Hutan Bukan Hanya tentang Karbon: Tak Tergantikan oleh Pertanian Monokultur

Foto: Imat Bagja Gumilar di Unsplash.
Hutan alami memberikan manfaat yang tak tepermanai bagi kehidupan, mulai dari menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati hingga membantu menjaga kesehatan mental. Singkatnya, hutan bukan hanya tentang menyimpan karbon, sehingga perannya tidak dapat digantikan oleh pertanian monokultur seperti sawit, padi, tebu, karet, dan lainnya. Namun sayangnya, hutan di Indonesia, termasuk hutan alami, menghadapi ancaman deforestasi dan degradasi yang semakin meningkat seiring dengan ambisi perluasan lahan pertanian monokultur.
Deforestasi di Indonesia
Menurut laporan Global Forest Watch, pada tahun 2001 Indonesia memiliki 136 juta hektare hutan primer, yang mencakup lebih dari 83% luas daratan. Pada 2023, Indonesia telah kehilangan 1,03 juta hektare hutan primer, setara dengan 842 metrik ton emisi CO2. Pembalakan liar serta perambahan dan alih fungsi hutan turut berkontribusi dalam menyebabkan deforestasi.
Deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia terus terjadi setiap tahun setidaknya dalam dua dekade sejak 2001. Auriga Nusantara mencatat deforestasi terparah terjadi pada tahun 2012 dan 2016, masing-masing seluas 923.550 hektare dan 923.050 hektare. Sementara pada tahun 2023, luas deforestasi mencapai 257.384 hektare, meningkat dibanding tahun 2022 yakni 230.760 hektare. Deforestasi terjadi di seluruh provinsi paling kaya hutan mencakup Papua, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Aceh, termasuk di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi.
Ironisnya, selama rentang waktu tersebut, reforestasi yang dilakukan sangat minim jika dibandingkan dengan luas deforestasi yang terjadi. Pada 2018-2019, misalnya, reforestasi hanya mencakup 3 ribu hektare, sementara deforestasi mencapai 465,3 ribu hektare. Demikian pula pada 2021-2022, dimana reforestasi hanya meliputi 15,4 ribu hektare saat deforestasi mencapai 119,4 ribu hektare.
Dampak yang Meluas
Deforestasi, yang berarti berkurangnya ekosistem alami, telah menyebabkan berbagai dampak buruk yang meluas. Di banyak tempat, deforestasi menyebabkan hilangnya sumber kehidupan dan penghidupan, terutama bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang bergantung pada hutan. Hilangnya hutan juga berarti terancamnya kehidupan masyarakat adat, yang pada waktunya akan melenyapkan budaya dan kekayaan pengetahuan adat yang berharga.
Deforestasi juga mengancam hampir 70 persen spesies flora dan fauna yang hidup di hutan, yang sebagian kini berstatus terancam punah seperti harimau, gajah sumatera, dan elang jawa. Lebih jauh, deforestasi telah meningkatkan risiko bencana alam, penyebaran zoonosis, kerawanan pangan, penurunan kualitas udara, hingga perubahan iklim. Sayangnya, ancaman deforestasi terus meningkat di Indonesia, termasuk berupa rencana alih fungsi 20 juta hektare hutan dengan dalih untuk perluasan lahan pertanian dan energi.
Hutan versus Pertanian Monokultur

Sebagai ekosistem alami, hutan bukan hanya tentang kumpulan pohon yang memiliki daun hijau dan mampu menyerap karbon dioksida, melainkan ekosistem kompleks yang melibatkan interaksi berbagai spesies flora dan fauna dalam suatu jaringan yang saling bergantung. Keanekaragaman hayati, yang merupakan faktor biotik dalam ekosistem hutan, menghabiskan hampir seluruh siklus hidupnya dalam hutan, seperti mencari makan, berkembang biak, hingga jasadnya diserap kembali oleh hutan. Contohnya, mikroorganisme seperti bakteri dan jamur memiliki peran krusial dalam mendaur ulang nutrisi dan menjaga kesehatan tanah.
Sebaliknya, hutan pun bergantung pada keanekaragaman hayati yang terus bertahan. Melalui pohon-pohon besar yang menyerap air hujan, hutan menjadi elemen penting dalam retensi air untuk kelangsungan siklus hidrologi. Dengan demikian, keberadaan hutan sangat penting untuk menjaga kestabilan pasokan air bagi sungai dan sumber air tanah, serta mengurangi risiko banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Hal ini pun tidak akan mungkin tanpa tanah bernutrisi tinggi hasil kerja mikroorganisme yang disebut sebelumnya.
Dalam skala lebih luas, hutan memainkan peran penting dalam mendukung ketahanan pangan, menjaga kualitas udara, meningkatkan kesehatan masyarakat, dan mencegah bencana alam. Keanekaragaman tumbuhan di hutan menyediakan berbagai bahan pangan dan obat-obatan alami terutama bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Bagi mereka, hutan bukan hanya sumber daya ekonomi, tetapi juga bagian dari warisan budaya dan identitas.
Pertanian monokultur, yang merupakan ekosistem buatan, tidak dapat menggantikan fungsi ekologis –serta sosial–ekonomi– dari hutan alami. Pertanian monokultur seperti sawit, tebu, padi, dan lainnya memiliki karakteristik yang sangat berbeda dan tidak dapat menyamai hutan alami yang kaya akan keanekaragaman hayati. Sifat pertanian monokultur yang cenderung mengeksploitasi tanah, bahkan seringkali melibatkan penggunaan bahan-bahan kimia seperti pestisida dan pupuk, dapat menyebabkan degradasi tanah dan penurunan kualitas air, yang berpotensi merusak lingkungan dalam jangka panjang.
Kesejahteraan Bukan Hanya tentang Uang
Pertanian monokultur mungkin memang dapat mendatangkan keuntungan finansial signifikan yang dapat dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, kesejahteraan bukan hanya tentang uang. Kesejahteraan mencakup lingkungan hidup yang sehat dan seimbang, yang juga akan menciptakan kondisi sosial dan ekonomi yang sehat. Di sini, hutan yang sehat merupakan salah satu pilar utamanya.
Sekali lagi, hutan bukan hanya kumpulan pohon yang dapat menyerap karbon. Oleh karena itu, seluruh pihak –terutama pemerintah– mesti berkomitmen dan bertanggung jawab melindungi dan melestarikan hutan dan bentang alam lainnya seraya mendorong praktik ekonomi yang berkelanjutan bagi manusia dan planet Bumi.
Editor: Lalita Fitrianti

Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor di beberapa media tingkat nasional.