Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Beriklan
  • GNA Internasional
  • Jadi Member
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Akar Rumput
  • Muda
  • Siaran Pers
  • Corporate Sustainability
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Upaya Penyintas Kusta di Singkawang Lawan Stigma dan Diskriminasi dengan Ecoprint

Di Liposos, Kota Singkawang, komunitas penyintas kusta melawan stigma dan diskriminasi dengan membuat kerajinan ecoprint.
Oleh Agung Bukit
1 Januari 2025
dua orang menaruh daun-daun hijau di atas kain putih untuk membuat ecoprint

Dua penyintas kusta di Desa Liposos sedang membuat ecoprint dengan daun. | Foto: Dokumentasi KPKNL Singkawang.

Kusta telah menjadi salah satu penyakit tertua di dunia yang merenggut banyak nyawa. Meski ilmu pengetahuan dan dunia medis telah berkembang pesat dan menjauhkan banyak orang dari penyakit ini, banyak penderita dan penyintas kusta yang mengalami diskriminasi dan mendapat stigma buruk di tengah masyarakat, sehingga menambah tekanan hidup yang mereka hadapi. Di Desa Liposos, tepatnya di Kelurahan Sijangkung, Kota Singkawang, Kalimantan Barat, komunitas penyintas kusta mencoba bertahan hidup dan melawan stigma masyarakat dengan membuat kerajinan ecoprint.

Stigma dan Diskriminasi terhadap Penyintas Kusta

Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang pada tingkat tertentu memaksa pasien kehilangan anggota tubuhnya dan membuat mereka menjadi disabilitas. Meskipun obatnya telah ada, namun belum berdampak signifikan pada penurunan jumlah pasien kusta di Indonesia.

Menurut laporan Kementerian Kesehatan, prevalensi kasus kusta di Indonesia sebesar 0,55 per 10 ribu pada tahun 2022, naik dari tahun 2021 sebesar 0,5 per 10 ribu penduduk. Bahkan pada tahun 2023, dilaporkan terdapat 14.376 kasus baru yang menjadi salah satu kasus terparah di dunia. Dari jumlah tersebut, 8,2% adalah anak-anak dan hampir 6% merupakan orang dengan disabilitas. Hal ini menunjukkan adanya penularan aktif dan diagnosis yang tertunda.

Sekalipun dinyatakan sembuh, para penyintas kusta seringkali tetap mengalami kesulitan untuk diterima oleh masyarakat. Keberadaan mereka sering dilihat sebagai momok yang harus dihindari dan keadaan ini memaksa mereka untuk mengisolasi diri atau membuka permukiman baru yang penduduknya merupakan sesama penyintas.

Kurangnya penyebaran informasi terkait kusta menjadi faktor utama yang melanggengkan stigma negatif terhadap penderita dan penyintas kusta. Mirisnya, stigma di masyarakat seringkali berujung pada tindakan diskriminasi seperti hinaan, kekerasan fisik, penelantaran, hingga ditutupnya akses ke pekerjaan bagi para penyintas. Hal tersebut pada gilirannya membuat para penyintas sulit untuk mendapatkan penghasilan atau sekadar bertahan hidup, sehingga menyebabkan penyintas kusta dan kemiskinan menjadi dua hal yang melekat.

Keterasingan dan tertutupnya akses untuk mendapatkan pekerjaan menjadi alasan utama bagi penyintas kusta lemah secara finansial. Tidak jarang permasalahan ini membuat mereka menjadi putus asa untuk melanjutkan hidup.

Berdaya melalui Ecoprint

sekelompok orang berfoto bersama berdampingan dengan sebagian memegang kain ecoprint
Para penyintas kusta di Desa Liposos menunjukkan ecoprint karya mereka. | Foto: Sepatokimin Initiative.

Di ujung Kalimantan Barat, tepatnya di Kelurahan Sijangkung, Kota Singkawang, terdapat sebuah kampung yang dikenal dengan sebutan Desa Lingkungan Pondok Sosial (Liposos) yang ditinggali oleh komunitas penyintas kusta. Sebagian besar penduduk desa ini merupakan mantan pasien dari Rumah Sakit Kusta Alverno yang berada tidak jauh dari desa tersebut. Keengganan untuk pulang karena selalu mendapatkan stigma dan diskriminasi dari masyarakat menjadi alasan para penyintas tersebut memilih untuk tinggal di Liposos sejak tahun 1996. Desa ini memiliki luas 10 hektare yang menaungi 36 kepala keluarga penyintas kusta.

Untuk menyambung hidup, awalnya penyintas kusta di desa ini bergantung pada hasil pertanian seperti kacang tanah, bengkuang, cabai, pisang, dan beberapa jenis sayur lainnya. Meskipun relatif tidak ramah bagi disabilitas, namun minimnya peluang kerja yang tersedia mengharuskan mereka untuk menjalani pekerjaan ini selama puluhan tahun. Namun, dalam memasarkan hasil pertaniannya, mereka kerap mendapat perlakuan tidak adil dan kesulitan menjual hasil ladang mereka dengan nilai yang sepadan. Kondisi ini lambat laun mendorong mereka untuk terjun ke dunia ekonomi kreatif sebagai alternatif untuk bertahan hidup selain bertani.

