Upaya Sinuruk Mattaoi dalam Melestarikan Budaya dan Tradisi Mentawai

Para anggota Sinuruk Mattaoi berfoto bersama setelah menggelar kegiatan Punen Musinuruk ka Simaeruk I pada tahun 2024 sebagai bentuk perayaan satu tahun komunitas ini. | Foto: Dokumentasi Sinuruk Mattaoi.
Ketika berbicara tentang budaya dan tradisi Mentawai, mungkin ada beberapa hal yang melekat di benak banyak orang: tentang titi, tentang Arat Sabulungan, tentang uma, tentang masyarakat adat yang hidup mesra dengan alam. Namun hari ini, tradisi-tradisi tersebut mulai memudar dan nyaris lenyap, terutama akibat modernisasi dan penetrasi budaya luar. Akibatnya, yang terjadi adalah perubahan gaya hidup yang semakin menjauh dari pola hubungan yang harmonis dengan alam, penggunaan bahasa dan pakaian adat yang semakin langka, serta kurangnya minat generasi muda terhadap tradisi leluhur. Dan akibat selanjutnya sudah bisa ditebak: alam Mentawai pun perlahan-lahan rusak oleh aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab karena pengetahuan adat dan nilai-nilai luhur dari tradisi-tradisi tersebut tak lagi dijunjung.
Hal itulah yang menjadi perhatian anak-anak muda yang tergabung dalam Sinuruk Mattaoi, sebuah komunitas pemuda yang lahir di Desa Maileppet yang terletak di Pulau Siberut, salah satu pulau yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Pada 24 Juli 2025, Green Network Asia (GNA) mewawancarai Sarno Cependi Samaileppet dan Srikandi Putri, dua anak muda Mentawai yang merupakan penggagas Sinuruk Mattaoi untuk mengulik lebih dalam apa yang terjadi di Mentawai dan bagaimana komunitas ini berupaya melestarikan budaya dan tradisi-tradisi leluhur mereka yang terancam punah.
Tradisi-tradisi Mentawai yang Luntur dan Alam yang Mulai Rusak
Sarno menceritakan bagaimana lunturnya tradisi-tradisi leluhur mereka hari ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Mentawai. Misalnya, anak-anak muda Mentawai saat ini mulai jarang menggunakan bahasa Mentawai dan kurang tertarik terhadap tradisi orang-orang tua mereka. “Kalau sudah merantau keluar daerah, hanya sedikit anak muda yang bangga dengan jati dirinya sebagai orang Mentawai, atau menggunakan bahasa Mentawai di perantauan ketika bertemu dengan sesama orang Mentawai,” kata Sarno.

Hal yang sama juga terjadi pada tradisi titi, tato tradisional Mentawai. Lebih dari sekadar simbol budaya, titi adalah manifestasi filosofi hidup orang Mentawai yang berkaitan erat dengan alam, roh, spiritualitas, dan identitas mereka. Misalnya, dari aspek spiritualitas, titi dipercaya dapat melindungi simagere (jiwa) dari penyakit atau roh-roh jahat, sejalan dengan kepercayaan Arat Sabulungan orang Mentawai yang memandang semua unsur alam sebagai entitas yang hidup dan berjiwa. Selain itu, titi juga melambangkan hubungan harmonis antara manusia dan alam, dengan simbol-simbol atau motif yang berasal dari alam seperti daun, binatang, atau matahari. Sayangnya, titi pun kini mulai banyak ditinggalkan oleh masyarakat Mentawai karena pengaruh budaya dan kepercayaan yang datang dari luar.
Selain soal tradisi, deforestasi juga telah menjadi isu mendesak di Mentawai hari ini, terutama sejak kehadiran perusahaan kayu yang mengancam lebih dari 20.000 hektare hutan di Pulau Sipora—salah satu pulau kecil di Kepulauan Mentawai. Mirisnya, puluhan ribu hektare hutan yang telah dikuasai oleh perusahaan tersebut mencakup hutan adat—rumah dan sumber kehidupan bagi masyarakat adat Mentawai.
“Tidak hanya itu, kerusakan hutan sebagai sumber kehidupan membuat orang Mentawai menghadapi ancaman krisis pangan dan kini sangat bergantung pada bantuan luar,” kata Srikandi.
Lahirnya Sinuruk Mattaoi
Sinuruk Mattaoi lahir sebagai respons terhadap isu-isu tersebut. Terbentuk pada tahun 2023, komunitas ini beranggotakan pemuda-pemudi lokal yang bertujuan untuk melestarikan budaya Mentawai serta ingin melakukan hal-hal positif dan bermanfaat untuk lingkungan. Sinuruk Mattaoi sendiri berasal dari bahasa Mentawai, yakni “Masinuruk” yang memiliki arti “mengundang”, dan “Mattaoi” yang berarti “Mentawai”. “Sinuruk” (tanpa ma-) sendiri dapat diartikan sebagai “kebersamaan”, “gotong royong”, atau “solidaritas”. Dengan demikian, Sinuruk Mattaoi dapat berarti “Kebersamaan Mentawai”.

