Mendorong Perlindungan dan Pemberdayaan Gelandangan dan Pengemis
Saat berkendara di jalanan, Anda mungkin sering menyaksikan keberadaan gelandangan dan pengemis. Kadang mereka duduk lesu di pinggir jalan dengan penampilan kumal dan compang-camping; lain waktu mereka mengetuk kaca mobil Anda atau menghampiri sepeda motor Anda dan menyodorkan tangan, sekadar meminta uang recehan atau makanan. Malam hari, jika Anda menaruh perhatian lebih, Anda juga akan menyaksikan mereka tidur di emperan toko yang telah tutup atau di trotoar jalan.
Pertanyaannya: dimana posisi gelandangan dan pengemis dalam pembangunan berkelanjutan? Apa yang mesti dilakukan oleh semua pihak, terutama pemerintah, untuk mengatasi masalah kesejahteraan sosial ini?
Gelandangan dan Pengemis di Indonesia
Kementerian Sosial mendefinisikan gelandangan sebagai orang-orang yang hidup dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat, serta tidak memiliki penghidupan dan tempat tinggal yang tetap. Gelandangan umumnya tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan sering hidup mengembara di tempat umum. Sementara itu, pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum. Meski sering dibedakan, gelandangan dan pengemis pada dasarnya sama-sama tidak memiliki pekerjaan, dan banyak gelandangan yang juga menjadi pengemis untuk menyambung hidup.
Gelandangan dan pengemis dapat dijumpai di hampir setiap daerah di Indonesia, terutama di wilayah perkotaan. Mereka biasanya ada di persimpangan jalan, sebagian mengamen, dan akan menghampiri para pengendara ketika lampu lalu lintas sedang merah. Cara mereka mengemis atau mengamen bermacam-macam, namun belakangan, menjadi “manusia silver” atau memakai kostum badut dan boneka banyak menjadi pilihan. Tidak jarang, sebagian dari mereka merupakan anak-anak, bahkan pernah ada kasus dimana bayi dijadikan manusia silver untuk mengemis.
Menurut Kementerian Sosial, gelandangan dan pengemis termasuk kelompok Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), bersama dengan pemulung, manusia lanjut usia terlantar, fakir miskin, komunitas adat terpencil, anak-anak terlantar, dan 20 kelompok lainnya. Pada tahun 2019, jumlah gelandangan dan pengemis di Indonesia diperkirakan mencapai 5,84 juta jiwa. Sementara belum ada data yang lebih baru, angka tersebut kemungkinan lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya.
Menegaskan Ketimpangan
Masih banyaknya penduduk yang menjadi gelandangan, pengemis, dan kelompok PPKS lainnya merupakan persoalan serius dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan konstitusi. Keberadaan mereka mempertegas kemiskinan dan ketimpangan sosial yang terus berlanjut. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan, namun kenyataannya, gelandangan dan pengemis masih tetap ada, menunjukkan bahwa tantangan ini belum berhasil diatasi secara menyeluruh. Jangan lupakan pula kenyataan bahwa gelandangan dan pengemis sering harus menahan lapar dan memakan makanan yang tidak layak.
Permasalahan ini sekaligus memperlihatkan bahwa akses terhadap kesempatan dan sumber daya masih belum merata di Indonesia. Gelandangan dan pengemis seringkali berasal dari lapisan masyarakat yang kurang mampu, yang memiliki keterbatasan dalam mengakses kebutuhan dasar seperti pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan. Keberadaan mereka mencerminkan ketidakmerataan distribusi sumber daya dan kesempatan yang ada di masyarakat.
Keberadaan gelandangan dan pengemis juga memperlihatkan kelemahan dalam kebijakan pembangunan sosial di Indonesia. Meskipun telah ada upaya-upaya untuk mengatasi masalah ini, penanganannya seringkali tidak menyentuh akar permasalahan. Di banyak kota, gelandangan dan pengemis biasanya hanya sebatas ditertibkan dan “dibina” agar mereka tidak terlihat di tempat-tempat umum karena dianggap mengganggu kenyamanan masyarakat.
Perlindungan dan Pemberdayaan
Menghapus kemiskinan, mengakhiri kelaparan, dan mengurangi ketimpangan dalam berbagai hal, merupakan beberapa target utama dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Oleh karena itu, mengatasi persoalan gelandangan dan pengemis merupakan salah satu aspek penting yang harus dilakukan untuk mencapai target-target tersebut.
Sayangnya, jalan untuk mencapai tujuan tersebut masih panjang dan terjal. Misalnya, target penurunan kemiskinan ekstrem 0 persen pada 2024 oleh pemerintah diperkirakan tidak akan tercapai. Begitu juga dengan target penurunan kemiskinan nasional menjadi 7,5 hingga 6,5 persen pada 2024, yang diprediksi meleset. Lapangan pekerjaan yang terbatas, biaya pendidikan yang tinggi, ditambah krisis iklim dan berbagai krisis lainnya yang terjadi secara global, turut memperburuk keadaan.
Penanganan gelandangan dan pengemis merupakan suatu hal yang mendesak karena mereka merupakan kelompok rentan dan terpinggirkan dalam masyarakat. Diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan seluruh pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta, untuk menciptakan program-program pembangunan berkelanjutan yang dapat melindungi, memberdayakan, dan menyediakan kesempatan bagi gelandangan dan pengemis untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Mengakui gelandangan dan pengemis sebagai warga negara, yang tidak sebatas menerbitkan kartu identitas untuk mereka, merupakan satu langkah awal yang berarti dalam memberikan perlindungan sosial bagi mereka.
Selanjutnya, program pemberdayaan ekonomi, pendidikan, pelatihan keterampilan, serta dukungan sosial dan psikologis perlu diperluas untuk membantu mereka dalam mengatasi tantangan yang mereka hadapi. Dalam hal ini, pendekatan berbasis masyarakat sangat penting. Partisipasi masyarakat, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta dalam upaya penanganan ini dapat meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan program-program yang dilakukan. Melalui kolaborasi, berbagai sumber daya dan pendekatan dapat digabungkan untuk mengatasi masalah kompleks ini dengan lebih efektif.
Dan yang tidak kalah penting, wawasan dan kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan untuk menghapus stigmatisasi terhadap gelandangan dan pengemis. Dengan demikian, penanganan gelandangan dan pengemis dalam kerangka pembangunan berkelanjutan tidak bersifat jangka pendek, melainkan dengan membangun masyarakat yang kokoh untuk menciptakan inklusi sosial dan kesejahteraan bersama.
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Di dunia profesional, ia memiliki pengalaman sepuluh tahun bekerja di bidang jurnalisme di beberapa media sebagai reporter dan editor.