Butet Manurung, Memberikan Pendidikan yang Memerdekakan untuk Masyarakat Adat Orang Rimba
Pada awal masa desentralisasi, pembalakan hutan marak terjadi di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), termasuk di wilayah Makekal, rumah bagi masyarakat adat Orang Rimba. Aktivitas penebangan liar terjadi saban hari, membuat Orang Rimba terpaksa lari ke tengah hutan, mencari tempat tinggal yang lebih aman.
Permasalahan itu membuat Saur Marlina Manurung gusar. Ia, yang kala itu masih bekerja di sebuah LSM yang berfokus pada pendampingan masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan di Jambi, memandang bahwa persoalan tersebut perlu ditangani dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan mengakar, yang tidak sebatas pada pencegahan dan penghentian pembalakan maupun dengan bantuan bagi Orang Rimba yang terdampak. Perempuan yang akrab disapa Butet Manurung ini melihat bahwa di balik deforestasi yang terjadi, ada persoalan pelik yang membuat Orang Rimba kerap menjadi korban ketidakadilan, penipuan, perampasan hak, hingga penghilangan budaya.
“Di tahun awal 2000-an itu aku melihat, misalnya, banyak program dan bantuan dari pemerintah yang tidak berperspektif budaya, ada ‘paket kesejahteraan’ yang pada intinya mengajak Orang Rimba untuk keluar dari hutan, hidup modern layaknya manusia luar hutan, dibangunkan rumah di atas tanah, memeluk agama, pakai baju, bertani dan hidup menetap. Bagi sebagian orang mungkin itu bukan masalah, tapi bagiku itu masalah besar. Karena bukan itu yang Orang Rimba inginkan. Herannya model seperti ini kadang masih saja diterapkan di masa sekarang,” kata Butet.
Masalah mendesak lainnya yang ditangkap Butet adalah soal pendidikan bagi masyarakat adat. Ia melihat, sekolah yang disediakan pemerintah untuk masyarakat adat seringkali tidak mengakomodir dan menghargai Kebudayaan mereka. “Sekolah yang disediakan untuk mereka standarnya dibikin persis seperti sekolah umum yang kita tahu. Budaya mereka diabaikan, cara hidup mereka diabaikan. Orang Rimba misalnya, mereka biasa berada di rumah panggung, tapi disuruh sekolah di gedung beton yang dibangun di atas tanah. Disuruh pakai seragam, sekolah dari pagi sampai sore. Disuruh mempelajari hal-hal yang tidak berkaitan dengan kehidupan mereka, sementara keterampilan tentang bagaimana bertahan hidup di hutan tidak pernah diajarkan,” katanya.
Ketidaksesuaian konsep dan metode pendidikan untuk masyarakat adat itu, menurut Butet, bukanlah hal yang sepele. Jika terus dibiarkan, kehidupan masyarakat adat beserta seluruh kearifan dan pengetahuan mereka akan semakin terdesak ke ambang kepunahan. Padahal, keberadaan mereka sangat berarti bagi keberlangsungan ekosistem dan keanekaragaman hayati.
“Kan sering disebutkan bahwa sekolah adalah untuk menggapai cita-cita. Cita-cita mereka justru ingin tetap hidup di hutan dan menjaga hutan. Hal-hal seperti itu yang tidak dipahami oleh ‘orang luar’ ketika memperlakukan Orang Rimba. Makna ‘berhasil’, ‘bahagia’, ‘pintar’ yang dibawa oleh ‘orang luar’ itu berbeda dengan yang dimiliki Orang Rimba, tapi malah dipaksakan. Dari situ saja sudah masalah,” ujar Butet.
Sejak saat itu, Butet bersiteguh bahwa untuk menyelamatkan hutan, masyarakat adat yang tinggal di dalamnya perlu dibuat menjadi berdaya. “Gak mungkin kita bisa menyelamatkan hutan kalau penghuninya gak melakukannya sendiri. Mereka harus lebih kuat. Jadi akhirnya fokusku bukan ke hutannya, tetapi ke manusianya, agar pelestarian hutan lebih sustainable,” kata perempuan kelahiran 21 Februari 1972 ini.
Mendirikan Sokola Rimba
Berbulan-bulan mempelajari kehidupan suku Orang Rimba, menyusuri hutan yang luasnya puluhan ribu hektare, Butet menjadi semakin memahami masalah yang mereka hadapi. Dari situ, ia yakin bahwa jalan yang dibutuhkan untuk mengatasinya adalah pendidikan yang memerdekakan. “Dari mereka aku belajar bahwa permasalahan mereka itu pelik. Orang Rimba harus mampu membantu dirinya sendiri, jadi bukan kita yang membantu mereka,” kata Butet.
