ARUNA: Startup Perikanan yang Memberdayakan Nelayan

Para pekerja perempuan Aruna mengeluarkan daging kepiting dari cangkangnya. | Foto oleh Aruna.
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil ikan laut terbesar di dunia. Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), hasil tangkapan laut Indonesia pada 2020 mencapai 6,43 juta ton. Indonesia hanya kalah dari China yang tangkapannya mencapai 11,77 juta ton.
Potensi tersebut digarap oleh Utari Octavianty, seorang anak muda yang terlahir dari kampung nelayan di Balikpapan, Kalimantan Timur. Bersama dua sahabatnya, yakni Farid Naufal Aslam dan Indraka Fadhlillah, pada tahun 2016 ia mendirikan Aruna, sebuah startup e-commerce perikanan yang berkomitmen untuk meringkas rantai pasok produk perikanan.
Bekerja sama dengan komunitas pesisir–termasuk para perempuan–dan para nelayan untuk menghasilkan tangkapan ikan dengan cara yang ramah lingkungan, pada tahun 2020, Utari dan dua sahabatnya itu terpilih menjadi salah satu tokoh Forbes 30 Under-30 2020.
Kini, Aruna telah merangkul 36.000 nelayan di 150 lokasi di Indonesia dan membangun 40 pusat distribusi serta lebih dari 70 Aruna Hub. Startup ini juga telah menciptakan lebih dari 5.000 lapangan pekerjaan di daerah terpencil dan mendistribusikan produk hasil tangkapan laut ke 8 negara sebanyak 44 juta Kg pada 2021.
Ketika pandemi COVID-19 melanda dan banyak bisnis yang bertumbangan, pertumbuhan Aruna justru meningkat tujuh kali lipat. Dan pada tahun 2022, Aruna mendapat dukungan dana Seri A dari para investor sebesar $65 juta atau sekitar Rp935 miliar.
Atas nama Green Network, saya mewawancarai Utari melalui WhatsApp kurun 2-7 September 2022. Kami berbincang perihal perjalanan Aruna hingga sampai di titik seperti sekarang.
Apa yang mengilhami Anda mendirikan Aruna?
Pendirian Aruna berangkat dari pengalaman hidup saya yang berasal dari keluarga nelayan. Paman saya seorang nelayan dan orang tua saya menjual alat tangkap untuk nelayan. Saya menyaksikan bagaimana praktik-praktik tidak efisien berlangsung selama bertahun-tahun. Praktik tidak efisien itu misalnya seperti pencatatan data transaksi penjualan ikan yang tidak sistematis, permainan harga yang tidak pasti, dan kualitas hasil laut yang kurang segar ketika sampai ke konsumen.
Tekad saya mendirikan Aruna semakin mantap ketika saya mengalami kesulitan dalam menemukan makanan laut (seafood) yang segar saat saya kuliah di Bandung. Kalaupun ada, harganya hampir dipastikan mahal.
Saya melihat, infrastruktur perikanan yang belum memadai membuat jalur distribusi ikan dengan tidak mengorbankan kualitasnya menjadi sulit terwujud. Akibatnya, ikan segar berkualitas dijual dengan harga tinggi, terutama di daerah yang bukan penghasil ikan karena memerlukan perawatan khusus dalam distribusinya.
Bagaimana modal awal pendirian Aruna?
Kami ikut kompetisi Hackathon Merdeka untuk mendapatkan modal dan berhasil menjadi juara. Kami mengembangkan ERP data untuk merapikan pencatatan data di lapangan serta kami membangun pabrik—Aruna Hub—untuk menjaga kesegaran kualitas hasil tangkapan nelayan..
Bagaimana tantangan di awal pendirian Aruna?
Saya tidak memungkiri jalan terjal yang kami hadapi di awal pendirian Aruna. Banyak kesulitan yang kami hadapi dalam tahap ide karena kami harus menemukan bentuk yang ideal dan bisa diterima oleh komunitas nelayan.
Tantangan yang paling sering kami hadapi di lapangan lebih ke proses adaptasi teknologi untuk nelayan Aruna. Sebagai startup digital, Aruna mengusung teknologi yang menuntut koneksi internet dan ponsel pintar. Untuk mengatasinya, kami menempatkan tim khusus bernama Local Hero yang merupakan perpanjangan tangan kami ke nelayan untuk membantu proses adaptasi teknologi ini.
Selain itu, tantangan lainnya yang dihadapi Aruna berasal dari komunitas nelayan itu sendiri. Sebagai startup teknologi, awalnya kami dianggap asing oleh mereka karena kami datang dengan model manajemen yang berbeda dari apa yang biasa mereka lakukan. Bersyukur, setelah melakukan berbagai upaya pendekatan, para nelayan bisa percaya dan menerima kehadiran Aruna. Untuk itu kami akan berusaha bertanggung jawab untuk membalas kepercayaan mereka hingga sekarang dan seterusnya.
Kami memang telah menggandeng 36.000 nelayan di 150 titik lokasi di wilayah Indonesia, tapi pencapaian tersebut belum cukup, karena kami tahu nelayan di Indonesia jumlahnya besar dan jumlah yang sekarang ini masih belum menyeluruh. Kami akan terus menjaring dan merangkul lebih banyak nelayan di seluruh wilayah Indonesia.
Ke mana saja produk Aruna dipasarkan?
Fokus pasar kami lebih didominasi ekspor, dengan sebagian besar ke negara di Amerika Utara, Asia Timur, dan Timur Tengah. Di Aruna, kami memperbanyak ekspansi pasar, tidak hanya fokus pada satu bidang market saja seperti retail, tetapi juga sektor food service, hotel, termasuk importir.
