MA-KLHK Kerja Sama untuk Perkuat Perlindungan Lingkungan dan Hutan

Ketua MA Muhammad Syarifuddin dan Menteri LHK Siti Nurbaya saat penandatanganan MoU kerja sama antara MA dan KLHK. | Foto: Dokumen KLHK.
Lingkungan dan hutan merupakan jantung kehidupan bagi seluruh makhluk hidup di Bumi. Kesehatan, ketahanan pangan, hingga perekonomian sangat bergantung pada kondisi lingkungan dan hutan. Karenanya, melindungi lingkungan dan hutan merupakan hal yang sangat fundamental bagi keberlangsungan hidup kita.
Terkait hal ini, Mahkamah Agung (MA) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjalin kerja sama untuk memperkuat perlindungan lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia. Sekretaris MA Hasbi Hasan dan Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono mewakili institusi masing-masing dalam penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) kerja sama ini di Gedung MA, Jakarta, pada 21 Maret 2023.
Deforestasi hingga Konflik Tenurial
Dunia saat ini sedang mengalami tiga krisis lingkungan: perubahan iklim, penurunan keanekaragaman hayati, dan pencemaran. Ketiga krisis ini saling berkelindan dan mengancam ketahanan hidup dan kesejahteraan jutaan manusia. Indonesia juga tidak terhindar dari tiga krisis tersebut. Degradasi lahan, pencemaran sungai dan laut, penurunan kualitas udara, hingga deforestasi merupakan beberapa masalah spesifik yang menonjol.
Tidak hanya itu, konflik tenurial juga merupakan masalah serius. Menurut data KLHK, ada 1.052 kasus konflik tenurial di rentang tahun 2015-2022 dan hanya sekitar 31 persen yang telah ditangani. Sementara dalam Catatan Akhir Tahun 2022 Konsorsium Pembaruan Agraria, setidaknya ada 212 letusan konflik sepanjang tahun 2022, di mana penyelesaiannya banyak mengalami stagnasi.
Kondisi di Pulau Jawa menjadi salah satu yang paling menjadi perhatian, dengan kondisi yang belum berubah setelah KLHK mengambil alih pengelolaannya dari Perum Perhutani dan menerapkan kebijakan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).
Saat ini, Indonesia memiliki UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, ada UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengintegrasikan izin lingkungan ke dalam perizinan berusaha, yang diklaim tetap memastikan perlindungan terhadap lingkungan dan masyarakat. Namun, dua UU tersebut masih belum mampu mencegah dan mengatasi masalah-masalah lingkungan yang ada.
Fokus Kerja Sama
Dalam MoU yang telah disepakati, MA dan KLHK akan mendalami berbagai aspek teknis dan aspek hukum lingkungan terkait perubahan iklim, termasuk Nationally Determined Contribution (NDC) yang telah diperbaharui, FoLU Net Sink 2030, blue carbon dan climate justice, penurunan keanekaragaman hayati, pencemaran lingkungan, pengukuhan dan tata batas kawasan hutan, perhutanan sosial, pengelolaan limbah B3, serta pengelolaan sampah dan ekonomi sirkular.
Kerja sama MA dan KLHK ini juga bertujuan untuk menyelesaikan Peraturan MA mengenai Hukum Acara Lingkungan Hidup. Setelah peraturan ini selesai, MA akan melakukan sosialisasi kepada para hakim yang saat ini berjumlah sekitar 1.400 dan pencari keadilan. Untuk itu, kerjasama ini juga berfokus pada peningkatan kapasitas dan jumlah hakim lingkungan, serta peningkatan wawasan bagi aparatur KLHK.
“Dengan mempertimbangkan berbagai aspek lingkungan hidup yang terjadi di dalam negeri maupun perkembangan yang begitu cepat di luar negeri, maka sangat tepat dilakukan kerja sama ini dalam upaya peningkatan kapasitas. Para hakim dapat memperoleh pemahaman dan updating terkait teknis lingkungan hidup dan kehutanan, dan aparat KLHK juga dapat memperoleh berbagai aspek yudisial yang diperlukan,” ujar Menteri LHK Siti Nurbaya.
Butuh Aksi Konkret
Sebelum dengan MA, KLHK telah menjalin kerja sama dengan Polri untuk memperkuat aspek hukum dalam perlindungan lingkungan dan hutan. Dengan niat sungguh-sungguh untuk memperbaiki keadaan dan tindakan nyata yang komprehensif dan efektif, kerja sama seperti ini dapat membantu mengatasi berbagai krisis lingkungan yang berlangsung saat ini. Pelibatan berbagai pihak, terutama masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dan masyarakat adat, juga merupakan faktor pendukung yang krusial.
“Mengatasi krisis yang dimaksud membutuhkan aksi kolaboratif konkret dari seluruh pemangku kepentingan di tingkat global, regional, dan nasional, untuk membangun keharmonisan antar manusia dengan alam, serta mempercepat transisi menuju sistem sosial-ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan,” tambah Siti.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan kami untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network. Ia bertanggung jawab sebagai Editor untuk Green Network ID.