Perbudakan Modern di Kapal Ikan
Ada anggapan yang beredar di masyarakat bahwa bekerja di kapal ikan memberikan prospek yang menjanjikan. Di media sosial dan di berbagai tempat, iklan lowongan kerja di kapal ikan berseliweran, dengan syarat yang relatif mudah—umumnya tidak menuntut pendidikan tinggi dan pengalaman—dan dengan iming-iming gaji yang tinggi.
Namun, kenyataannya, kita sering mendengar kabar menyedihkan mengenai nasib orang-orang yang bekerja di kapal-kapal ikan. Berita-berita bertajuk “Anak Buah Kapal (ABK) yang tidak digaji”, “ABK yang mengalami kekerasan”, hingga “penemuan mayat ABK” hampir selalu terdengar saban bulan dari berbagai penjuru. Mereka menjadi korban perdagangan manusia dan kerja paksa di tengah laut, dengan situasi yang sulit bagi mereka untuk menyelamatkan diri.
Perdagangan Manusia dan Kerja Paksa
Perdagangan manusia dan kerja paksa di kapal ikan merupakan dua bentuk perbudakan modern hari ini. Masih segar di ingatan kita kabar tentang ABK yang melompat dari kapal Qian Yua Yu 901 saat berlayar di Selat Malaka pada 2020. Mereka nekat melompat ke laut karena tidak tahan dengan intimidasi dan kekerasan yang mereka terima selama bekerja di kapal. Selamat dari maut, mereka menceritakan bagaimana praktik tipu daya, kerja paksa di bawah ancaman dan intimidasi, serta gaji yang tidak dibayar yang mereka alami selama bekerja di kapal.
Kedua ABK itu direkrut oleh PT Duta Putra Group melalui agen penyalur berinisial SYF. Mereka dijanjikan akan dipekerjakan di sebuah perusahaan Korea Selatan dengan gaji sebesar Rp 25 juta per bulan. Sebagai syaratnya, mereka harus membayar masing-masing Rp 40 juta dan Rp 45 juta kepada SYF. Alih-alih bekerja di perusahaan Korea Selatan seperti yang mereka andaikan, mereka justru dijadikan ABK di kapal penangkap ikan China dan diperlakukan dengan buruk.
Apa yang dialami oleh dua ABK tersebut merepresentasikan pola umum praktik perdagangan orang dan kerja paksa di industri perikanan. Laporan International Organisation for Migration (IOM) menyebut bahwa para pelaku umumnya menerapkan pola demikian dengan kendali-kendali sebagai berikut:
- Tipu daya sejak awal yang menghalangi para korban untuk mengetahui situasi pekerjaan yang sebenarnya.
- Ancaman-ancaman kekerasan, umumnya berupa penyiksaan fisik dan psikologis saat sudah berada di kapal.
- Kekerasan dalam bentuk kurungan fisik dan penyitaan dokumen yang membatasi kebebasan bergerak korban.
- Jeratan utang yang menjebak para korban.
Pangkal Perbudakan
Ceritanya panjang untuk mengurai bagaimana fenomena perbudakan modern di kapal ikan bisa berlangsung hari ini. Merujuk laporan ILO berjudul “Caught at Sea, Forced Labour and Trafficking in Fisheries”, fenomena ini berpangkal dari permintaan ikan dunia yang terus meningkat yang direspons dengan penangkapan ikan besar-besaran oleh para operator perikanan. Hal tersebut berdampak pada penurunan populasi ikan, terutama di laut dekat.
Kondisi tersebut membuat nelayan-nelayan yang semula menangkap ikan secara mandiri dengan kapal kecil, beralih menjadi awak-awak kapal besar. Di sisi lain, para operator penangkapan ikan membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah yang banyak. Dan pada saat yang sama, jumlah tenaga kerja di negara-negara berkembang di kawasan Asia meningkat. Untuk menekan biaya operasi, para operator penangkapan ikan menekan upah para pekerja untuk tetap mendapatkan margin keuntungan yang besar dan membuat harga ikan mereka di pasaran lebih kompetitif.
Korban Tidak Berdaya
National Fishers Center mencatat setidaknya 90 kasus aduan dengan jumlah 280 korban kurun 1 Oktober 2019 hingga 27 Oktober 2022. Dari berbagai jenis kasus yang dilaporkan, Gaji Tidak Dibayar menjadi yang terbanyak. Selain itu, para korban juga tidak mendapatkan makanan dan minuman serta fasilitas kesehatan yang layak selama bekerja di atas kapal.
International Labour Organization (ILO) menyebut “Para tenaga kerja penangkapan ikan merupakan yang paling dieksploitasi dibandingkan dengan sektor-sektor lain.” Para korban tidak berdaya karena tidak ada jalan untuk meloloskan diri ketika mereka berada di tengah laut. “Kami selalu berpikir untuk melarikan diri, namun tidak ada jalan. Kami tidak berdaya. Laut sendiri menjadi penjara bagi kami,” kata salah seorang korban kepada New York Times.
Laporan Tahunan Perdagangan Orang 2022 mengungkap bahwa beberapa kapal penangkap ikan berbendera China, Korea, dan Taiwan memaksa pekerja Indonesia untuk tetap berada di kapal dan bekerja hingga kontrak mereka habis sampai perusahaan mendapatkan pekerja pengganti. Beberapa pelaku berjanji untuk mengirim langsung upah pekerja ke keluarga mereka, tetapi setelah beberapa bulan di laut, banyak pekerja mendapati bahwa upah mereka belum dibayarkan oleh pelaku.
Rekomendasi
Dari berbagai indikator dan data yang tercatat dalam laporan tersebut, Pemerintah Indonesia dinilai belum memenuhi standar minimum pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Beberapa rekomendasi yang diprioritaskan untuk mengatasi perdagangan orang, khususnya di kapal penangkap ikan, adalah:
- Mengembangkan dan melaksanakan orientasi dan pelatihan wajib bagi ABK perikanan sebelum keberangkatan dan setelah kedatangan untuk menyampaikan informasi hak-hak pekerja dan keselamatan di laut, serta memastikan bahwa biaya orientasi dan pelatihan ini ditanggung oleh pemberi kerja.
- Meningkatkan upaya efektif untuk mengawasi agen-agen perekrutan tenaga kerja, termasuk pada sektor perikanan, dan menindak badan-badan usaha yang terbukti melakukan tindakan ilegal dan berkontribusi pada praktik kerja paksa, termasuk membebankan biaya penempatan, praktik penipuan perekrutan, pengalihan kontrak, dan pemalsuan dokumen.
- Meningkatkan sumber daya Gugus Tugas PP TPPO dan meningkatkan koordinasi dengan seluruh kementerian.
- Merampungkan dan melaksanakan Rencana Aksi Nasional pemberantasan TPPO.
- Membentuk sistem pengumpulan data untuk menelusuri upaya-upaya pemberantasan TPPO di seluruh tingkat penegakan hukum.
- Meningkatkan kesadaran para pemimpin desa akan tren dan kerawanan TPPO.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan Green Network Asia untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.