Melindungi Komodo yang Kini Terancam Punah

Seekor komodo di tepi pantai di Pulau Komodo. | Foto oleh Mitch Hodiono di Unsplash.
Komodo merupakan satwa endemik Indonesia yang dikenal luas oleh masyarakat dunia. Reptil raksasa ini berhabitat di tiga pulau utama kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) yang berada di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, yakni Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Padar.
Meski berstatus dilindungi, kehidupan komodo di TNK terus terganggu dari masa ke masa oleh kepentingan antroposentris. Dulu, hewan yang masih satu genus dengan biawak ini diburu untuk dijadikan objek penelitian oleh orang-orang Eropa. Kini, mereka hidup di pusaran bisnis pariwisata.
Terancam Punah
Pada Agustus 2021, Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) menetapkan komodo sebagai spesies yang Terancam Punah (Endangered). Sebelumnya, sejak 1996, komodo masih berstatus Rentan (Vulnerable). Pemanasan global dan kenaikan air laut turut menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup komodo, dan diprediksi akan mengurangi 30% populasi komodo dalam 45 tahun ke depan.
Selain krisis iklim, faktor manusia menjadi ancaman yang tidak kalah serius. Pembangunan infrastruktur Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) atau Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Labuan Bajo menjadi yang paling disorot karena mengancam keutuhan ekosistem komodo di TNK. Pada proyek wisata premium bertajuk “Jurassic Park” tersebut, pemerintah membangun infrastruktur berskala masif yang meliputi dermaga dan pengaman pantai, elevated deck, guest house, kolam satwa, dan museum.
“Saya kira semuanya harus dihitung dan ada rutenya. Target pertama Labuan Bajo 1 juta wisatawan sesuai kapasitas bandaranya,” kata Presiden Joko Widodo saat meresmikan penataan kawasan Pulau Rinca.
Ironi Wisata Premium
Pembangunan proyek wisata premium di kawasan TNK menciptakan ironi di tengah upaya konservasi yang telah dilakukan selama bertahun-tahun. Seperti diketahui, UNESCO menetapkan TNK sebagai Cagar Biosfer (Biosphere Reserve) sejak tahun 1977 dan Warisan Alam Dunia (Natural World Heritage Site) pada sejak 1991. TNK juga dinobatkan sebagai salah satu New 7 Wonders of Nature (Tujuh Keajaiban Dunia Baru) sejak 2012. Namun, proyek yang sedang digarap sejak beberapa tahun terakhir di TNK, yang didukung oleh Permen LHK Nomor P.48/Menhut-II/2010, menciptakan kontradiksi terhadap status-status tersebut.
Pada salah satu foto yang diunggah oleh Gregorius Afioma, seorang aktivis lingkungan di Labuan Bajo, terlihat bagaimana komodo berhadap-hadapan dengan sebuah truk pengangkut material proyek di Lembah Loh Buaya, Pulau Rinca. Padahal di lokasi TNK, terdapat tulisan “Please Keep Silent” yang berarti bahwa suara sekali pun diperhitungkan secara hati-hati di kawasan tersebut.
“Taman Nasional Komodo harus dilihat sebagai satu kesatuan ekosistem, bagaimana mungkin di Rinca dirancang bangunan yang semewah-mewahnya, sementara di Pulau Komodo dibuat seolah-olah harus alamiah, padahal kedua pulau itu sama-sama habitat komodo?” kata Gregorius.
Karena begitu mengkhawatirkan, UNESCO mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan proyek tersebut dan membuat revisi analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan menyerahkannya kepada Pusat Warisan Dunia paling lambat 1 Februari 2022 untuk diperiksa oleh Komite Warisan Dunia pada sesi ke-45. Namun, kritik dari berbagai elemen masyarakat dan teguran dari UNESCO tidak membuat pembangunan dihentikan.
“Kegiatan pengangkutan material pembangunan yang menggunakan alat berat harus dilakukan, karena tidak dimungkinkan menggunakan tenaga manusia. Penggunaan alat-alat berat seperti truk, ekskavator dan lain-lain, telah dilakukan dengan prinsip kehati-hatian,” kata Kepala Biro Humas KLHK Nunu Anugrah.
Membatasi Kuota Wisatawan
Jika pembangunan infrastruktur di TNK yang memiliki Outstanding Universal Value (OUV) dianggap tidak membahayakan komodo dan harus diselesaikan sesuai rencana pemerintah, maka jalan yang dapat ditempuh untuk melindungi komodo saat ini adalah dengan membuat kebijakan yang dapat meminimalisir ancaman terhadap kelestarian satwa langka tersebut. Salah satunya menyangkut dampak dari pariwisata.
Untuk menyelaraskan upaya konservasi dan pariwisata, pemerintah menetapkan pemberlakukan pembatasan kuota pengunjung di Taman Nasional Komodo, khususnya di kawasan konservasi (Pulau Komodo dan Pulau Padar). Hasil kajian Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) berbasis jasa ekosistem di Pulau Komodo dan Pulau Padar oleh Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), merekomendasikan bahwa jumlah pengunjung ideal per tahun ke Pulau Komodo adalah 219.000 wisatawan dan ke Pulau Padar 39.420 wisatawan atau sekitar 100 orang per waktu kunjungan.
“Pengaturan pengunjung dengan sistem pembatasan kuota pengunjung ini dimaksudkan untuk meminimalisir dampak negatif kegiatan wisata alam terhadap kelestarian populasi biawak Komodo dan satwa liar lainnya, mempertahankan kelestarian ekosistem di Pulau Komodo dan Pulau Padar khususnya, serta untuk menjaga kenyamanan dan keamanan pengunjung serta petugas selama beraktivitas di Taman Nasional Komodo,” kata Wakil Menteri LHK Alue Dohong.
Untuk mendukung penerapan kebijakan itu, pemerintah menaikkan tarif masuk khusus ke kawasan konservasi di TNK, yakni Pulau Komodo dan Pulau Padar, menjadi Rp3,75 juta yang berlaku mulai 1 Januari 2023. Sedangkan untuk masuk ke Pulau Rinca, tarifnya tetap sama seperti yang berlaku selama ini. Namun, yang lebih penting dari semua kebijakan yang telah dibuat adalah bahwa upaya perlindungan terhadap komodo dan habitatnya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, dengan tetap mempertimbangkan seluruh aspek yang melingkupinya.
“Kita juga ingin agar upaya konservasi dan upaya pemulihan ekonomi ini bisa dilakukan secara beriringan,” kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan Green Network Asia untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia.