Meningkatkan Partisipasi Perempuan untuk Transisi Energi yang Berkeadilan

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Transisi energi yang berkeadilan dan inklusif masih lebih sering terdengar sebagai jargon ketimbang realitas di lapangan. Implementasi transisi energi yang berkeadilan masih kerap terhambat oleh kebijakan yang belum berpihak kepada kelompok rentan, termasuk perempuan.
Sebagai contoh, pemerintah telah mengesahkan Peraturan tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan menuju Net Zero Emission 2060. Namun, tidak ada satu pun kata terkait kesetaraan gender atau partisipasi perempuan tertulis secara eksplisit dalam peraturan tersebut. Meskipun istilah just energy transition muncul dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c, tetapi itu tidak cukup kuat untuk menegaskan penegakan kesetaraan gender, dan bahkan rawan untuk ditafsirkan secara parsial.
Kerentanan Perempuan
Selama ini, isu energi kerap dianggap tidak relevan dengan isu perempuan. Padahal, perempuan termasuk pengguna utama energi dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari menyalakan perangkat elektronik untuk bekerja, memasak, hingga mengelola pencahayaan di rumah. Perempuan sebagai kelompok rentan sering menjadi pihak paling terdampak oleh aktivitas terkait energi, mulai dari tahap eksplorasi, produksi, hingga konsumsi.
Contohnya, proyek geotermal di sejumlah daerah di Indonesia membawa dampak signifikan pada aspek ekologi, ekonomi, dan sosiokultural perempuan. Dalam dimensi sosial, perempuan menjadi kelompok paling terdampak akibat penurunan daya dukung lingkungan, pencemaran air bersih, hilangnya sumber penghidupan dari lahan pertanian maupun perkebunan akibat alih fungsi lahan untuk proyek geotermal, serta terbatasnya akses pendidikan dan kesehatan yang terjangkau. Hal ini terjadi karena dalam banyak masyarakat, perempuan memikul tanggung jawab utama dalam pengelolaan kebutuhan dasar rumah tangga, seperti menyediakan air bersih, memasak, merawat anak dan lansia, serta menjaga kesehatan keluarga.
Kondisi serupa terjadi dalam kebijakan hilirisasi nikel yang diklaim mendukung transisi energi melalui pengembangan industri kendaraan listrik. Alih-alih menghadirkan keadilan gender dalam transisi energi, pembangunan kawasan industri nikel telah memperberat beban ekologi bagi perempuan. Di Morowali, Sulawesi Tengah, perempuan menghadapi dampak langsung dari proyek hilirisasi nikel seperti kesulitan mendapatkan akses air bersih hingga harus membeli air bersih seharga Rp20.000 per liter. Selain itu, hidup mereka semakin sulit karena sebagai nelayan, hasil tangkapan laut mereka menurun akibat peningkatan suhu air laut hingga 31,4℃ yang dipicu oleh aktivitas industri.
Partisipasi Perempuan sebagai Katalisator Transisi Energi
Minimnya perspektif gender dalam kebijakan transisi energi menegaskan bahwa pemerintah belum menempatkan perempuan sebagai subjek aktif dalam transisi energi. Selama ini, perempuan kerap dikecualikan dari forum dan musyawarah terkait proyek transisi energi, sehingga memiliki ruang yang terbatas untuk menyuarakan kepentingannya. Survei Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) tahun 2023 menemukan bahwa 90% perempuan dari daerah luar Pulau Jawa belum pernah berpartisipasi dalam kegiatan atau gerakan terkait energi terbarukan di komunitas. Padahal, hasil studi dari IRENA dan IEA menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam proyek energi bersih menghasilkan solusi yang lebih inklusif dan berdampak sosial lebih luas.
Salah satu bukti bahwa keterlibatan perempuan dapat menciptakan dampak yang bermakna dalam transisi energi dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh Solar Chapter, organisasi yang dipimpin perempuan yang telah membangun 24 proyek penyediaan akses air bersih dengan teknologi pompa air bertenaga surya di Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain mengatasi krisis air, inisiatif mereka juga mengurangi beban domestik dan membuka peluang ekonomi bagi perempuan. Dengan akses air bersih, perempuan dapat berkebun, menjual hasil panen, meningkatkan pendapatan keluarga, dan bahkan mendukung pendidikan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Ketika diberi ruang dan kesempatan, perempuan terbukti mampu menjadi penggerak utama transisi energi yang adil.
Penelitian CELIOS tahun 2024 pada lebih dari 84.000 desa juga membuktikan bahwa semakin tinggi keterlibatan aktif perempuan dalam kegiatan komunitas terkait energi, semakin tinggi pula kesiapan suatu wilayah dalam menjalankan transisi energi. Hal ini menegaskan bahwa keterlibatan perempuan bukan hanya soal keadilan, tapi juga upaya percepatan.
Kebijakan Inklusif sebagai Fondasi
Demi mencapai transisi energi yang berkeadilan, meningkatkan partisipasi perempuan adalah langkah fundamental yang sangat penting. Dalam hal ini, kebijakan menjadi salah satu aspek paling penting.
Namun, Laporan Tahunan IESR menunjukkan bahwa kebijakan secara konsisten menjadi titik paling lemah. Lemahnya dukungan politik dan regulasi, serta ketidakselarasan antara Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), telah menghambat kemajuan transisi energi bersih. Gagalnya pencapaian target bauran EBT, yang hingga akhir 2024 baru mencapai 14,68% dari target yang seharusnya 19,5%, mencerminkan lemahnya eksekusi kebijakan yang berpihak pada energi bersih.
Kebijakan bagaikan kompas dalam menentukan arah dan keberhasilan transisi energi di Indonesia. Kebijakan dapat meningkatkan iklim investasi, mendorong partisipasi dan kolaborasi, serta mempercepat transisi energi. Namun, tanpa kebijakan yang inklusif yang menjamin partisipasi aktif perempuan, ambisi transisi energi beresiko hanya menjadi sekadar ilusi. Misalnya, di Nepal dan India, program energi terbarukan yang melibatkan perempuan sebagai teknisi surya dan agen komunitas, berhasil meningkatkan akses energi sekaligus memberdayakan ekonomi lokal. Indonesia bisa mengadopsi pendekatan serupa melalui kebijakan afirmatif, seperti pelibatan partisipasi perempuan dalam pelatihan energi bersih, insentif bagi koperasi energi berbasis komunitas perempuan, atau penyusunan kebijakan energi yang melibatkan organisasi perempuan sejak tahap perencanaan.
Untuk itu, diperlukan kolaborasi multipihak—mulai dari pemerintah, pelaku industri, dan organisasi masyarakat sipil—untuk merumuskan kebijakan yang lebih inklusif, menginisiasi program edukasi yang inovatif, serta memperkuat dukungan bagi perempuan agar lebih partisipatif dalam upaya transisi energi. Pemerintah harus memperkuat perspektif yang responsif gender dalam perumusan kebijakan energi serta memastikan kerangka hukum yang mendukung keadilan gender.
Literasi Energi sebagai Pilar
Jika kebijakan yang inklusif menjadi pondasi dalam upaya transisi energi berkeadilan, maka literasi energi bagi perempuan adalah salah satu pilar penyangga untuk memastikan partisipasi aktif perempuan. Perlu adanya program literasi energi berbasis komunitas yang menjangkau perempuan—terutama di desa dan wilayah terpencil—agar mereka tidak sekadar menjadi penerima manfaat, tetapi juga aktor utama dalam mendorong energi bersih yang adil dan berkelanjutan. Literasi energi mencakup pemahaman, sikap, dan perilaku individu terhadap energi yang semuanya berperan penting dalam membentuk kesadaran dan keputusan sehari-hari terkait energi. Rendahnya literasi energi di masyarakat, khususnya perempuan, adalah hambatan besar dalam mewujudkan transisi energi yang inklusif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, pengembangan kapasitas dan peningkatan literasi energi bagi perempuan, misalnya dengan mendirikan pusat pelatihan berbasis komunitas, harus menjadi salah satu strategi utama.
Editor: Abul Muamar

Terima kasih telah membaca!
Berlangganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Nisa adalah anggota Women in Energy Indonesia, sebuah komunitas yang berfokus pada isu energi terbarukan dan pemberdayaan perempuan. Lulusan Teknik Lingkungan dari UIN Sunan Ampel Surabaya ini juga merupakan anggota komunitas Ecodeen, yang berfokus pada edukasi kesadaran lingkungan dan gaya hidup ramah lingkungan berbasis nilai-nilai Islam.