Sejak tahun 2019, perlahan-lahan warga penyintas kusta di Liposos mulai belajar dan menekuni kerajinan ecoprint. Aktivitas yang dilakukan oleh pengrajin meliputi pewarnaan, penumbukan atau pengukusan, dan pengeringan, yang mana seluruh prosesnya ramah terhadap penyintas kusta. Untuk bahan yang digunakan hanya membutuhkan daun, bunga, dan kulit batang yang selanjutnya diolah menjadi pewarna dan motif pada kain.

Kegiatan ini awalnya diinisiasi oleh Sepatokimin, sebuah inisiatif yang berfokus pada pemberdayaan komunitas marginal di Indonesia. Menggandeng masyarakat Liposos, Sepatokimin mengembangkan modul keterampilan ecoprint yang dapat menjadi alternatif pemasukan tambahan bagi warga desa. Pada tahun 2020, langkah tersebut mulai membuahkan hasil, dimana permintaan produk ecoprint perlahan meningkat. Tanpa terasa, sudah lebih dari 300 meter kain dan puluhan produk diproduksi oleh warga penyintas kusta di Liposos. Hingga akhirnya, hasil kerajinan ecoprint yang dibuat masyarakat Liposos berhasil mendapatkan kesempatan untuk berafiliasi dengan beberapa produk lokal yang ada di Jakarta dan Bandung, termasuk dalam pembuatan sepatu. 

Selain menghasilkan manfaat ekonomi, kerajinan ecoprint ternyata memiliki dampak baik dari segi sosial dan psikologis bagi para penyintas kusta di Liposos. Melalui produk-produk ecoprint yang mereka hasilkan, stigma negatif terhadap mereka perlahan menguap. Rasa malu dan takut untuk bertemu dengan masyarakat luas juga perlahan mulai luntur, bahkan diganjar dengan perilaku warga luar yang interaktif dalam memperkenalkan produk mereka.

Mewujudkan Dunia yang Inklusif

Menjalani kehidupan yang aman dan sejahtera merupakan hak setiap orang di dunia ini, dan akses ke pekerjaan yang baik dan layak adalah salah satu elemen krusial yang harus terpenuhi. Sayangnya, keterbatasan fisik dan stigma negatif yang langgeng di masyarakat terhadap penyintas kusta telah mengeliminasi hak-hak tersebut dari mereka. Oleh karena itu, selain menghapus stigma, membuka peluang kerja yang ramah disabilitas merupakan hal yang penting untuk mewujudkan dunia yang lebih inklusif. Dalam hal ini, seluruh pihak bisa belajar dari kerajinan ecoprint yang dijalankan oleh para penyintas kusta Desa Liposos.

Editor: Abul Muamar

Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.

Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Jadi Member Sekarang

Continue Reading

Sebelumnya: Housing First dan Perubahan Paradigma untuk Mengatasi Tunawisma
Berikutnya: Ilmuwan Temukan 234 Spesies Baru di Kawasan Mekong Raya

Lihat Konten GNA Lainnya

Pembangkit listrik tenaga nuklir dengan dua menara pendingin besar yang mengeluarkan uap di malam hari, dikelilingi lampu-lampu dan struktur industri lainnya. Menilik PLTN Terapung: Potensi dan Tantangan Energi Nuklir di Indonesia
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Menilik PLTN Terapung: Potensi dan Tantangan Energi Nuklir di Indonesia

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
28 Oktober 2025
Seorang pria menjual dan mengipas jagung bakar di samping meja yang penuh dengan kelapa muda. Mengintegrasikan Keberlanjutan dalam Upaya Gastrodiplomasi Indonesia
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Mengintegrasikan Keberlanjutan dalam Upaya Gastrodiplomasi Indonesia

Oleh Nazalea Kusuma dan Dina Oktaferia
28 Oktober 2025
Cover buku We are Eating the Earth: The Race to Fix Our Food System and Save Our Climate oleh Michael Grunwald. Bagaimana Memberi Makan Sembilan Miliar Orang Sembari Mendinginkan Langit?
  • GNA Knowledge Hub
  • Kolom Penasihat GNA
  • Resensi Buku

Bagaimana Memberi Makan Sembilan Miliar Orang Sembari Mendinginkan Langit?

Oleh Jalal
27 Oktober 2025
orang-orang diatas pohon saling membantu naik ke atas Bukan Sekadar Memimpin, tapi Juga Melakukan Transformasi: Bagaimana Perempuan Membentuk Kembali Keadilan Iklim di Asia
  • GNA Knowledge Hub
  • Opini

Bukan Sekadar Memimpin, tapi Juga Melakukan Transformasi: Bagaimana Perempuan Membentuk Kembali Keadilan Iklim di Asia

Oleh Cut Nurul Aidha dan Aimee Santos-Lyons
27 Oktober 2025
siluet pabrik dengan asap yang keluar dari cerobong dan latar belakang langit oranye dan keabuan Menyoal Akuntabilitas dalam Tata Kelola Perdagangan Karbon
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Menyoal Akuntabilitas dalam Tata Kelola Perdagangan Karbon

Oleh Seftyana Khairunisa
24 Oktober 2025
fotodari atas udara mesin pemanen gabungan dan traktor dengan trailer yang bekerja di ladang yang berdekatan, satu berwarna hijau dan yang lainnya berwarna keemasan Transformasi Sistem Pangan Dunia untuk Bumi yang Sehat
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Transformasi Sistem Pangan Dunia untuk Bumi yang Sehat

Oleh Kresentia Madina
24 Oktober 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Laporan Akar Rumput GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia