Menurunnya Keanekaragaman Hayati dan Meningkatnya Penyakit Menular
Isu keanekaragaman hayati dan kesehatan masyarakat sering dibahas secara terpisah, padahal keduanya saling berkaitan. Misalnya, ketika penyakit COVID-19 pertama kali muncul di Wuhan, China, orang-orang tidak langsung mengaitkannya dengan penurunan keanekaragaman hayati. Belakangan, orang-orang menyadari bahwa penyakit tersebut merupakan zoonosis, yang menular dari hewan ke manusia. Zoonosis mencakup lebih dari 75% penyakit baru yang muncul.
COVID-19 bukan satu-satunya. HIV/AIDS, Ebola, dan sindrom pernapasan akut parah (SARS) juga berasal dari satwa liar. Faktanya, lebih dari 70% zoonosis berasal dari satwa liar. Lantas, bagaimana penyakit seperti itu bisa sampai ke manusia dan mematikan?
Meningkatnya Kontak Manusia dan Satwa Liar
Sebuah penelitian pada tahun 2010 menyatakan bahwa kemunculan patogen zoonosis berkorelasi positif dengan kekayaan spesies mamalia. Beberapa aktivitas manusia, seperti pertanian dan perburuan satwa liar, meningkatkan kontak antara hewan dan manusia yang menyebabkan efek “limpahan” patogen, sehingga mempercepat penyebaran patogen pada manusia.
Hampir 50% zoonosis yang muncul sejak tahun 1940-an terjadi di wilayah dimana terdapat alih fungsi lahan, pertanian dan peternakan, serta konsumsi daging satwa liar yang merajalela.
Hal ini ditunjukkan dalam penelitian tahun 2024 di Ghana mengenai patogen virus corona (CoV). Penelitian tersebut menemukan bahwa prevalensi CoV dan tingkat infeksi lebih tinggi pada komunitas kelelawar yang kurang beragam. Spesies kelelawar yang dominan, menurut penelitian tersebut, merupakan “spesies inang yang kompeten” terhadap patogen CoV dan jumlahnya sangat banyak. Hal ini menjadi tempat yang mendukung bagi patogen untuk bereplikasi dan berkembang biak.
Selain itu, gua kelelawar sering dikunjungi oleh penduduk setempat untuk tujuan religiusitas, pariwisata, dan sosial-ekonomi. Gua kelelawar yang awalnya merupakan tempat penularan dari kelelawar ke kelelawar, menjelma menjadi tempat penularan dari kelelawar ke manusia.
Dalam kasus COVID-19, penelitian telah mengaitkan patogen SARS-CoV-19 dengan perdagangan satwa liar di China. Para ilmuwan menduga dampak limpahan patogen terjadi di pasar basah, tempat kontak manusia dan satwa liar terjadi setiap harinya. Namun, belum ada penelitian yang dapat menentukan sumber pasti patogen SARS-CoV-19 hingga artikel ini ditulis.
Keanekaragaman Spesies dapat Melemahkan Infeksi dan Zoonosis
Pada prinsipnya, patogen zoonosis berevolusi sama seperti makhluk hidup lainnya. Perilaku dan karakteristik mereka dapat berubah seiring perkembangan mereka dalam jalur evolusi dan penularan. Patogen zoonosis menular dari hewan ke hewan dan mungkin mengalami perubahan evolusioner yang dapat mengurangi keparahan atau resistensinya sebelum ditularkan ke manusia.
Dalam beberapa kasus, patogen mungkin tidak dapat bertahan hidup sama sekali jika inang berikutnya tidak cocok. Oleh karena itu, semakin tinggi keanekaragaman inang, semakin kecil kemungkinan terjadinya penularan zoonosis pada manusia. Para ilmuwan menjulukinya sebagai efek “pengenceran”.
Efek pengenceran ini ditunjukkan pada penyakit Lyme. Sebuah penelitian mengenai kutu ixodid vektor penyakit Lyme di Amerika Utara menunjukkan bahwa kasus penyakit Lyme dilaporkan lebih tinggi di negara-negara dimana inangnya yang kompeten, yakni tikus berkaki putih, sangat dominan. Sebaliknya, jumlah kasus secara signifikan lebih rendah di negara-negara dimana tikus berkaki putih kurang dominan. Tikus berkaki putih kurang dominan di negara bagian dimana terdapat hutan sebagai rumah bagi inang yang kurang kompeten seperti tupai.
Konservasi Keanekaragaman Hayati Penting untuk Kesehatan Masyarakat
Konservasi keanekaragaman hayati secara umum dapat menghambat penularan zoonosis. Namun, keberhasilan pengelolaan penyakit memerlukan berbagai pendekatan. Pola makan dan olahraga yang tepat, sanitasi, dan pengelolaan habitat penting untuk pencegahan penyakit. Selain itu, penemuan obat, prosedur medis, dan cakupan kesehatan semesta sangat penting saat terjadi infeksi penyakit.
Dalam kasus seperti flu burung, daging unggas telah menjadi hal yang tak terpisahkan dari pola makan di banyak budaya saat ini sehingga peternakan dan pasar sulit dihapuskan. Yang bisa dilakukan adalah mencegah dan menghentikan penggundulan hutan dan perburuan satwa liar. Langkah-langkah seperti sanitasi peternakan, meminimalkan kontak antara unggas dan burung liar, serta penemuan obat merupakan hal penting untuk memastikan zoonosis dapat dikendalikan.
Para ilmuwan menemukan bahwa penurunan keanekaragaman hayati turut menyebabkan perubahan dinamika patogen inang. Karakteristik suatu patogen dapat berubah seiring dengan kondisi lingkungan dan inangnya. Sayangnya, penurunan keanekaragaman hayati sulit dicegah jika menyangkut pembangunan manusia.
Perlu digarisbawahi, memberantas satu penyakit tidak akan mengurangi kemungkinan munculnya penyakit berikutnya. Oleh karena itu, kecil kemungkinan manusia mampu mengendalikan atau memberantas suatu spesies patogen sepenuhnya. Apa yang bisa kita lakukan adalah menerima bahwa kita hidup berdampingan dengan patogen dan mengelolanya dengan cara yang bermanfaat bagi kita serta makhluk hidup lain dan lingkungan.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Terima kasih telah membaca!
Membership Individu Tahunan Green Network Asia – Indonesia mendukung pertumbuhan pribadi dan profesional Anda dengan akses online tanpa batas ke platform “Konten Eksklusif” kami yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia. Nikmati manfaat Membership, termasuk -namun tidak terbatas pada- pembaruan kabar seputar kebijakan publik & regulasi, ringkasan temuan riset & laporan yang mudah dipahami, dan cerita dampak dari berbagai organisasi di pemerintahan, bisnis, dan masyarakat sipil.
Ata adalah Manajer Kemitraan Bisnis di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Ilmu Manajemen Lingkungan dari University of Queensland, Australia. Ia seorang environmental & impact specialist, mendukung berbagai organisasi melalui studi lingkungan dan manajemen proyek.