Menjaga Perdamaian di Tengah Polikrisis dan Kemajuan Teknologi
Perdamaian adalah tonggak kehidupan. Tanpa perdamaian, sulit bagi kita untuk dapat menjalani hidup dan melakukan berbagai aktivitas dengan tenang dan aman. Kita akan semakin menyadari hal itu ketika menengok kehidupan orang-orang di daerah atau negara tempat konflik dan perang sedang berlangsung. Tubuh-tubuh manusia tergeletak tak bernyawa di jalan, anak-anak dan perempuan menangis ketakutan, dan wajah para laki-laki yang putus asa adalah gambaran yang lebih dari cukup untuk memberi tahu kita betapa pentingnya menjaga perdamaian.
Di tengah berbagai krisis yang melanda dunia saat ini, ditambah kemajuan teknologi yang kerap menjadi pisau bermata dua, tantangan untuk merawat perdamaian semakin kompleks.
Polikrisis dan Perubahan Iklim
Kabar buruknya, tidak ada yang bisa menjamin bahwa angin perdamaian akan terus berembus ketika perang atau konflik berakhir. Di daerah atau negara-negara yang tidak sedang berkonflik, perdamaian bisa runtuh sewaktu-waktu. Polikrisis dan perubahan iklim yang sedang kita hadapi saat ini merupakan ancaman yang sangat nyata. Krisis pangan dan air bersih, kemiskinan dan ketimpangan ekstrem, hingga diskriminasi berbau sentimen SARA dapat memicu konflik dan perang.
Dalam lini masa perjalanan manusia, konflik atau perang seringkali disulut oleh faktor-faktor semacam itu. Krisis air, misalnya, telah menjadi penyebab konflik di 45 negara di dunia, dan beberapa di antaranya melibatkan kekerasan dan penggunaan senjata. Sementara ketimpangan ekonomi dan diskriminasi telah sering menjadi penyebab konflik di berbagai belahan dunia.
Pada gilirannya, konflik dan perang akan memperparah krisis yang ada. Sebagai contoh, efek kupu-kupu perang Rusia-Ukraina telah memperparah krisis pangan hingga krisis kemanusiaan di berbagai negara.
Ancaman Kemajuan Teknologi
Konflik terus terjadi bahkan ketika peradaban manusia telah sedemikian berkembang. Di tengah kemajuan teknologi, konflik dan perang dapat dilakukan oleh siapapun melalui bantuan perangkat teknologi. Dalam konflik dan perang yang lampau dan yang sedang berlangsung, teknologi juga telah banyak digunakan.
Sekjen PBB António Guterres dalam pidatonya pada pembukaan sesi ke-78 Majelis Umum PBB 2023 menyoroti ancaman terhadap hak-hak asasi manusia yang ditimbulkan oleh kehadiran teknologi baru, terutama kecerdasan buatan (AI) generatif.
“Ketika saya menyebutkan kecerdasan buatan dalam pidato saya di Majelis Umum pada tahun 2017, hanya dua pemimpin lain yang mengucapkan istilah tersebut. Sekarang, AI menjadi perbincangan semua orang—sebuah subjek yang menimbulkan kekaguman sekaligus ketakutan,” kata Guterres. “Kesenjangan digital semakin memperparah kesenjangan. Ujaran kebencian, disinformasi, dan teori konspirasi di platform media sosial disebarkan dan diperkuat oleh AI, sehingga melemahkan demokrasi dan memicu kekerasan dan konflik dalam kehidupan nyata,” sambungnya.
Menjaga Perdamaian
Tidak dapat dielakkan, mewujudkan dan merawat perdamaian adalah tugas kita semua. Sebagai warga negara dan dunia, kita dapat melakukan hal-hal sederhana untuk menjaga perdamaian, sesuai dengan peran dan kapasitas kita masing-masing. Di berbagai daerah di Indonesia, ada beberapa contoh yang dapat kita adaptasi.
Misalnya, di Maluku, Eklin Amtor de Fretes merajut perdamaian dengan cara berdongeng keliling dari satu kampung ke kampung lain. Dengan menggunakan metode ventrilokuisme, dongeng yang disampaikan Eklin tidak hanya didengar oleh anak-anak, tetapi juga orang-orang dewasa dari berbagai latar belakang; membuat mereka yang tadinya terpisah karena konflik, menjadi bersatu kembali dan berpelukan.
Di Poso, Lian Gogali membangun sekolah perdamaian Mosintuwu untuk para perempuan, anak-anak, pemuda, hingga tokoh agama dari berbagai latar belakang untuk menjaga perdamaian pascakonflik yang terjadi pada awal masa Reformasi.
Agenda Baru untuk Perdamaian
Di tingkat negara dan dunia, PBB menyerukan perlunya Agenda Baru untuk Perdamaian untuk mengatasi berbagai konflik saat ini. Agenda Baru untuk Perdamaian berisi dua belas aksi dalam lima agenda prioritas, yaitu:
- Meningkatkan pencegahan di tingkat global dengan mengatasi risiko strategis dan perpecahan geopolitik, termasuk mengeliminasi senjata nuklir dan meningkatkan diplomasi preventif di tingkat global dalam menghadapi meningkatnya fragmentasi dan potensi munculnya blok geopolitik dengan aturan perdagangan, rantai pasok, mata uang, dan internet yang berbeda.
- Mencegah konflik dan kekerasan serta menjaga perdamaian untuk semua orang di semua negara dengan berfokus pada mediasi; mempromosikan kohesi sosial; memprioritaskan hubungan antara pembangunan berkelanjutan, aksi iklim dan perdamaian; dan menjunjung penghormatan penuh terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
- Memperbarui pendekatan dalam operasi perdamaian dengan memahami realitas konflik saat ini dengan memperkuat operasi dan kemitraan perdamaian, serta memberi dukungan untuk Uni Afrika dan operasi dukungan perdamaian subregional.
- Mencegah penggunaan domain dan teknologi baru serta mendorong inovasi yang bertanggung jawab.
- Memperbarui sistem keamanan kolektif untuk memulihkan legitimasi dan efektivitasnya.
“Perdamaian berkaitan erat dengan pembangunan berkelanjutan. Kita melihat pola yang umum di seluruh dunia: semakin dekat suatu negara dengan konflik, semakin jauh negara tersebut dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan,” kata Guterres. Untuk itu, lanjutnya, “Mari kita bertekad untuk menyembuhkan perpecahan dan membina perdamaian, menjunjung tinggi martabat dan nilai setiap orang; dan mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dengan tidak meninggalkan siapa pun di belakang.”
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Di dunia profesional, ia memiliki pengalaman sepuluh tahun bekerja di bidang jurnalisme di beberapa media sebagai reporter dan editor.