Minimnya Kemajuan dalam Kebebasan Berinternet di Indonesia
Seiring berkembangnya teknologi, semakin banyak orang yang dapat mengakses internet dengan mudah, termasuk untuk menuangkan berbagai pikiran dan pendapat di ruang-ruang digital. Sayangnya, masih banyak orang yang mendapat ancaman hingga intimidasi atas konten yang mereka unggah, di samping masih maraknya pemblokiran terhadap akses internet. Laporan Kebebasan Berinternet atau Freedom on the Net tahun 2024 yang dirilis oleh Freedom House menunjukkan bahwa masih banyak ancaman yang dihadapi oleh kritikus, jurnalis, hingga pengguna secara umum di tengah meningkatnya akses terhadap internet di Indonesia.
Menurunnya Kebebasan Internet Global
Menurut laporan tahunan dari Freedom House, lebih dari 5 miliar orang sudah terhubung dengan akses internet; namun pada saat yang sama, kebebasan internet secara global terus mengalami penurunan selama 14 tahun berturut-turut. Sekitar 79% dari jumlah tersebut tinggal di negara-negara yang masih menangkap atau memenjarakan individu karena mengunggah konten berisi isu politik, sosial, atau agama. Kemudian, 67% tinggal di negara dimana individu dapat diserang akibat aktivitas daringnya.
Laporan tahun 2024 juga mengungkap bahwa perlindungan terhadap hak asasi manusia di ruang digital menurun di 27 negara (dari 72 negara yang dianalisis), dengan China dan Myanmar menempati peringkat terburuk. Selain ancaman penangkapan dan kekerasan terhadap aktivitas daring, tren penurunan ini juga disebabkan oleh adanya sensor dan manipulasi informasi, terutama di negara-negara yang melangsungkan pemilihan umum.
Kebebasan Berinternet di Indonesia
Kebebasan berinternet di Indonesia juga tidak jauh berbeda dengan kondisi global. Freedom House memberikan skor 49 dari 100 untuk Indonesia pada tahun 2024. Skor ini menunjukkan status kebebasan berinternet Indonesia yang masih parsial (partly free), yang berarti bahwa masih banyak ancaman yang didapat oleh pengguna internet meski terdapat peningkatan akses.
Penilaian tersebut didasarkan pada tiga indikator utama yang diturunkan menjadi 100 sub-pertanyaan. Indikator pertama adalah hambatan untuk mengakses internet, seperti infrastruktur, ekonomi, dan politik. Penetrasi internet yang lebih luas serta kecepatan internet yang lebih cepat dan stabil berkontribusi meningkatkan skor Indonesia untuk indikator ini. Sayangnya, masih terdapat kesenjangan akses internet di pedesaan atau di daerah luar Pulau Jawa. Belum lagi biaya berlangganan internet yang mahal, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur, juga semakin memperlebar jurang kesenjangan tersebut. Selain itu, pemerintah Indonesia juga memiliki kontrol yang cukup ketat dalam membatasi konektivitas internet, seperti yang terjadi di Papua ataupun terhadap aksi protes dan acara politik.
Indikator kedua berbicara tentang pembatasan konten, di mana masih banyak laman web yang diblokir oleh pemerintah karena dianggap sebagai “konten “negatif”. Konotasi negatif ini memiliki definisi yang luas untuk menggambarkan materi yang dianggap mencemari nama atau melanggar norma sosial dan moral, sehingga berpotensi ditafsirkan sewenang-wenang. Selain itu, Indonesia juga masih memiliki peraturan yang memberikan kewenangan pada pemerintah untuk membatasi konten daring yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Misalnya, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang membatasi kebebasan berekspresi di ruang digital hingga pembatasan berbagai jenis konten dalam rancangan revisi UU Penyiaran.
Indikator terakhir adalah soal pelanggaran terhadap hak pengguna. Laporan Freedom House menyebutkan bahwa pengawasan dari pemerintah terhadap aktivitas daring merupakan pelanggaran hak atas privasi, seperti yang dilakukan lewat UU ITE. Peraturan ini sering menjadi “alat” untuk membungkam tindakan-tindakan yang sejatinya merupakan bentuk ekspresi pendapat. Misalnya, penangkapan hingga pemidanaan yang sempat dilakukan terhadap aktivis lingkungan Daniel Frits atas unggahannya di Facebook tentang polusi di Karimunjawa. Belum lagi ancaman dan intimidasi terhadap jurnalis juga masih menjadi momok permasalahan di Indonesia.
Di sisi lain, masyarakat Indonesia masih terancam oleh serangan siber dan peretasan data tanpa adanya perlindungan yang jelas. Pada tahun 2023 misalnya, terdapat setidaknya 323 serangan digital yang banyak menargetkan lembaga publik, akademisi, dan jurnalis. Sementara pada November 2023, terdapat peretas anonim yang mengklaim akan menjual data sekitar 200 juta penduduk Indonesia yang diperolehnya dari situs Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Melindungi Hak di Ruang Digital
Akses terhadap internet dan platform digital adalah hal yang harus dijamin karena merupakan bentuk kebebasan berbicara dan berekspresi. Tiap-tiap individu berhak untuk menyampaikan pendapatnya di ruang digital secara aman dan bebas dari persekusi. Pemerintah mesti mengkaji ulang peraturan-peraturan multitafsir yang kerap dijadikan sebagai justifikasi untuk melakukan pemblokiran, pelarangan, bahkan hingga pemenjaraan seseorang karena unggahan atau aktivitas daring. Dalam hal ini, pemerintah dapat bekerja sama dengan kelompok masyarakat sipil untuk mewujudkan regulasi yang menjamin hak-hak digital dan kebebasan berinternet yang sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Nisa adalah Reporter di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.