Merenungi Suramnya Dunia Pendidikan lewat Teater “Robohnya Sekolah Rakyat Kami”

Pertunjukan teater “Robohnya Sekolah Rakyat Kami” di lapangan Sanggar Anak Alam (SALAM) di Kampung Nitiprayan, Kelurahan Ngestiharjo, Bantul, Yogyakarta. | Foto: Nareswari Reswara Widya.
Malam 13 Juni 2025, teater mungil didirikan di lapangan Sanggar Anak Alam (SALAM). Tidak terlalu luas, tapi cukup untuk kami semua dapat duduk dan menyimak dengan seksama panggung sandiwara yang menyinggung soal potret suram dunia pendidikan di Indonesia hari ini, dalam rangka merayakan 25 tahun berdirinya SALAM.
Kisahnya diawali dengan fragmen sekelompok anak yang berpetualang, menjelajah, dan belajar tentang apa yang alam sediakan bagi mereka. Mereka memanfaatkan sampah-sampah sebagai instrumen pengiring nyanyian dengan riang gembira. Sekelompok anak yang lebih kecil turut ambil bagian; mereka memakai kostum sayur mayur dan lauk pauk, sebagai tanda syukur atas berkat dari alam yang mengisi perut kecil mereka agar dapat menjalani kehidupan dengan sehat.
Akan tetapi, suasana tiba-tiba berubah menjadi tegang. Anak-anak yang lebih besar, lewat monolog, menyampaikan tentang keresahan mereka atas ruang belajar yang kini tak lagi bebas dan menyenangkan. Harapan pun satu persatu diutarakan di tengah redupnya ruh pendidikan yang perlahan merenggut kegembiraan dan kebebasan mereka dalam belajar.
Itulah yang saya tangkap dari teater bertajuk “Robohnya Sekolah Rakyat Kami”. Teater ini hendak mengisahkan tentang kondisi suram dunia pendidikan hari ini dari kacamata anak-anak. Dari kisah yang nampak sederhana, terdapat kritik bahwa belajar tidak harus melulu dari buku dan digelar di ruang kelas, tetapi juga dapat dilakukan dengan melihat, mengalami, dan mempelajari lingkungan alam, sambil tertawa, bertani, menari, berpuisi, bahkan menyapu daun-daun. Itu pula yang diupayakan oleh SALAM sejak pertama kali berdiri.
Pentas Teater Hasil Kolaborasi
SALAM merupakan sebuah sekolah alternatif yang terletak di Kampung Nitiprayan, Kelurahan Ngestiharjo, Bantul, Yogyakarta. Sekolah ini tidak menyediakan bangunan yang gagah perkasa berdiri di tengah-tengah padatnya perkotaan Yogyakarta, tidak pula menawarkan kemewahan dan eksklusifitas, melainkan kesederhanaan dengan bangunan kecil yang berdiri di tengah pematang sawah, dengan bahan-bahan belajar yang berasal dari alam sebagai bagian dari proses anak-anak menemukan nilai-nilai serta pemahaman tentang hidup.
SALAM berupaya menghadirkan pendidikan yang membumi melalui kolaborasi sebagai teladan. Teater “Robohnya Sekolah Rakyat Kami” merupakan hasil kolaborasi antara anggota Kelas Minat Teater, Tari, dan Gitar. Teater ini menggambarkan salah satu upaya SALAM dalam menciptakan ruang bagi anak-anak serta komunitas untuk dengan leluasa melakukan eksperimen, bereksplorasi, dan mengekspresikan berbagai temuan pengetahuan dengan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai media belajar.
Dunia Pendidikan yang Mengekang hingga Kapitalisasi yang Merajalela
Teater yang disuguhkan oleh anak-anak SALAM mengajak kita untuk merenung tentang bagaimana dunia pendidikan hari ini berjalan. Banyak pihak yang lupa bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya berasal dari alam; sementara kearifan lokal seringkali disepelekan. Akibatnya, dunia pendidikan hari ini lebih banyak menyuguhkan pengetahuan-pengetahuan yang “terbatas”, yang “terformula” dan tersederhanakan dalam buku-buku.
Yang lebih mengkhawatir adalah bagaimana sistem pendidikan “memaksa” setiap anak untuk menjadi “seragam”–lewat kurikulum, lewat mata pelajaran yang dibakukan, lewat sistem penilaian yang kaku–yang cenderung mengarahkan mereka untuk menjadi “robot-robot pekerja” di masa depan. Akibatnya, banyak anak-anak yang terkubur potensi alamiahnya karena harus mengikuti sistem yang ada. Dan pada saat yang sama, kapitalisasi dalam dunia pendidikan pun semakin hari semakin merajalela. Hari ini, semakin mudah menemukan sekolah-sekolah formal berbiaya tinggi–kondisi yang memperparah jurang ketimpangan dalam akses pendidikan berkualitas.
Pendidikan yang Memerdekakan
Teater ini menjadi pengingat bahwa anak-anak sesungguhnya terlahir dengan potensi dan keunikan masing-masing, yang dapat digali dengan model pendidikan yang tidak mengekang mereka, yang tidak memaksa mereka untuk menjadi seragam–lewat pendidikan yang memerdekakan. Harapannya, seluruh pemangku kepentingan dapat menyadari hal ini dan memperbaiki sistem pendidikan yang ada. Sekaligus, pada saat yang sama, memperluas akses ke pendidikan berkualitas untuk semua anak-anak tanpa terkecuali.
Gemuruh tepuk tangan penonton, mulai dari orang tua hingga para pedagang dari Pasar Pangan Sehat, menutup kemeriahan teater malam itu.
Editor: Abul Muamar

Berlangganan GNA Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Nareswari adalah mahasiswa program studi Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Pembangunan Nasional 'Veteran' Yogyakarta. Ia aktif mengikuti forum yang diselenggarakan Sekolah Koperasi WIKIKOPI oleh Koperasi Kepakaran KEN8 yang membahas seputar pendidikan, ekologi, ekonomi, dan relasi sosial.