Mengulik Manfaat dan Peluang Carbon Offset di Asia Tenggara

Foto: Ken Shono di Unsplash.
Carbon offset (kompensasi karbon) telah menjadi hal yang umum dalam mitigasi iklim. Banyak perusahaan global mematok target nol emisi karbon dalam tanggung jawab lingkungan mereka dan memanfaatkan carbon offset untuk mencapainya. Shell, Google, dan Microsoft merupakan contoh perusahaan yang “mencapai netralitas karbon” lewat cara ini.
Memahami carbon offset
Carbon offset diterapkan melalui konsep perdagangan karbon. Perusahaan yang menghasilkan emisi dalam menjalankan bisnisnya dapat menyeimbangkan skala karbon dengan membayarkan sebagian pendapatannya untuk melindungi hutan, lahan gambut, atau bentuk penyimpanan karbon lainnya. Dengan cara ini, perusahaan tetap dapat berbisnis sambil membayar insentif untuk konservasi lingkungan. Cara ini juga membantu meminimalkan emisi dari deforestasi, yang merupakan salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca.
Kabarnya, banyak yang memperdebatkan efektivitas carbon offset. Banyak perusahaan melakukan greenwashing karena mereka membeli offset tanpa melakukan upaya untuk meminimalkan jejak karbon mereka. Ada juga skeptisisme bahwa kredit karbon yang ada tidak sebanyak yang diklaim. Namun, carbon offset masih lebih baik daripada tidak bertindak sama sekali. Membayar insentif untuk penyerap karbon masih dapat membalikkan skala emisi bisnis konvensional (business-as-usual/BAU), meskipun sedikit.
Saat ini, pasar perdagangan karbon tengah mengincar Asia Tenggara. Wilayah ini memiliki kapasitas penyimpanan karbon sekitar 170 Gt. Pada saat yang sama, semua negara ASEAN terlibat dalam Perjanjian Paris, dan delapan dari sepuluh negara anggota telah berkomitmen untuk mencapai nol bersih pada tahun 2050. Dengan potensi sebesar ini dan tingkat antusiasme yang sama, Asia Tenggara siap membuka pintu untuk carbon offset.
Manfaat bagi ASEAN
Sebuah studi baru-baru ini mengungkapkan bahwa 58% hutan di Asia Tenggara, yang setara dengan 114 juta hektare, terancam punah. Melindungi hutan-hutan tersebut dapat mengubahnya menjadi penyerap karbon berkelanjutan dengan mencegah total emisi sebanyak 835 MtCO2e. Potensi yang paling signifikan dimiliki oleh Riau dan Kalimantan Barat hingga mencapai 49 CO2e/Ha/tahun, dengan perkiraan sebesar US$5,80/tCO2e.
Sektor energi, pertanian, dan industri yang tumbuh subur di Asia Tenggara mengancam keberadaan hutan. Carbon offset, dalam hal ini, menawarkan perlindungan hutan dan manfaatnya, seperti ketahanan pangan, retensi polusi air, dan melindungi Kawasan Kunci Keanekaragaman Hayati. Selain itu, carbon offset dapat membantu Asia Tenggara menghimpun peluang ekonomi hingga US$10 miliar pada tahun 2030.
Amerika Selatan telah menunjukkan contoh. Proyek carbon offset di Amazon Peru menghasilkan penurunan deforestasi sebesar 75%, setara dengan 6 juta ton emisi karbon. Masyarakat sekitar mendapat manfaat dari peningkatan praktik pertanian dan kesehatan. Di Kosta Rika, pemerintahnya menghasilkan US$ 30 juta per tahun dari konservasi 2,5 juta hektare hutan dan menjualnya sebagai kredit karbon.
Perlu percepatan
Asia Tenggara terbilang lambat dibanding mitranya di Amerika Selatan. Saat ini, pasar karbon di wilayah tersebut sebagian besar bersifat sukarela, yang berarti perusahaan memperdagangkan kredit karbon mereka tanpa sistem untuk mengaturnya.
Sebagian besar negara di kawasan ini sedang mengembangkan sistem mereka sendiri untuk mengatur pasar karbon. Sampai saat ini, dukungan pemerintah masih perlu ditingkatkan. Situasi ini menyebabkan masalah dalam perluasan pasokan, integritas offset, dan infrastruktur perdagangan.
Hingga saat ini, masih ada yang menganggap perdagangan karbon tidak konvensional. Akibatnya, proyek carbon offset hanya menarik sedikit pengembang proyek dan akhirnya menjadi terisolasi. Meskipun baru-baru ini ada perubahan, proyek carbon offset membutuhkan siklus pengembangan jangka panjang, hal yang tidak disukai investor yang menuntut pengembalian cepat.
Tanpa kerangka peraturan, tidak ada standar untuk menentukan dan mempertahankan carbon offset. Umumnya, dua proyek offset menerapkan metode penskalaan nilai offset yang berbeda sehingga kredit offset tersedia dalam berbagai margin. Faktor pembeda meliputi metode pemantauan di tempat, sumber daya, dan aksesibilitas.
Selain itu, transaksi masih dilakukan melalui perantara. Kondisi ini menambah elemen lain pada margin offset yang lebar, tidak relevan untuk menghasilkan dan mempertahankan kredit karbon.
Optimisme masa depan
Peran Asia Tenggara dalam pasar karbon baru saja dimulai, dengan Singapura dan Indonesia sebagai pemimpin.
Bank Singapura seperti DBS, Standard Chartered, dan Temasek bergabung dengan Climate Impact X (CIX) sebagai pasar global untuk kredit karbon sukarela. CIX menawarkan kredit karbon berkualitas tinggi yang diverifikasi oleh standar internasional, seperti Verra. Pasar yang terkonfirmasi dan termoderasi memberikan keyakinan kepada pembeli dan penjual dalam perdagangan, merangsang pasar untuk pasokan lebih lanjut.
Sebagai negara terbesar di kawasan ini, Indonesia memiliki target penyerapan karbon sebesar 140 Mt pada tahun 2030. Pada tahun 2021, pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan penilaian kredit karbon, menjelaskan pasar karbon negara. Hal ini memunculkan perusahaan seperti Rimba Makmur Utama, yang meningkatkan pasokan kredit karbon yang dapat dipasarkan dan kemungkinan besar akan tumbuh lebih besar di masa depan.
Dengan upaya ini, pijakan bagi Asia Tenggara untuk membuka pasar karbon global telah diletakkan. Namun, kawasan ini tidak dapat memperoleh keuntungan penuh hanya dengan mengandalkan pasar sukarela.
Pengarusutamaan carbon offset membutuhkan partisipasi pemerintah untuk mengatur pasar karbon dengan menciptakan peraturan dan kebijakan yang benar-benar mendorong konservasi lahan, memberikan tekanan pada bisnis untuk berbuat lebih baik, dan bermanfaat bagi masyarakat lokal hari ini dan di masa depan.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli dari artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan kami untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Ata adalah Manajer Event & Aktivitas di Green Network. Dia juga melakukan peran sebagai Editor untuk Green Network Asia.