Mengantisipasi Kemunduran Transisi Energi dari RUU EBET

Foto oleh Dominik Vanyi di Unsplash.
Energi baru dan energi terbarukan (EBET) disebut-sebut sebagai solusi untuk mengurangi emisi karbon penyebab pemanasan global dari penggunaan energi berbahan bakar fosil. Selain rendah emisi, sumber EBET juga lebih melimpah dan mudah ditemukan. Karena itu, negara-negara di dunia mulai memberlakukan transisi energi menuju penggunaan EBET.
Di Indonesia, pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025. Indonesia berjanji untuk mengurangi emisi karbon hingga 31.9% dengan kemampuan sendiri hingga 2030, sebagaimana tertuang dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC).
Namun, transisi menuju EBET dapat menyisakan masalah baru jika tidak dipersiapkan dengan matang. Sejauh ini, beberapa produksi EBET masih bergantung pada bahan bakar fosil. Hidrogen, misalnya, yang sebagian besar produksinya ditenagai dengan batu bara.
Hal ini pula yang diwanti-wanti dari Rancangan Undang-Undang (RUU) EBET. Beberapa organisasi lingkungan dan lembaga penelitian melayangkan kritik terhadap substansi RUU EBET yang dinilai belum cukup menunjukkan upaya dalam mendorong transisi energi yang berkeadilan. Mereka adalah Greenpeace Indonesia, Institute for Essential Services Reform (IESR), Trend Asia, dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
“Solusi Palsu” Transisi Energi RUU EBET
Naskah RUU EBET memasukkan produk-produk turunan batu bara seperti gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal) sebagai sumber energi baru. Hal ini dinilai menghambat upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dan merupakan bentuk kemunduran dalam proses transisi energi.
Pengembangan pembangkit listrik dari gasifikasi batu bara, misalnya, akan menghasilkan emisi karbon dioksida dua kali lipat dibanding pembangkit listrik dari gas alam. Selain pencemaran udara, pengembangan energi baru ini juga berdampak kepada kualitas air.
“Transisi energi yang berkeadilan akan memperkuat ketahanan energi dan menciptakan akses energi yang inklusif. Sayangnya, pemerintah dan DPR malah memberikan solusi palsu lewat RUU EBET,” kata Hadi Priyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo mengatakan bahwa beberapa teknologi yang disebut “baru” dalam RUU EBET bukanlah barang baru karena sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu. Misalnya, teknologi gasifikasi dan likuifaksi batu bara, telah dipakai oleh Jerman sejak Perang Dunia II, dan carbon capture and storage telah diuji coba di PLTU di Kanada dan AS tetapi gagal.
“Dukungan terhadap ‘energi baru’ ini memberikan sinyal untuk mempertahankan energi fosil seperti batu bara lebih lama di sistem energi dan menggantungkan dekarbonisasi pada opsi yang belum proven, padahal ada sumber energi terbarukan yang sudah siap dan lebih murah untuk dimanfaatkan,” ujar Deon.
Selain batu bara, RUU EBET juga memasukkan nuklir dan hidrogen sebagai energi baru yang akan dikembangkan. Menurut World Nuclear Industry Status Report (WNISR), jika dibandingkan dengan sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari, pembangunan dan penggunaan nuklir memerlukan biaya 3-5 kali lebih besar.
RUU EBET Perlu Fokus pada Substansi Energi Terbarukan
Sumber energi baru dari batu bara bukan hanya berisiko tinggi terhadap lingkungan, tetapi juga membebani keuangan negara. Gasifikasi batu bara, misalnya, diperkirakan akan merugikan negara sebesar US$ 377 juta per tahun. Pilihan energi terbarukan semestinya mendorong transisi energi berkeadilan dan tidak memicu pemanfaatan sumber daya alam yang berpotensi merusak lingkungan.
Pemerintah dan DPR perlu menunda pengesahan RUU EBET dan mengembalikan substansi RUU tersebut pada tujuan transisi energi yang serius. Pemerintah dan DPR juga perlu memberikan ruang partisipasi yang bermakna bagi publik agar proses transisi energi yang berkeadilan dapat terwujud.
“Pemerintah dan DPR seharusnya fokus pada substansi energi terbarukan yang mendukung penurunan emisi karbon,” kata Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan Green Network Asia untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia.