Meningkatkan Upaya Penghapusan Pekerja Anak di Indonesia
Anak-anak adalah harapan bagi masa depan dunia. Mereka adalah sumber daya manusia yang akan meneruskan pembangunan yang telah kita kerjakan hari ini. Melindungi anak-anak, oleh karenanya, adalah bagian integral dari upaya membangun peradaban yang lebih baik sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Sayangnya, sampai hari ini, anak-anak masih belum sepenuhnya terlindungi. Kekerasan, praktik perkawinan anak, kurangnya akses pendidikan, dan pekerja anak, adalah sederet masalah yang masih membayangi anak-anak. Untuk persoalan pekerja anak, angkanya tidak kalah serius dibandingkan tiga masalah lainnya.
Menurut laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan UNICEF, jumlah pekerja anak di seluruh dunia mencapai 160 juta anak pada 2021, meningkat 8,4 juta dalam kurun 2016-2020. Sementara di Indonesia, terdapat 940 ribu pekerja anak usia antara 10-17 tahun pada tahun 2021.
Masalah Utama Pekerja Anak
Laporan ILO-UNICEF berjudul ‘Pekerja Anak: Estimasi Global 2020, Tren, dan Langkah ke Depan’ mengungkap beberapa masalah utama menyangkut pekerja anak, antara lain:
- Sebanyak 70% (112 juta) pekerja anak bekerja di sektor pertanian, diikuti sektor jasa 20% (31,4 juta), dan sektor industri 10% (16,5 juta).
- Hampir 28% anak berusia 5-11 tahun dan 35% anak berusia 12-14 tahun yang menjadi pekerja anak, merupakan anak yang tidak/putus sekolah.
- Mayoritas pekerja anak berada di daerah pedesaan (14%), hampir tiga kali lebih tinggi dibanding di daerah perkotaan (5%).
Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak-anak berusia kurang dari 18 tahun. Namun, kenyataannya masih banyak anak yang dipekerjakan di berbagai sektor. Kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, terbatasnya pemantauan dan pengawasan terhadap praktik pekerja anak, kurangnya fasilitas untuk anak-anak, dan tingginya angka putus sekolah merupakan faktor umum yang mendorong keberadaan pekerja anak.
Di samping itu, Indonesia juga menghadapi tantangan lain dalam upaya penghapusan pekerja anak, antara lain:
- Data dan pembaruan informasi pekerja anak yang belum terintegrasi.
- Dihapuskannya Komite Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA) pada 2014.
- Kurangnya kebijakan yang memprioritaskan penghapusan pekerja anak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
- Pandemi COVID-19 yang memperburuk kondisi pekerja anak.
“Kemiskinan yang meningkat membuat anak-anak lebih rentan memasuki dunia kerja untuk membantu menghidupi keluarga mereka. Ketidakberdayaan ekonomi orang tua dalam memenuhi kebutuhan keluarga memaksa anak-anak terlibat dalam pekerjaan yang membahayakan atau bahkan menjerumuskan mereka ke dalam Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA) yang sangat merugikan keselamatan, kesehatan, dan tumbuh kembang anak,” ujar Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah.
Langkah yang Telah Dilakukan
Pemerintah meluncurkan Peta Jalan Bebas Pekerja Anak 2022 dengan strategi berupa evaluasi pelaksanaan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan BPTA selama 10 tahun, menetapkan prioritas kebijakan dan program, serta mengintegrasikan peta jalan dalam Rencana Pembangunan Daerah. Melalui Kementerian Ketenagakerjaan, pemerintah telah melakukan langkah-langkah berikut:
- Meningkatkan pemahaman dan kesadaran melalui sosialisasi kepada pelaku usaha dan masyarakat tentang pemenuhan hak anak, pekerja anak, dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (BPTA).
- Melakukan upaya pencegahan dan penghapusan pekerja anak dari BPTA melalui berbagai program, antara lain menetapkan Zona/Kawasan Bebas Pekerja Anak di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur; serta Kampanye Menentang Pekerja Anak.
- Pada 2008-2020, melaksanakan Program Pengurangan Pekerja Anak. Program ini telah menarik pekerja anak dari tempat kerja sebanyak 143.456 anak dari 1,5 juta pekerja anak berumur 10-17 tahun, dan mengembalikan mereka ke lingkungan pendidikan.
- Penguatan kapasitas penegak hukum norma Pekerja Anak dan BPTA melalui perluasan pendidikan dan pelatihan, seperti bimtek pengawasan norma kerja anak.
- Pelaksanaan kebijakan untuk pencegahan dan penanggulangan Pekerja Anak dan BPTA baik secara pre-emptif, preventif, dan represif oleh Pengawas Ketenagakerjaan melalui sosialisasi kepada stakeholder, dan pemeriksaan ke perusahaan yang diduga mempekerjakan anak dan penyidikan.
Pada saat yang sama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyokong langkah-langkah tersebut dengan menerapkan sejumlah strategi, antara lain:
- Mengembangkan basis data pekerja anak.
- Memperkuat koordinasi dan kolaborasi antara pemangku kepentingan terkait pekerja anak.
- Mengarusutamakan isu pekerja anak dalam kebijakan dan program perlindungan khusus anak di kabupaten/kota.
- Mengembangkan model desa ramah perempuan dan peduli anak sebagai pendekatan untuk pencegahan pekerja anak.
- Mengembangkan pemantauan dan remediasi pekerja anak.
- Mengoordinasikan penanggulangan pekerja anak pada 4 sektor prioritas yakni pertanian, perikanan, jasa, dan pariwisata.
Seluruh strategi yang telah dijalankan mampu menurunkan angka pekerja anak pada tahun 2021. Akan tetapi, masih tingginya jumlah pekerja anak sampai hari ini menyadarkan kita bahwa tugas untuk menghapus pekerja anak belum berakhir.
“Kita perlu menetapkan tujuan baru untuk peta jalan yang dapat terus mengurangi insiden pekerja anak. PBB, ILO dan mitra terkait terus berupaya meningkatkan aksi untuk mencapai target 8.7 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan,” kata Valerie Julliand, Kepala Perwakilan PBB untuk Indonesia.
Meningkatkan Upaya
ILO dalam laporannya menyerukan lima hal berikut untuk meningkatkan upaya dan memperkuat strategi penghapusan pekerja anak:
- Perlindungan sosial yang memadai untuk semua, termasuk tunjangan anak secara universal.
- Peningkatan anggaran untuk pendidikan berkualitas dan mengembalikan semua anak ke sekolah, termasuk anak-anak yang putus sekolah saat Pandemi COVID-19.
- Promosi pekerjaan yang layak bagi orang dewasa, sehingga keluarga tidak perlu menggunakan anak-anak untuk membantu menghasilkan pendapatan keluarga.
- Pengakhiran norma dan diskriminasi gender berbahaya yang memengaruhi pekerja anak.
- Investasi dalam sistem perlindungan anak, pembangunan pertanian, pelayanan publik pedesaan, infrastruktur dan mata pencarian.
“Ini adalah waktu untuk memperbarui komitmen dan energi untuk memutus siklus kemiskinan dan pekerja anak. Oleh karena itu, saya ingin mengapresiasi komitmen yang ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia dan upaya yang telah dilakukan untuk mencapai masa depan tanpa pekerja anak di negara ini,” kata Michiko Miyamoto, Direktur ILO di Indonesia.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan Green Network Asia untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.