Laporan Kesenjangan Lahan dan Bagaimana Kita Dapat Mencegah Kondisi Bumi Memburuk

Foto: Tomas Eidsvold di Unsplash.
Lahan memegang peran penting dalam mengatasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi karbon. Banyak negara telah menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi karbon, salah satunya melalui perencanaan penggunaan lahan. Namun, sebuah laporan tentang kesenjangan lahan mengungkap bahwa pemerintah negara-negara di dunia mengandalkan jumlah lahan yang tidak realistis dalam janji mereka.
Masalah kesenjangan lahan
Laporan Kesenjangan Lahan menyoroti permintaan kumulatif untuk lahan dan perubahan penggunaan lahan untuk mengatasi perubahan iklim berdasarkan janji iklim yang diajukan oleh negara-negara tersebut ke UNFCCC. Laporan ini merupakan kerja sama 8 lembaga dan organisasi akademik, termasuk Universitas Griffith dan CIFOR.
Laporan tersebut menemukan ketimpangan antara total lahan yang direncanakan untuk penghilangan karbon dan ketersediaan dan kemampuan lahan secara riil. Total lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi janji negara-negara tersebut mencapai hampir 1,2 miliar hektare (ha). Lebih dari setengahnya (633 juta ha) membutuhkan perubahan tata guna lahan, yang berpotensi merusak produksi pangan dan kehidupan masyarakat sekitar. Selain itu, prosesnya juga akan memakan waktu lebih lama, waktu yang tidak boleh kita sia-siakan dalam upaya melawan perubahan iklim.
Di sisi lain, sisa lahan yang diperkirakan dibutuhkan (551 ha) akan melibatkan konservasi dan pemulihan ekosistem yang ada. Laporan tersebut menyatakan bahwa aktivitas ini menimbulkan ancaman yang lebih kecil bila diterapkan dengan langkah dan pertimbangan yang tepat untuk ketersediaan lahan, pelestarian keanekaragaman hayati, dan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.
Hak adat dan agroekologi
Kepemilikan lahan masyarakat adat menjadi salah satu fokus utama laporan ini. Dilaporkan bahwa negara-negara di dunia memberikan terlalu sedikit perhatian kepada masyarakat dan komunitas yang memiliki dan mengelola lahan yang terlibat dalam janji iklim mereka. Tak lebih dari 20% lahan yang secara formal diakui sebagai milik komunitas tertentu, membuat mereka rentan dalam menghadapi peningkatan permintaan lahan.
Sekitar 91% lahan yang dikelola oleh Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal menunjukkan kondisi sedang hingga baik, memberikan bukti nyata betapa besarnya peran mereka dalam konservasi dan pelestarian lingkungan. Karena itu, laporan tersebut menyarankan bahwa langkah yang paling efektif dan adil adalah memastikan bahwa Masyarakat Adat dan komunitas lokal mendapat kepemilikan dan kontrol yang sah dan efektif atas lahan mereka.
Poin lain yang dicatat dalam laporan tersebut adalah tentang efektivitas agroekologi dalam mengubah industri pertanian menuju pengurangan karbon. Praktik pertanian secara signifikan berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca global dan perubahan penggunaan lahan. Peternakan dan produksi beras, misalnya, menyumbang sekitar 36% emisi metana global. Konversi lahan untuk tujuan pertanian juga merupakan salah satu pendorong utama hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan ekosistem.
Untuk itu, laporan tersebut menganjurkan penerapan agroekologi. Laporan tersebut mendefinisikan agroekologi sebagai “pendekatan transdisipliner dan multi-aktor untuk merancang, mengelola, dan mengubah agroekosistem dan sistem pangan.” Agroekologi mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi, sosial, budaya, dan politik di wilayah tertentu, yang bertujuan untuk mencapai “kedaulatan, ketahanan sosio-ekologis, keadilan, dan kesejahteraan integral” bagi komunitas manusia dan ekosistem. Pemulihan kesehatan lahan, diversifikasi biologis pertanian, dan perlindungan dan penggunaan pengetahuan tradisional adalah beberapa contoh agroekologi.
Diperlukan tindakan lebih lanjut dan efektif
Rencana dan tindakan yang efektif sangat penting untuk mencegah kondisi bumi memburuk. Laporan tersebut ditutup dengan rekomendasi tentang restorasi dan perlindungan ekosistem, hak lahan masyarakat adat dan komunitas lokal, dan kerangka kebijakan agroekologi. Rekomendasi selengkapnya ada dalam laporan, dan di bawah ini adalah beberapa di antaranya:
- Memanfaatkan penghitungan karbon yang komprehensif dari semua stok dan aliran melalui penilaian yang tepat untuk mengisi kesenjangan dalam pelaporan dan mengungkap retensi karbon dan fungsi ekosistem lainnya dari perlindungan dan restorasi hutan yang lebih baik.
- Membuat pendekatan yang lebih holistik untuk pemecahan masalah dan kapasitas pertukaran lintas budaya melalui kolaborasi yang dipupuk oleh pembuat kebijakan lintas kementerian dan departemen serta penyelarasan dari organisasi masyarakat sipil.
- Memanfaatkan penelitian, kemitraan dan kolaborasi, dan pendanaan untuk fokus pada agroekologi, konservasi keanekaragaman hayati pertanian lokal, dan peningkatan penghidupan petani kecil, khususnya di negara berkembang.
Laporan lengkapnya dapat dibaca di sini.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli dari artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan kami untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Madina adalah Reporter & Peneliti In-House untuk Green Network Asia. Dia meliput Global, Asia Tenggara, Asia Timur, dan Australasia.