Bagaimana Toko Buku di Gaza Kembali Hidup
Manusia adalah cerita; cerita adalah manusia. Memikirkan mana yang lebih dulu hadir rasanya mustahil dan tak ada gunanya – kita telah berbagi cerita sejak masa purbakala. Literatur adalah komunikasi, budaya, serta sejarah. Di Gaza, sebuah toko buku yang hancur akibat perang, baru-baru ini dibuka kembali berkat dukungan masyarakat dari berbagai penjuru dunia.
Toko Buku Samir Mansour, dalam Reruntuhan
Toko buku Samir Mansour didirikan 21 tahun sebelum tentara Israel mengebom gedung tersebut hanya dengan peringatan singkat pada 18 Mei 2021. Kala itu, serangan terhadap Jalur Gaza membunuh sekurangnya 260 jiwa. Mansour menyaksikan toko buku dan perpustakannya luluh lantak, dan ia tidak mampu menyelamatkan satu pun dari 90,000 bukunya.
Samir Mansour merupakan salah satu toko buku dan penerbit berbahasa asing terbesar di Gaza. Terlebih lagi, toko buku itu adalah kesayangan masyarakat setempat. Foto-foto toko buku dua lantai dengan buku-buku hancur berserakan di antara reruntuhan itu beredar di internet hingga dilihat oleh pengacara hak asasi manusia Mahvish Rukhsana.
Dukungan Global, Berlimpah
Mahvish Rukhsana dan Clive Stafford Smith meluncurkan GoFundMe untuk membiayai pembangunan kembali Toko Buku Samir Mansour. Proyek penggalangan dana ini memperoleh hampir 5000 sumbangan di seluruh dunia, dengan total dana yang terkumpul $250,000.
Orang-orang dari berbagai belahan dunia juga menyumbang lebih dari 150,000 buku. Buku-buku tersebut didatangkan melalui 70 penggerak buku regional di seantero Inggris, diorganisasi oleh Rukhsana dan relawan Rabea Zia. Sumbangan buku juga datang dari berbagai kota di AS, Singapura, Yunani, Perancis, Italia, dan UEA.
Smith meminta para donatur menulis pesan di dalam buku yang mereka sumbangkan dan berbagi tentang mengapa buku tersebut bermakna bagi mereka. Donatur buku juga didorong agar mencantumkan alamat email mereka supaya pemilik yang baru dapat menghubungi jika menginginkannya.
Toko Buku dan Kemanusiaan, Dipulihkan
Toko buku Samir Mansour hidup kembali pada 17 Februari. Sejumlah penulis serta Menteri Kebudayaan Palestina Atef Abu Saif turut menghadiri pembukaan kembali bangunan baru tersebut, sekitar 100 meter dari lokasi asal.
Mansur berkata, “Perpustakaan ini telah membuka kembali pintunya, dan sekarang telah menjadi rumah bagi lebih dari 300,000 buku sains, budaya, agama, sejarah, seni, dan sastra, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Inggris.”
Penulis dan aktivis sosial Palestina Nasser Shabat bicara kepada AlJazeera. Dia bilang, “Salah satu alat pendudukan adalah melenyapkan identitas dan warisan rakyat dengan menyasar perpustakaan, karena mencerminkan hubungan emosional dengan tanah air dan identitas.”
Dia menambahkan, “Pesan saya kepada semua pemuda Arab dan Palestina bahwa seluruh barisan terdepan mungkin saja takluk; kita bisa saja kalah dalam seluruh perang sosial dan militer. Tetapi, kita tidak boleh kalah dalam perang pemikiran, kesadaran, dan literatur, sebab ketiganya merupakan akar kewarganegaraan dan identitas kita. Kita mesti memeliharanya.”
Penerjemah: Gayatri W.M dan Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.