memegang kunci perubahan sistemik pada emisi karbon hingga saat ini.
Selain itu, terungkap juga sebuah fakta bahwa sepuluh persen orang terkaya di dunia bertanggung jawab atas 49% emisi karbon imbas dari gaya hidup mereka. Orang-orang terkaya juga memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menyelamatkan diri dari bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim. Mereka mampu membeli wilayah layak huni yang mahal dan meninggalkan daerah paling rentan yang berada di garis depan jika terjadi bencana iklim.
Singkatnya, perubahan iklim adalah masalah sistem kelas, kekuasaan dan kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin. Kesenjangan kelas dan perubahan iklim seharusnya tidak dipisahkan tapi justru dikaji secara menyeluruh. Untuk mencegah krisis iklim, kita harus bersama-sama menuntut keadilan iklim yang menangani masalah sosial, ekonomi, politik, kesehatan masyarakat, dan hak-hak penduduk kurang mampu. Ini juga merupakan sinyal bahwa redistribusi sumber daya diperlukan untuk mencapai keadilan iklim.
Sudah waktunya kita bangun, mengadvokasi sistem yang lebih baik dan membuat kehidupan lebih baik untuk banyak orang, tidak hanya untuk orang-orang kaya. Dampak perubahan iklim tidak ditanggung secara merata dan perjuangan kita menuju keadilan iklim berhadapan dengan kesenjangan tanggung jawab dalam sistem yang berlaku saat ini.
Perubahan iklim membutuhkan lebih dari sekadar tindakan individu. Mengganti bola lampu yang lebih hemat energi, membeli makanan organik, dan tidak membuang sampah mungkin merupakan beberapa cara untuk melawan perubahan iklim, tapi itu tidak akan pernah cukup. Kita membutuhkan perubahan mendasar melalui dekarbonisasi, energi terbarukan, pajak karbon, infrastruktur hijau, dan reformasi kebijakan global yang mengejar keadilan iklim dalam jangka panjang.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Ari Ganesa
Untuk membaca versi asli tulisan ini dalam bahasa Inggris, klik di sini.
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Adelia adalah penulis kontributor untuk Green Network Asia. Saat ini bekerja sebagai Reporter di SEA Today.