Dampak Iklim Industri Peternakan Ayam dan Babi
Foto oleh Artem Beliaikin di Unsplash.
Setiap hari, sebagian orang di dunia mengonsumsi daging, baik dalam bentuk utuh maupun olahan, untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani. Selain daging sapi, daging ayam dan daging babi juga termasuk jenis daging yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi.
Di Indonesia, pada 2021, produksi daging ayam mencapai 3,42 juta ton, dan daging babi 323,67 ribu ton. Daging tersebut dihasilkan oleh peternakan pabrik yang jumlahnya mencapai ratusan.
Namun, tahukah Anda bahwa industri peternakan ayam dan babi juga menyebabkan dampak iklim yang cukup serius? Hasil riset World Animal Protection (WAP) menemukan bahwa dampak iklim yang disumbangkan oleh industri peternakan ayam dan babi tidak kalah besar dibanding yang diakibatkan oleh emisi gas metana dari peternakan sapi yang selama ini lebih sering disorot.
Temuan Utama
Laporan bertajuk “Perubahan Iklim dan Kekejaman: Mengungkap Dampak Nyata Industri Peternakan” itu mengungkap buruknya sistem yang diterapkan dalam industri peternakan. Perusahaan peternakan umumnya membabat hutan untuk menanam tanaman untuk pakan ternak– seperti jagung dan gandum–yang menyebabkan kerusakan habitat dan mengganggu kehidupan hewan liar.
Tanaman untuk pakan ternak ditumbuhkan dengan pestisida dan pupuk kimiawi yang menyebabkan polusi air dan tanah. Pakan ternak yang dipanen kemudian diangkut ke peternakan di seluruh dunia dengan kendaraan yang menggunakan energi berbahan bakar fosil.
Penggunaan energi yang lebih banyak berlangsung di peternakan pabrik untuk pemanasan, penerangan, dan ventilasi. Kotoran hewan ternak dalam jumlah besar disebarkan di ladang, menghasilkan gas metana yang dilepaskan ke atmosfer.
Dengan fokus penelitian di Amerika Serikat (AS), Belanda, Brasil, dan China, laporan tersebut menyajikan beberapa temuan utama mengenai dampak industri peternakan terhadap perubahan iklim.
- Jumlah emisi dalam produksi daging ayam di empat negara tersebut dalam setahun setara dengan emisi 29 juta mobil di jalanan.
- Gas metana dari kotoran hewan menyumbang 21% emisi dari daging babi di Belanda, 22% di AS, dan 24% di Brasil.
- Produksi tanaman yang digunakan untuk memberi makan hewan ternak menguras stok air dalam jumlah besar.
- Penggunaan lahan untuk menanam tanaman pakan ternak tidak efisien dan merusak lingkungan.
- Untuk setiap 10 kg daging ayam yang terhidang di meja makan, 4 pohon ditebang untuk memperluas lahan tanaman pakan ternak. Sedangkan untuk setiap 10 kg daging babi, 5 pohon ditebang.
“Kondisi ini menempatkan pencapaian tujuan Perjanjian Iklim Paris dan masa depan Bumi yang aman dari krisis iklim berada di luar jangkauan,” ujar Rully Prayoga, Manajer Kampanye World Animal Protection Indonesia.
Meningkatkan Standar Kesejahteraan Hewan dan Mengurangi Konsumsi Daging
Saat ini, jumlah hewan ternak mencapai 80 miliar setiap tahunnya. Hewan-hewan ternak itu dikurung dalam kandang yang sempit, saling berhimpit-himpitan sepanjang hidup, diberi makanan dan antibiotik supaya tetap hidup, lalu dipotong ketika sudah cukup besar.
Ayam pedaging dalam peternakan pabrik tidak bisa untuk sekadar mengepakkan sayap, apalagi bertengger di ranting dan menceker tanah sesuai sifat alamiahnya. Induk babi tidak bisa untuk sekadar membalikkan badan dan sering menggigit batang besi kandang karena frustrasi.
Dalam hal ini, kesejahteraan hewan penting untuk ditingkatkan. Laporan tersebut memaparkan bahwa peningkatan kesejahteraan hewan dapat menurunkan dampak perubahan iklim dari industri peternakan. Memperlakukan hewan ternak dengan lebih baik adalah kunci.
Selain itu, laporan tersebut juga mengungkap bahwa mengurangi konsumsi daging juga dapat mengurangi dampak iklim. Pengurangan konsumsi daging babi dan daging ayam per orang sebesar 50% pada tahun 2040 akan menghasilkan penurunan dampak perubahan iklim rata-rata 45%. Ini setara dengan mengeliminasi 44 juta mobil dari jalanan (sekitar 210 juta metrik ton emisi GRK).
Rekomendasi
Industri peternakan ayam dan babi telah menyebabkan dampak iklim serius yang tidak bisa didiamkan. Laporan tersebut memberikan sejumlah rekomendasi kunci untuk mengatasi masalah tersebut, terutama untuk pemerintah dan pelaku industri peternakan:
- Memastikan tidak ada perusakan habitat lebih lanjut oleh industri peternakan untuk produksi pakan ternak pada tahun 2023.
- Memperkenalkan standar minimum kesejahteraan hewan ternak yang wajib dipatuhi oleh semua perusahaan peternakan.
- Mengalihkan subsidi untuk pangan nabati yang manusiawi dan berkelanjutan. Pada saat yang sama, industri peternakan harus berkomitmen untuk mengurangi produksi setidaknya 50% pada tahun 2040.
- Mulai tahun 2030, industri peternakan mesti mulai menghentikan penggunaan pakan yang dapat dimakan manusia untuk hewan ternak.
- Tidak ada pemberian izin pendirian peternakan pabrik baru atau perluasan pabrik untuk sepuluh tahun ke depan untuk memastikan bahwa bisnis peternakan hewan bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkannya terhadap hewan, manusia, dan planet.
Menyadari bahwa makanan yang kita makan dan bagaimana proses produksinya dapat berdampak pada pemanasan global adalah titik berangkat yang baik. Selanjutnya, komitmen bersama menjadi hal fundamental yang kita perlukan untuk mengakhiri sistem peternakan yang buruk dan memastikan manusia, hewan, dan planet Bumi terlindungi.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan kami untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network. Ia bertanggung jawab sebagai Editor untuk Green Network ID.