Ekspor Pasir Laut dan Ancaman Kehancuran Ekosistem
Setiap entitas di Bumi memiliki perannya masing-masing, termasuk sumber daya yang ada di laut. Pasir laut, misalnya, memegang peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut dan pesisir. Oleh karena itu, pengerukan pasir laut secara masif dapat menyebabkan kerusakan serius pada ekosistem, serta akan berdampak pada keanekaragaman hayati laut dan menimbulkan berbagai dampak sosial-ekonomi. Kini, ancaman itu mengintai di tengah kebijakan pemerintah yang membuka kembali keran ekspor pasir laut melalui sejumlah regulasi.
Pasir dan Dampak Pengerukan Skala Besar
Pasir memainkan peran penting bagi kehidupan manusia dan banyak digunakan dalam berbagai bidang. Dalam bidang konstruksi, pasir merupakan bahan utama pembuatan beton dan mortar yang dapat memberikan kekuatan dan kestabilan pada struktur bangunan. Pasir juga digunakan dalam pembuatan kaca, yang merupakan komponen penting dalam berbagai produk seperti botol, jendela, dan peralatan laboratorium.
Pasir telah menjadi sumber daya kedua yang paling dieksploitasi di dunia setelah air. Setiap tahunnya, sekitar 50 miliar ton pasir digunakan di seluruh dunia. Menurut laporan UNEP, ada berbagai dampak buruk dari penambangan pasir besar-besaran, antara lain menyebabkan erosi, hilangnya perlindungan terhadap gelombang badai, dan meningkatkan potensi kehilangan keanekaragaman hayati. Selain itu, pengerukan pasir skala besar juga akan menimbulkan ancaman terhadap mata pencaharian, pasokan air, produksi pangan, perikanan, hingga industri pariwisata.
Di Indonesia, pengerukan pasir laut di berbagai daerah telah menimbulkan berbagai dampak buruk terhadap lingkungan dan sosial masyarakat. Di Deliserdang, misalnya, maraknya pengerukan pasir laut menyebabkan terjadinya abrasi dan berkurangnya tangkapan ikan sehingga mengancam mata pencaharian nelayan setempat.
Di Riau, penambangan pasir laut telah mengakibatkan kerusakan pada ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove. Dari semula untuk mencegah pendangkalan laut, aktivitas penambangan pasir di wilayah tersebut pada akhirnya menjelma aktivitas masif untuk menghasilkan komoditas pasir skala besar. Di Kabupaten Takalar, penambangan pasir laut menyebabkan terganggunya aktivitas nelayan kecil karena adanya hilir mudik kegiatan perusahaan penambang pasir laut dan berdampak pada wilayah tangkapan ikan mereka.
Ekspor Pasir Laut
Setelah 20 tahun dilarang, ekspor pasir laut kembali terbuka melalui terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, yang mencabut Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Meski diklaim sebagai upaya keberlanjutan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut, PP 26/2023 ini dengan gamblang mengatur tentang ekspor pasir laut yang dinilai kontradiktif dengan klaim tersebut. Greenpeace menilai bahwa klaim tersebut merupakan bentuk greenwashing karena regulasi tersebut membuka peluang pengerukan pasir laut secara masif yang akan mendorong kerusakan ekosistem laut di berbagai wilayah, termasuk di pulau-pulau kecil Indonesia.
Kebijakan tersebut kemudian dipertegas dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 tentang barang yang dilarang untuk diekspor dan Permendag nomor 21 tahun 2024 tentang kebijakan dan pengaturan ekspor.
Menyusul terbitnya aturan tersebut, puluhan perusahaan pun kini berbondong-bondong mengurus perizinan pengelolaan pasir laut ke Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Rekomendasi untuk Mencegah Kerusakan Ekosistem
Pada akhirnya, perlu diingat bahwa ekosistem laut menunjang kehidupan di darat, termasuk menyediakan 70% oksigen. Oleh karena itu, ekspor pasir laut, yang akan mendorong pengerukan pasir laut besar-besaran, tidak hanya akan menghancurkan kehidupan pesisir dan bawah laut, melainkan juga mengancam kehidupan manusia dan keanekaragaman hayati di darat. Pengerukan pasir secara masif juga akan mengancam keberadaan pulau-pulau kecil karena akan merusak kontur dasar laut. Organisasi WALHI menyebut bahwa “kita semua harus menangis ketika keran ekspor pasir laut dibuka”.
Laporan tersebut memberikan sepuluh rekomendasi untuk mencegah krisis pasir dan berbagai dampak yang dapat ditimbulkan, di antaranya:
- Mengakui pasir sebagai sumber daya strategis yang memberikan jasa ekosistem penting.
- Mengadopsi kebijakan dan kerangka hukum yang strategis dan terintegrasi secara horizontal, vertikal, dan interseksional.
- Memetakan, memantau, dan melaporkan ketersediaan pasir untuk pengambilan keputusan yang transparan, berbasis ilmu pengetahuan, dan berdasarkan data.
- Mendorong efisiensi dan sirkularitas sumber daya pasir dengan mengurangi penggunaan pasir, menggantinya dengan alternatif lain yang layak, dan mendaur ulang produk yang terbuat dari pasir jika memungkinkan.
- Menggunakan sumber daya pasir secara bertanggung jawab dengan secara aktif dan sadar melakukan pengadaan pasir dengan cara yang etis, berkelanjutan, dan sadar sosial.
- Memulihkan ekosistem dan mengkompensasi kerugian yang tersisa dengan memajukan pengetahuan, mengarusutamakan mitigasi, dan mendorong solusi berbasis alam.
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.