Ekspansi pasar domestik juga kami lakukan karena sejalan dengan seruan presiden RI untuk makan ikan dan sejalan juga dengan fokus Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Aruna bekerja sama dengan berbagai pihak. Siapa saja?
Kami bekerjasama dengan semua pihak yang ingin memajukan ekosistem laut dan perikanan Indonesia. Kami sangat terbuka dengan pihak mana pun, dan juga berbagai industri yang bisa menghasilkan produk-produk berkualitas. Misalnya, pabrik-pabrik yang ingin meningkatkan produktivitasnya bisa bekerjasama dengan Aruna. Kami akan menyediakan teknologi yang mendukung sehingga rantai pasok di bidang perikanan akan menjadi lebih efisien dan efektif.
Apa bedanya antara nelayan yang bekerjasama dengan Aruna dengan nelayan yang tidak?
Pastinya ada perbedaan. Misalnya, untuk nelayan Aruna, kami sudah menjamin selalu siap untuk membeli ikan tangkapan mereka yang berkualitas dengan harga yang lebih baik dan adil–tidak dengan harga yang dimain-mainkan oleh tengkulak, misalnya. Dengan timbangan yang adil, serta pangsa pasar yang tentunya sudah ada.
Selain itu, nelayan kami juga terus mendapatkan pelatihan peningkatan skil dan kemampuan, misalnya pelatihan financial literacy. Untuk pendampingan semacam ini, kami memiliki Yayasan Maritim yang merupakan bagian dari Aruna. Merekalah yang bergerak dalam hal pembinaan dan pendampingan kompetensi nelayan Aruna.
Fokus kami adalah menjadikan mereka melek digital dan bank applicable. Kami juga membantu nelayan kami untuk mendapatkan berbagai akses seperti keuangan, kesehatan dan akses-akses lainnya.
Aruna juga membuat sistem yang bisa membantu para nelayan untuk terhubung langsung ke konsumen melalui teknologi digital, seperti Aruna Heroes–sebuah aplikasi profiling Nelayan Aruna. Aruna membuka akses bagi Nelayan Aruna untuk dapat menuju ke pasar yang lebih luas, sehingga mereka bisa mendapat penghasilan yang lebih besar.
Kami juga memberikan sosialisasi dan edukasi kepada Nelayan Aruna, serta mengharuskan mereka untuk menangkap ikan dengan standar tertentu. Misalnya menangkap ikan di wilayah yang tidak overfishing, sesuai dengan data yang disampaikan oleh pihak berwenang di sektor kelautan dan perikanan, menggunakan alat tangkap ramah lingkungan dan tidak menggunakan alat peledak atau jaring yang merusak terumbu karang, serta mengembalikan hasil tangkapan yang belum sesuai ukuran. Bayi-bayi ikan dan kepiting harus cepat-cepat dikembalikan ke laut.
Di samping itu, Aruna juga mengembangkan program penanaman mangrove bersama Kementerian Perdagangan dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Dan kami membangun Zero Waste Hub, berupa posko pengolahan limbah cangkang rajungan untuk dijadikan tepung dan pakan ikan bernilai jual tinggi.
Teknologi adalah ruh dari Aruna, bagaimana pemanfaatan teknologi diterapkan tanpa mengorbankan peran manusia?
Kami percaya bahwa bisnis yang baik adalah bisnis yang berjalan seimbang antara people, planet dan profit. Kami mengadopsi perspektif ini dalam menjalankan bisnis yang berkelanjutan di Aruna.
Tentunya peran people atau SDM—kami menyebutnya dengan istilah Nakama Aruna—sangatlah penting. Teknologi tanpa adanya sentuhan manusia tidak akan berjalan mulus. Terlebih lagi bagi bisnis kami yang terintegrasi dari sektor hulu hingga hilir dengan bantuan teknologi.
Bagi kami, salah satu people yang penting adalah Local Heroes kami. Mereka adalah Nakama Aruna yang menjadi perpanjangan tangan kami untuk menjalankan teknologi Aruna di lapangan, ke nelayan Aruna pastinya.
Apakah Aruna sudah menjawab tantangan mengenai persoalan gizi dan ketahanan pangan Indonesia?
Mengkonsumsi ikan tentu dapat mendukung ketahanan pangan di Indonesia. Patut diingat bahwa wilayah negara kita sebagian besar adalah lautan. Akan sangat menguntungkan jika kita mulai melihat sektor kelautan dan perikanan sebagai sumber pangan alternatif di samping pertanian.
Sebagai gambaran, dalam produk perikanan ada kandungan Omega-3 yang sangat esensial dan tidak bisa diproduksi oleh tubuh kita. Ada juga vitamin D yang berguna untuk mendukung sistem kekebalan tubuh, kesehatan tulang, dan lain-lain.
Pesan Aruna untuk pemerintah menyangkut perikanan Indonesia?
Buatlah kebijakan yang dapat mendukung produktivitas nelayan dan masyarakat pesisir sehingga mereka dapat lebih maju. Misalnya akses pendanaan, pengembangan pasar produk perikanan, serta diversifikasi usaha. Ini tentunya akan membantu mengoptimalkan perikanan Indonesia serta mendorong kesejahteraan hidup nelayan.
Kita harus ingat bahwa Indonesia adalah produsen perikanan terbesar kedua di dunia menurut Bank Dunia. Sektor ini menyumbangkan sekitar US$4,1 miliar untuk pendapatan ekspor tahunan dan mendukung lebih dari 7 juta pekerjaan. Sudah saatnya pemerintah lebih serius menggarap potensi ini dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan Bumi demi masa depan yang lebih baik.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan kami untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network. Ia bertanggung jawab sebagai Editor untuk Green Network ID.