Lantas, pada tahun 2003, Butet mendirikan Sokola Rimba bersama beberapa temannya. Kata ‘Sokola’ berasal dari bahasa Rimba yang berarti ‘tempat belajar’, dan Sokola Rimba berarti ‘Tempat Belajar Orang Rimba’. Tidak ada kurikulum baku yang ia ciptakan. Kecuali membaca-menulis-berhitung yang menjadi materi dasar, semua pelajaran yang diajarkan menyesuaikan dengan kondisi dan permasalahan hidup yang Orang Rimba hadapi.
“Sistem persekolahan kami dibentuk oleh mereka. Aku dan teman-teman sadar bahwa pendidikan harus membebaskan. Harus selaras dengan adat dan budaya, harus partisipatif, harus banyak dialog, dan harus bermanfaat buat kehidupan keseharian,” katanya.
Butet memberikan contoh. Agar dapat melindungi hutan mereka, Orang Rimba perlu mempelajari keterampilan-keterampilan yang dapat mendukung upaya advokasi mereka, seperti membuat pemetaan, memahami undang-undang dan hak-hak sebagai masyarakat adat, hingga menulis skenario dan membuat film dokumenter.
“Mereka itu kritis, selalu menanyakan manfaat dari setiap pelajaran yang aku sampaikan. Jadi kalau aku gak bisa menjawabnya, mereka gak akan mau menerima pelajaran. Intinya, pelajaran yang kami berikan hanya untuk mengisi kekosongan yang mereka tidak punya, yaitu untuk membantu mereka mengatasi persoalan hidup, memahami perkembangan yang terjadi di luar. Jadi, Sokola hadir di tengah mereka bukan untuk memodernkan mereka, bukan untuk mencerdaskan mereka seolah-olah mereka bodoh. Bukan. Yang kami berikan adalah ilmu yang dapat membantu mereka mempertahankan hak mereka,” ujar Butet.
Langkah Butet dalam memberikan pendidikan untuk Orang Rimba tidaklah mulus. Pada awalnya, beberapa kali ia mengalami penolakan bahkan pengusiran. Namun, ia terus berupaya untuk mendekati mereka, hidup berbaur dengan mereka, termasuk belajar bahasa Rimba (bahasa suku Orang Rimba), belajar berburu, ikut makan makanan yang mereka makan, dan berpakaian layaknya mereka berpakaian. Pendeknya, ia menerapkan pendekatan Antropologi dalam meyakinkan mereka. Kelak, ketika Sokola Rimba berkembang, pendekatan ini pula yang ditularkan kepada para relawan pengajar di semua komunitas adat tempat mereka mengajar.
Syahdan, butuh waktu tujuh bulan sampai akhirnya Orang Rimba mau menerima kehadiran Butet, dan itu pun setelah ia bersumpah untuk tidak berbuat kebatilan di dalam hutan mereka.
Butet bercerita, “Waktu itu aku dimintai sumpah: tidak akan menjual anak-anak mereka, tidak akan menumbalkan mereka, tidak akan mengislamkan atau mengkristenkan mereka, tidak akan menjual hutan mereka, tidak akan mengubah mereka menjadi kayak orang kota. Sumpah itu disertai ancaman hukuman kalau aku melanggar. Kalau ke darat aku akan dimakan harimau, kalau ke hutan aku akan tertimpa pohon, dan kalau ke sungai aku akan dimakan buaya,” katanya, tertawa mengenang momen itu.
“Ketika aku diterima dengan bersyarat pun, tiba-tiba kepala suku di hutan yang aku tempati meninggal dunia. Pensil yang aku bawa dianggap membawa kematian. Akhirnya aku mikir, kalau pensil gak boleh, berarti aku pakai ranting dan pakai arang buat nulis.”
Literasi Hukum, Pengakuan terhadap Orang Rimba, dan Terbentuknya Sokola Institute
Perjuangan Butet tak sia-sia. Setelah bertahun-tahun aktivitas Sokola Rimba berjalan, perlahan-lahan Orang Rimba mampu melindungi dan mempertahankan hak-hak mereka, termasuk mendorong pemerintah untuk mengadopsi aturan adat mereka ke dalam aturan Zonasi TNBD.
