Perubahan Iklim Tingkatkan Frekuensi Kekeringan Kilat
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia mengalami berbagai bencana akibat cuaca yang semakin ekstrem. Gletser yang mencair, banjir, dan gelombang panas adalah beberapa bencana yang terjadi seiring dengan perubahan iklim. Baru-baru ini, sebuah penelitian menemukan bahwa perubahan iklim turut menyebabkan peningkatan frekuensi kekeringan kilat di berbagai belahan dunia.
Mengenal kekeringan kilat
Kekeringan umumnya mengacu pada periode kering yang berkepanjangan yang ditandai dengan kurangnya curah hujan hingga menyebabkan kekurangan air. Kekeringan berdampak terhadap pertanian, lingkungan, dan kesehatan penduduk. WHO menyatakan bahwa kekeringan menimbulkan risiko kesehatan seperti malnutrisi, penyakit menular, dan gangguan kesehatan mental.
Kekeringan biasanya terjadi dalam skala musiman, terutama pada musim kemarau dengan intensitas hujan yang sedikit. Di tengah iklim yang semakin sulit diprediksi, sebuah penelitian dari Natural Science Foundation of China oleh Xing Yuan dkk menemukan bahwa kekeringan mulai terjadi pada skala sub-musiman dengan lebih sering. Mereka disebut sebagai “kekeringan kilat” karena proses awal dan intensifikasi yang cepat dibandingkan dengan fenomena kekeringan pada umumya. Biasanya, kekeringan kilat berlangsung selama 30 hingga 45 hari, sedangkan kekeringan pada umumnya berlangsung selama 40 hingga 60 hari.
Suhu tinggi dan perubahan iklim
Kekeringan kilat biasanya terjadi di daerah lembab, seperti Eropa, Asia Utara, China selatan, dan Amazon. Kekeringan ini umumnya disebabkan oleh kombinasi defisit presipitasi yang besar dan evapotranspirasi yang sangat tinggi.
Evapotranspirasi adalah proses perpindahan air dari permukaan tanah ke atmosfer melalui evaporasi dan transpirasi. Saat suhu meningkat, laju penguapan juga akan meningkat. Kombinasi curah hujan minimum dan kebutuhan air atmosfer yang tinggi menyebabkan air tanah lebih cepat habis.
Lebih lanjut, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa seringnya terjadi kekeringan kilat dipengaruhi oleh faktor pendorong perubahan iklim yang berhubungan dengan manusia (antropogenik), seperti emisi karbon. Melalui simulasi, para peneliti menemukan bahwa faktor antropogenik berkontribusi 48% terhadap peningkatan rasio kekeringan kilat dan 39% terhadap peningkatan kecepatan kekeringan sub-musiman dibandingkan dengan faktor perubahan iklim alami.
Pemantauan dan pemahaman
Proses intensifikasi kekeringan yang cepat sangat berbahaya mengingat masyarakat dan ekosistem di daerah rawan kekeringan memiliki sedikit waktu untuk bersiap-siap menghadapi bencana. Kekeringan kilat juga dapat menyebabkan risiko kebakaran hutan dan krisis air. Untuk itu, pemantauan dan prediksi kekeringan merupakan hal yang krusial.
Penelitian tersebut ditutup dengan dengan saran untuk meningkatkan pemahaman kita tentang ketahanan dan kapasitas ekosistem dan masyarakat terhadap kekeringan kilat. Mengembangkan sistem peringatan dini dalam skala waktu singkat juga penting untuk mengurangi dampak dan mengelola risiko bencana.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli dari artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan Green Network Asia untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Madina adalah Asisten Manajer Program di Green Network Asia. Dia adalah lulusan Program Studi Sastra Inggris dari Universitas Indonesia dengan dua tahun pengalaman profesional dalam editorial, penelitian, dan penciptaan konten kreatif.