Sistem Peringatan Dini untuk Kesiapsiagaan Tsunami
Pada tahun 2004, gempa bumi bawah laut dengan kekuatan 9,1-9,3 Magnitudo mengguncang pantai utara Sumatera, Indonesia. Akibatnya serangkaian gelombang tsunami raksasa dengan ketinggian 30 meter menghantam pantai Samudra Hindia, menelan ratusan ribu korban jiwa.
Tragedi yang dikenal dengan gempa dan tsunami Samudra Hindia 2004 ini merupakan salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah, dengan perkiraan korban jiwa sebanyak 227.898 orang di 14 negara. Tragedi itu juga menjadi titik awal banyak inisiatif mitigasi tsunami di seluruh dunia.
Bahaya Tsunami
Tsunami adalah gelombang raksasa yang terjadi ketika perpindahan besar air terjadi di laut. Pemicu umumnya adalah gempa bumi, letusan gunung berapi, atau tanah longsor bawah laut. Tidak seperti gelombang biasa, gelombang tsunami bisa mencapai ketinggian 30 meter di atas permukaan laut dan sangat berbahaya ketika menghantam pantai.
Faktor tak terduga juga dapat menyebabkan tsunami yang mematikan. Ketika dipicu oleh bahaya bawah laut, air laut akan melesap ke sumbernya seolah-olah tersedot, menciptakan kesan seolah air sedang dangkal. Air kemudian akan kembali ke pantai dalam bentuk gelombang yang deras dan bergolak dengan kecepatan 32-48 km/jam setelah mendekati perairan dangkal di dekat daratan. Untuk tsunami yang sangat besar, ombaknya dapat menyapu apa saja dalam jarak satu kilometer dari pantai, termasuk masyarakat pesisir.
Menurut WHO, antara tahun 1998-2017, tsunami menyebabkan lebih dari 250.000 kematian secara global. Orang-orang yang tinggal di daerah pesisir dataran rendah dan Negara-negara Berkembang Pulau Kecil adalah yang paling rawan terhadap bencana laut yang ekstrem. Karena risiko tsunami diperparah oleh perubahan iklim, kita membutuhkan infrastruktur, sistem peringatan dini, dan pendidikan yang tangguh untuk mengurangi risiko bencana.
Kesiapsiagaan Tsunami di Asia-Pasifik
Melindungi masyarakat pesisir dari bencana dan bahaya permukaan laut ekstrem membutuhkan sistem peringatan dini yang komprehensif, efektif, dan multi-bahaya. Badan PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) mendefinisikan sistem peringatan dini sebagai “sistem terpadu pemantauan bahaya, prakiraan dan prediksi, penilaian risiko bencana, komunikasi dan sistem aktivitas kesiapsiagaan, dan proses yang memungkinkan individu, masyarakat, pemerintah, bisnis, dan lainnya untuk mengambil tindakan tepat waktu untuk mengurangi risiko bencana sebelum terjadi.”
Kunci sistem peringatan dini bukan untuk memprediksi kapan tsunami berikutnya akan terjadi, tetapi untuk menciptakan peringatan dengan memantau dan mendeteksi bencana yang dapat memicu tsunami. Sebagai daerah rawan bencana, sistem peringatan dini untuk semua orang menjadi sangat penting bagi Asia-Pasifik sebagai langkah adaptasi dan ketahanan guna mempercepat aksi iklim di kawasan tersebut.
Setelah Tsunami Samudra Hindia 2004, UNESCAP membentuk Dana Perwalian (Trust Fund) ESCAP untuk Kesiapsiagaan Tsunami, Bencana, dan Iklim untuk mendukung sistem peringatan dini melalui pendekatan multi-bahaya. Dana Perwalian berfokus pada penciptaan sistem peringatan dini yang efektif, berkelanjutan, dan end-to-end untuk bahaya pesisir dengan memperkuat kerja sama regional. Sistem Peringatan Tsunami Samudera Hindia, yang saat ini beroperasi di Australia, India, dan Indonesia, merupakan salah satu inisiatif yang didukung oleh Dana Perwalian, yang berkontribusi untuk menyelamatkan 1.000 jiwa per tahun selama 100 tahun ke depan.
Di sisi lain, UNESCO juga meluncurkan Proyek Tsunami untuk membantu sekolah-sekolah di Asia-Pasifik mempersiapkan siswanya menghadapi keadaan darurat tsunami, bekerja sama dengan Pemerintah Jepang. Proyek ini telah membantu 380 sekolah mengatur inisiatif tsunami mereka dan melatih 170.000 siswa, guru, dan administrator sekolah.
Sistem Peringatan Dini
Agar benar-benar efektif, sistem peringatan dini harus dapat menjangkau setiap lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah hingga masyarakat di seluruh dunia. Dengan demikian, inisiatif “Sistem Peringatan Dini untuk Semua” menjadi target lima tahun yang dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal PBB António Guterres pada Hari Meteorologi Sedunia pada Maret 2022.
“Peringatan dan tindakan dini dapat menyelamatkan nyawa. Untuk itu, hari ini saya umumkan PBB akan mempelopori aksi baru untuk memastikan setiap orang di Bumi dilindungi oleh sistem peringatan dini dalam waktu lima tahun,” kata Guterres.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), yang ditunjuk untuk memimpin inisiatif tersebut, menyatakan bahwa sistem peringatan dini adalah tindakan adaptasi iklim yang praktis dan layak yang menyelamatkan nyawa dan memberikan manfaat ekonomi. Namun, masih ada kesenjangan yang signifikan dalam penerapan sistem peringatan dini di negara-negara berkembang. Ketidakmampuan global untuk menerjemahkan peringatan dini menjadi tindakan juga menjadi hambatan.
Pada akhirnya, menciptakan upaya adaptasi iklim dan masyarakat yang tangguh terbukti sangat penting untuk menghadapi bencana terkait iklim. Membangun sistem peringatan dini yang komprehensif, inklusif, mudah diakses, dan berkelanjutan adalah kunci untuk memitigasi risiko bencana, terutama di daerah yang rawan.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli dari artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan Green Network Asia untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Madina adalah Asisten Manajer Program di Green Network Asia. Dia adalah lulusan Program Studi Sastra Inggris dari Universitas Indonesia dengan dua tahun pengalaman profesional dalam editorial, penelitian, dan penciptaan konten kreatif.