“Murid-murid Sokola membentuk organisasi bernama KMB–Kelompok Makekal Bersatu. Mereka ini yang melakukan advokasi terkait zonasi Taman Nasional itu. Mereka meminta agar kebiasaan hidup dan adat mereka diadopsi ke dalam kebijakan Taman Nasional,” tutur Butet. “Untuk bisa diadopsi, perjuangan mereka panjang, ada sekitar 12 tahun. Mereka belajar pemetaan, membuat film yang mendokumentasikan budaya mereka. Mereka harus belajar GPS untuk memahami titik di hutan. Bolak-balik membuat peta di kertas dan memasukkan ke komputer. Sebelum jauh ke situ, mereka harus belajar menulis surat untuk menyampaikan kritik, bikin skenario film, hingga akhirnya mereka diakui dan adat mereka diadopsi dalam aturan zonasi Taman Nasional. Boleh dibilang, tanpa Sokola, gak mungkin mereka ada di titik itu.”
Belasan tahun berjalan di hutan Jambi, Sokola Rimba–yang sejak 2016 berubah nama menjadi Sokola Institute dan berkembang menjadi pusat riset masyarakat adat–juga hadir di komunitas-komunitas adat lain di Indonesia yang juga dirugikan akibat buta huruf. Hingga kini, Sokola Institute sudah membuat program pendidikan di 17 komunitas adat di berbagai daerah dengan karakteristik geografi dan budaya yang berbeda, di antaranya di komunitas Sikka di Flores, Sodan di Sumba, Asmat di Papua, Kajang di Bulukumba, Masyarakat Pesisir di Makassar, dan Togutil di Halmahera.
Hingga kini, Sokola Institute yang digagas Butet telah memberikan pendidikan alternatif bagi lebih dari 15.000 masyarakat adat di Indonesia. Mereka yang tadinya buta huruf dan kerap dirugikan karenanya, menjadi lebih berdaya dan mampu melindungi hak-hak mereka.
“Kalau ditanya apa yang membuatku bertahan sampai sekarang, mungkin inilah yang disebut passion itu, kebersediaan menderita demi apa yang dipercaya. Tapi ini bukan soal berkorban. Aku gak pernah merasa berkorban di sini. Mengabdi juga enggak, karena aku mengabdi pada cita-citaku sendiri. Aku justru berterima kasih pada Orang Rimba yang sudah membantuku mewujudkan cita-citaku,” katanya.
Butet berharap adanya perlindungan hukum yang lebih kuat bagi masyarakat adat di Indonesia. RUU Masyarakat Adat, yang telah dibahas sejak tahun 2010, diyakininya dapat membantu mewujudkan harapan itu. Selain itu, ia juga berharap agar setiap kebijakan terkait masyarakat adat dibuat berdasarkan riset lapangan yang kuat dengan pendekatan ilmu budaya.
Pendidikan yang Memerdekakan
Di mata Butet, yang telah meneliti dan mempelajari kehidupan masyarakat adat selama lebih dari dua dekade, perlu ada perbaikan dalam sistem pendidikan yang diberikan untuk masyarakat adat di Indonesia. Ia berharap, semua komunitas adat di Indonesia dapat mengorganisasi sistem pendidikannya sendiri.
“Banyak sekolah masyarakat adat di Indonesia ini yang tidak membolehkan muridnya pakai bahasa daerah. Mereka diharuskan pakai bahasa Indonesia. Kalau ketahuan pakai bahasa daerah, mereka disetrap. Tanpa disadari, ini merusak, melukai si anak. Ketika dia balik ke komunitasnya, dia akan menganggap bahasa daerahnya sebagai sesuatu yang memalukan dan rendah. Akhirnya, semua ilmu yang terkandung dalam adatnya lama-lama akan hilang karena tidak terpakai,” kata lulusan Antropologi dan Sastra Indonesia dari Universitas Padjadjaran ini.
Untuk menggambarkan kerisauannya atas keadaan itu, Butet menukil sajak Seonggok Jagung karya WS Rendra.
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan
“Aku sedih kalau membaca puisi Rendra itu. Kalau model sekolah formal diterapkan untuk masyarakat adat, Indonesia akan sangat rugi: pengetahuan masyarakat adat akan hilang, hutan-hutan kita akan hilang. Akan muncul ekosida dan linguasida. Pemusnahan bahasa itu berkaitan dengan pemusnahan sumber daya alam. Ketika terjadi ekosida, kita semua akan rugi,” ia memungkasi.
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.