Menengok Krisis Pangan di Asia yang Melanda Puluhan Juta Manusia
Setiap orang membutuhkan dan berhak mendapatkan makanan. Namun, banyak orang di berbagai belahan dunia menderita kelaparan, dan menghadapi kerawanan dan krisis pangan. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan menargetkan Nol Kelaparan pada Tujuan 2. Pada Mei 2023, Jaringan Informasi Ketahanan Pangan (Food Security Information Network/FSIN), atas dukungan Global Network against Food Crises (GNAFC), menerbitkan Laporan Global tentang Krisis Pangan 2023. Lalu, bagaimana keadaan krisis pangan di Asia?
Laporan Global Krisis Pangan 2023
Laporan Global Krisis Pangan (Global Report on Food Crises/GRFC) 2023 diluncurkan atas kolaborasi dari 16 mitra untuk mencapai penilaian independen dan berbasis konsensus tentang kerawanan pangan akut di tingkat global, regional, dan negara. Laporan dimaksudkan untuk memberikan informasi mengenai tindakan kemanusiaan dan pembangunan.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyebut laporan itu sebagai “dakwaan pedas atas kegagalan umat manusia” dalam mengakhiri kelaparan. Dia masygul, “Seperti biasa, mereka yang paling rentan yang menanggung beban kegagalan ini.”
Laporan tersebut menyebutkan bahwa jumlah orang yang mengalami krisis pangan semakin meningkat. Secara global, jumlahnya mencapai 198 juta orang pada tahun 2021. Pada tahun 2022, 258 juta orang di 58 negara dan wilayah menghadapi kerawanan pangan akut (Fase 3 hingga fase 5). Fase 3, yang diklasifikasikan sebagai Krisis, adalah fase ketika rumah tangga mengalami kekurangan gizi akut yang tinggi atau di atas rata-rata atau hampir tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan dan minimum kecuali dengan menghabiskan aset penting lainnya.
Krisis Pangan di Asia
GRFC 2023 mencakup lima negara atau wilayah Asia dengan krisis pangan utama: Afghanistan, Bangladesh (Cox’s Bazaar), Myanmar, Pakistan (Balochistan, Khyber Pakhtunkhwa, dan Sindh), dan Sri Lanka.
Secara keseluruhan, sekitar 51 juta orang di negara-negara ini menghadapi kerawanan pangan akut tingkat tinggi pada tahun 2022. Sekitar 39% di antaranya tinggal di Afghanistan. Selanjutnya, 46% dari total populasi di Afghanistan mengalami Fase 3 atau di atas kerawanan pangan akut, jumlah tertinggi di Asia. Angka ini disusul oleh Sri Lanka dengan 28% dan Myanmar 27%.
GRFC 2023 juga menunjukkan bahwa kerawanan pangan akut cenderung berdampingan dengan kasus wasting anak. Laporan tersebut menyebutkan bahwa hanya Afghanistan, Myanmar, dan Pakistan yang memiliki data terkini tentang malnutrisi akut. Berdasarkan data tersebut, terdapat sekitar 4,15 juta anak menderita wasting pada tahun 2022.
Menurut WHO, wasting adalah kondisi di mana seorang anak terlalu kurus (berat badannya sangat rendah) dan tidak seimbang dengan tinggi badannya. Negara-negara dengan kombinasi kerawanan pangan akut dan wasting anak cenderung memiliki masalah dalam pembangunan dan kesejahteraan penduduk jangka pendek, menengah, dan panjang.
Faktor Penyebab dan Perkembangan
Laporan tersebut menilai bahwa krisis pangan di Asia dipicu oleh faktor yang saling berhubungan dan saling berpengaruh. Faktor utamanya adalah:
- Guncangan Ekonomi – Afghanistan dan Sri Lanka. Di Afghanistan, hal itu disebabkan oleh krisis keuangan yang dipicu oleh konflik, yang memburuk sejak Taliban mengambil kendali kekuasaan negara pada Agustus 2021. Di Sri Lanka, gejolak ekonomi diperparah oleh perang di Ukraina, menyebabkan kelangkaan akut, penurunan produksi pertanian, dan tingkat inflasi harga pangan tahunan mencapai 64% per Desember 2022.
- Konflik/Kerawanan – Bangladesh dan Myanmar. Sepanjang tahun 2022, kedua negara menghadapi kerawanan yang semakin memburuk dan meluas, perpindahan massal, dan pembatasan pergerakan penduduk. Ini memengaruhi kemampuan mereka untuk mencari nafkah, menghasilkan, atau mengakses makanan.
- Cuaca Ekstrem – Pakistan. Curah hujan muson tiga kali lebih tinggi dari rata-rata 30 tahun sebelumnya, menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor di berbagai wilayah negara tersebut. Pakistan juga menghadapi gelombang panas sebelum banjir. Jika digabungkan, seluruh faktor ini mengakibatkan anjloknya produksi pertanian dan peternakan. Kekeringan dan banjir juga merupakan penyebab utama krisis pangan di Afghanistan dan Myanmar.
“Krisis ini menuntut perubahan mendasar dan sistemik. Laporan ini menjelaskan bahwa mengatasi krisis ini bukanlah hal yang mustahil. Kita memiliki data dan pengetahuan untuk membangun dunia yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan di mana kelaparan tidak memiliki tempat — termasuk melalui sistem pangan yang lebih kokoh, dan investasi besar-besaran dalam ketahanan pangan dan peningkatan nutrisi untuk semua orang, di mana pun mereka tinggal.” kata Guterres.
Guterres menegaskan, “Dengan tindakan kolektif dan komitmen untuk berubah, kita dapat memastikan bahwa setiap orang, di mana pun, memiliki akses ke kebutuhan manusia yang paling mendasar: pangan dan nutrisi.”
Baca laporan selengkapnya di sini.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah mempelajari ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di berbagai kota lintas Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkenalkan Naz pada masyarakat dan budaya yang beragam dan memperkaya perspektifnya. Dalam kehidupan profesionalnya, Naz memiliki passion dan pengalaman hampir satu dekade sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.