Mulanya, komunitas ini mengembangkan usaha mikro kerajinan tangan seperti gantungan kunci dan aksesoris-aksesoris khas Mentawai lainnya. Seiring waktu, komunitas ini menjadi wadah bagi anak-anak muda Mentawai dalam gerakan pelestarian tradisi dan budaya Mentawai, seperti titi, bahasa adat Mentawai, Turuk Laggai (tarian adat Mentawai), dan cerita atau mitos-mitos Mentawai yang disebut Pumumuan. Gerakan pelestarian titi sendiri kini mulai berkembang menjadi simbol perlawanan anak-anak muda Mentawai dalam menolak modernisasi yang merusak nilai-nilai luhur dari tradisi nenek moyang mereka.
“Kegiatan kami meliputi pelatihan tato tradisional, pertunjukan seni, dan pendidikan budaya bagi generasi muda. Kami juga aktif dalam pelestarian bahasa dan pakaian adat Mentawai, serta menjaga lingkungan dan mempromosikan pariwisata. Kami mengajak siswa dan para pemuda yang putus sekolah untuk menjadi bagian dari pelestarian budaya ini,” terang Sarno.
Untuk memperkuat upaya mereka, Sinuruk Mattaoi telah bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil, pemerintah daerah, para pelajar, dan komunitas lokal lainnya, untuk mendukung pelestarian budaya Mentawai. Selain itu, mereka juga aktif dalam aktivisme digital untuk mengamplifikasi apa-apa yang menjadi tujuan mereka.
“Satu hal yang paling kami inginkan adalah bagaimana agar budaya Mentawai tetap terjaga sampai ke generasi-generasi berikutnya. Kami tidak ingin budaya dan tradisi-tradisi baik dari leluhur kami lenyap. Dengan menjaga tradisi-tradisi ini, kami yakin lingkungan alam pun akan ikut terjaga,” kata Srikandi.
Tantangan
Namun, sebagaimana gerakan akar rumput pada umumnya, Sinuruk Mattaoi juga tak bebas dari berbagai rintangan. Kurangnya dukungan, terutama dukungan finansial, seringkali menghambat langkah mereka dan membuat mereka tertatih-tatih. Pada saat yang sama, tantangan dari luar semakin berat karena pengaruh budaya dari luar semakin tak terbendung.

“Kurangnya dukungan finansial, itu jelas tantangan utama kami. Di samping itu, menarik lebih banyak anak muda Mentawai untuk ikut melestarikan tradisi nenek moyang itu ibarat melawan ombak besar yang kuat. Kami harus akui itu. Pada akhirnya, hanya anak-anak muda yang benar-benar memiliki kecintaan yang sungguh-sungguh pada budaya Mentawai yang ikut terlibat. Dan mungkin, karena itulah, komunitas ini tetap bertahan sampai sekarang. Semangat dan komitmen kawan-kawan di Sinuruk Mattaoi adalah kunci. Dan semoga akan terus bertahan karena jalan kami masih panjang,” ungkap Sarno.
Dua tahun berlalu, anak-anak muda Sinuruk Mattaoi telah melewati berbagai pengalaman, yang sedikit banyak membentuk kesadaran dan menambah pengetahuan mereka tentang apa yang mesti dilakukan dan ditingkatkan.
Putri mengatakan, “Suka duka pasti ada. Namun, beberapa pengalaman sangat berkesan bagi kami. Misalnya ketika kami sukses menggelar kegiatan pelestarian tato tradisional, yang melibatkan partisipasi aktif generasi muda dan mendapat pengakuan dari masyarakat lokal atas upaya pelestarian budaya serta kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di Desa Maileppet, tempat komunitas ini berasal dan bertumbuh. Pengalaman-pengalaman seperti itu menguatkan kami, meyakinkan kami bahwa kami harus terus bergerak. Apalagi, sekarang, saya bisa bilang kalau kesadaran masyarakat dalam melestarikan tradisi perlahan mulai meningkat.”
Perlu Dukungan Pemerintah
Lunturnya tradisi dan budaya Mentawai tidak terlepas dari kurangnya kebijakan yang mendukung upaya pelestarian, terutama dari Pemerintah Kabupaten Mentawai dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Dukungan pendanaan yang terbatas, kurangnya integrasi budaya Mentawai dalam peraturan lokal dan nasional (termasuk dalam UU 17/2022 tentang Provinsi Sumbar), serta minimnya pelibatan masyarakat adat dalam pengambilan kebijakan formal, adalah beberapa tantangan yang harus diatasi. Adapun pengakuan terhadap tujuh tradisi Mentawai sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dari pemerintah, tidak berarti banyak kecuali sekadar sebagai pengakuan simbolik. Yang mereka butuhkan adalah dukungan yang konkret.

“Dukungan finansial dan program khusus untuk pelestarian budaya Mentawai masih sangat minim, khususnya di Desa Maileppet. Perlu ada kebijakan yang mendukung pelestarian budaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya warisan budaya. Minimal dari pemerintah desa setempat perlu ada program dan anggaran khusus, seperti untuk festival rakyat, atau perlu ada kebijakan yang mendukung pemenuhan hak-hak masyarakat adat, termasuk para sikerei (tokoh adat) yang ada di desa,” kata Sarno.
Oleh karena itu, Sarno berpesan, “Kerja sama antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil secara luas dalam melestarikan budaya Mentawai dan lingkungan hidup harus ditingkatkan. Kami berharap ada dukungan lebih besar lagi untuk upaya pelestarian budaya dan peningkatan kesadaran akan pentingnya menjaga warisan budaya leluhur. Dengan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Mentawai ini, secara tidak langsung semua akan mengarah pada ruang bertumbuh dan keberlangsungan hidup masyarakat Mentawai.”

Berlangganan Green Network Asia – Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor di beberapa media tingkat nasional.