GNA Talks #3: Melibatkan Pemangku Kepentingan dalam Konservasi Mangrove

Foto: Tangkapan layar oleh Irhan Prabasukma.
Mangrove adalah ekosistem pesisir yang kaya manfaat, mendukung ketahanan lingkungan, ekonomi, dan kehidupan masyarakat. Namun, konversi lahan dan eksploitasi terus mengancam kelestarian ekosistem mangrove di banyak tempat. Isu ini menjadi fokus utama dalam GNA Talks #3 yang diselenggarakan pada 28 Februari 2025, menghadirkan Hasna Wihdatun Nikmah, Natural Resources Management Specialist dari World Bank, sebagai narasumber dengan tema “Melibatkan Pemangku Kepentingan dalam Konservasi Mangrove”. Sepanjang acara, Hasna membagikan wawasan berharga mengenai konservasi mangrove yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Kondisi Mangrove di Indonesia
Manfaat ekosistem mangrove sangat beragam. Dalam sektor bisnis, mangrove yang sehat dapat mendukung berbagai industri, mulai dari perikanan hingga kerajinan tangan. Selain itu, ekosistem ini dapat dikembangkan menjadi ekowisata, yang dapat menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat lokal.
Namun, ekosistem mangrove di berbagai tempat menghadapi ancaman serius. Alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak menyumbang sekitar 50% dari degradasi yang terjadi di Indonesia. Banyak komunitas melihat lahan mangrove sebagai lokasi strategis untuk budidaya udang, sehingga pemanfaatannya lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi jangka pendek.
Selain dialihfungsikan sebagai tambak, hutan mangrove juga sering dimanfaatkan kayunya sebagai bahan arang yang memiliki nilai jual tinggi. Beberapa perusahaan bahkan mengalihfungsikan hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa, di mana arangnya dijual secara global. Konversi lahan mangrove yang awalnya berskala kecil semakin berkembang secara masif, sehingga mempercepat degradasi ekosistem.
“Ancaman nyata akibat kerusakan mangrove adalah meningkatnya risiko tenggelamnya wilayah pesisir, yang diperkirakan akan semakin parah pada bulan November mendatang. Oleh karena itu, berbagai upaya diperlukan, termasuk rehabilitasi ekosistem mangrove untuk memulihkan serta melindungi masyarakat yang sudah terdampak abrasi secara signifikan. Pendekatan lanskap menjadi kunci dalam pengelolaan mangrove, yang harus melibatkan berbagai pihak, termasuk sektor swasta, pemerintah, masyarakat pesisir, petani, dan konservasionis keanekaragaman hayati,” tutur Hasna.
Strategi Lanskap dalam Konservasi dan Restorasi Mangrove
Salah satu prinsip dasar pendekatan lanskap terintegrasi dalam konservasi dan restorasi mangrove adalah partisipasi dan kepemilikan masyarakat. Dalam konteks restorasi ekosistem, keterlibatan pemangku kepentingan bukan hanya sekadar soal memperoleh persetujuan, tetapi juga mesti melibatkan konsultasi dan penyatuan pengetahuan lokal. Restorasi ekosistem tidak hanya perlu mengandalkan konsep dari tingkat nasional maupun internasional, tetapi harus mengintegrasikan pengalaman dan wawasan masyarakat setempat.
Menurut Hasna, sebelum memastikan keterlibatan pemangku kepentingan, langkah awal yang penting adalah menyusun pemetaan pemangku kepentingan (stakeholder mapping). Pemetaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan kekuasaan, kepentingan para pihak, serta bagaimana kepentingan tersebut saling terkait. Stakeholder dalam restorasi mangrove dapat dikategorikan berdasarkan sektor, antara lain:
- Pemerintah: Bertanggung jawab dalam pembuatan kebijakan dan pengawasan.
- Pemilik Modal dan Sektor Swasta: Berkontribusi dalam pendanaan dan investasi berkelanjutan, seperti pembangunan eco resort.
- Masyarakat Pesisir: – Pelaku utama dalam menjaga dan mengelola ekosistem mangrove.
Dengan pemetaan yang baik, implementasi restorasi dapat menjadi lebih jelas karena setiap aktor memahami perannya. Setelah stakeholder mapping tersusun, langkah selanjutnya adalah menyusun teori perubahan yang akan menjadi dasar bagi tata kelola kolaboratif. Tata Kelola kolaboratif baru dapat dijalankan setelah adanya pemetaan yang jelas mengenai kebutuhan dan tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai keberlanjutan pengelolaan mangrove.
“Lima tahun lalu, pada tahun 2020, pemerintah Indonesia menjadi satu-satunya negara yang memiliki ambisi besar untuk merestorasi ekosistem mangrove seluas 600.000 hektare dalam kurun waktu enam tahun. Hingga saat ini, komitmen tersebut tetap menjadi yang terbesar di dunia, dengan belum ada negara lain yang menargetkan restorasi ekosistem sebesar ini,” jelas Hasna.
“Dengan kombinasi keterlibatan masyarakat, sektor swasta, dan pemerintah, restorasi ekosistem mangrove dapat berjalan secara berkelanjutan dan memberikan manfaat jangka panjang bagi lingkungan serta kesejahteraan masyarakat pesisir.” tambah Hasna.
Menyongsong Restorasi Mangrove yang Lebih Baik
Mengingat perannya yang terkira bagi manusia, lingkungan, dan keanekaragaman hayati, Hasna memberikan pandangannya mengenai apa yang perlu dibenahi dan ditingkatkan dalam upaya restorasi mangrove di Indonesia, salah satunya dengan melibatkan komunitas lokal.
“Partisipasi masyarakat lokal telah terbukti meningkatkan keberhasilan restorasi secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat menjadi faktor kunci dalam upaya pemulihan ekosistem,” katanya.
Pada akhirnya, konservasi mangrove bukan hanya tentang menjaga ekosistem pesisir, tetapi juga membangun ketahanan lingkungan dan ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat. Upaya restorasi yang efektif harus memastikan bahwa setiap pemangku kepentingan memiliki peran aktif dalam menjaga kelestarian mangrove demi manfaat jangka panjang.
Rekaman video GNA Talks “Melibatkan Pemangku Kepentingan dalam Konservasi Mangrove” dapat disimak melalui kanal YouTube Green Network Asia.
Editor: Abul Muamar

Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.