Cakupan Vaksinasi Kunci Penanganan Pandemi COVID-19 Indonesia
Dalam satu bulan terakhir, Indonesia ramai diberitakan sebagai episentrum baru pandemi COVID-19 di Asia. Per 04 Agustus 2021, total angka kematian yang dilaporkan sudah melampaui 100.000 jiwa, menjadikan Indonesia negara kedua di Asia setelah India yang mencapai rekor “muram” tersebut. Para pakar kesehatan publik percaya bahwa akibat keterbatasan pengujian dan pelacakan, angka kematian aktual pasien COVID-19 di Indonesia lebih besar dari yang terekam.
Menyadari krisis kesehatan yang sedang terjadi ini, Lee Kuan Yew School of Public Policy Alumni – Indonesia Chapter mengundang Professor Tikki Pangestu untuk memberikan keynote speech berjudul “Lessons from the COVID-19 Pandemic for Public Policy Practitioners” dalam kegiatan daring alumni, dilanjutkan dengan Tanya Jawab.
Professor Tikki Pangestu adalah pakar kesehatan publik dengan kaliber internasional. Prof Tikki, begitu mahasiswa dan alumni biasa memanggilnya, adalah visiting professor di Lee Kuan Yew School of Public Policy dan Yong Loo Lin School of Medicine, National University of Singapore. Sebelum bergabung dengan kedua institusi tersebut, Prof Tikki bekerja sebagai Direktur Riset Kebijakan dan Kerjasama di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Jenewa, Swiss, selama 13 tahun.
Publikasi ini adalah upaya untuk mendokumentasi keynote speech dan Tanya Jawab Professor Tikki Pangestu bersama Lee Kuan Yew School of Public Policy Alumni – Indonesia Chapter dalam sesi Zoom sepanjang 30 menit pada Sabtu, 17 Juli 2021, pukul 16.00-16.30 WIB.
Apa saja perkembangan terbaru dari berbagai penjuru dunia perihal pandemi COVID-19?
Secara singkat, ada beberapa fakta terkait pandemi COVID-19 yang dapat kita lihat hari ini. Sebagaimana dilaporkan kepada WHO, sudah lebih dari 190 juta kasus konfirmasi positif COVID-19 di seluruh dunia, dengan lebih dari 4 juta kematian.
Eropa Barat dan Amerika Serikat sudah mulai membuka diri. Asia “kebakaran”, dan saya khawatir Afrika seperti bom waktu. Kita berharap tidak akan terjadi bencana (krisis kesehatan COVID-19) di Afrika.
Hari ini, kita juga sangat khawatir dengan varian Delta yang jauh lebih menular, dan sudah menyebar ke lebih dari 100 negara di berbagai penjuru dunia.
Salah satu perkembangan paling penting adalah cakupan vaksinasi yang masih sangat terbatas dan timpang, terutama di negara-negara berkembang dan berpenghasilan rendah.
Sebagaimana kita bisa lihat, Asia mulai menjadi episentrum pandemi COVID-19. Angkanya sangat tinggi dibandingkan dengan regional lain. Kita bisa lihat bahwa kasus infeksi di Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Korea Selatan terus naik dalam dua minggu terakhir.
Negara mana saja yang mengendalikan pandemi COVID-19 dengan baik?
Banyak orang mengatakan Singapura adalah salah satu negara yang mengendalikan pandemi dengan baik. Menurut pendapat saya, negara yang mengendalikan pandemi paling baik adalah China. Bisa dilihat dari Nikkei COVID-19 Recovery Index, di mana China menduduki urutan pertama, dan ini terkait banyak faktor. Kita juga bisa melihat bahwa Selandia Baru cukup sukses. Indonesia berada di urutan ke 110.
Praktik baik apa saja yang negara lain bisa pelajari dari mereka? Pelajaran apa yang bisa diambil dari perspektif kebijakan publik?
Pertama, reaksi yang cepat (speed of reaction). Negara-negara yang bisa mengendalikan pandemi COVID-19 dengan baik telah merespon pandemi ini dengan cepat.
Kedua, sistem kesehatan yang kuat (robust healthcare system), yang dengan efektif menggunakan intervensi teknologi informasi untuk pengujian, pelacakan kontak, deteksi dan penanganan kasus positif di rumah sakit, untuk merawat pasien yang membutuhkan oksigen atau ventilator di ICU, dan isolasi.
Ketiga, tata kelola yang baik (good governance). Ini mencakup kehendak politik (political will) yang baik dan kepemimpinan yang kuat, termasuk di dalamnya adalah kesatuan tujuan, kesamaan sasaran, dan koordinasi. Tidak ada kebingungan, tidak ada duplikasi. Di Singapura misalnya, ada Multi-Ministry Taskforce, tim khusus lintas kementerian untuk pengendalian COVID-19.
Keempat, yang tidak kalah penting, adalah modal sosial (social capital). Warga negara dan anggota masyarakat yang taat pada aturan. Ini tentang kesadaran sosial, bahwa segala pilihan sikap kita bukan hanya untuk melindungi diri sendiri saja, tapi juga untuk melindungi kebaikan yang lebih besar di komunitas, khususnya kesehatan masyarakat. Ini tentu juga terkait dengan kepercayaan rakyat kepada pemerintah.
Kelima, vaksinasi. Ini terkait secara kuat dengan modal sosial yang saya sebutkan sebelumnya. Jika tidak percaya bahwa vaksinasi itu penting, lihat perbedaan kasus di UK dan di Indonesia. Pada 16 Juli 2021, ada 48.359 kasus dengan 63 kematian di UK, dan 54.000 kasus dengan 982 kematian di Indonesia.
Apa yang membedakan keduanya? Tentu saja cakupan vaksinasi! Cakupan vaksinasi di UK sudah mencapai 68%, sedangkan di Indonesia baru 15%. Ini hanya satu data saja. Ada banyak data yang menunjukkan bahwa vaksinasi menurunkan angka kematian, menurunkan tingkat keparahan pasien masuk ICU yang butuh ventilator dan kemudian meninggal dunia.
Seperti apa status vaksinasi COVID-19 saat ini?
Distribusi vaksin belum merata di seluruh dunia. Sebagian besar vaksin tersedia di negara-negara berpenghasilan tinggi seperti UK, Kanada, dan Israel. Dosis vaksin yang sudah diberikan di negara-negara berpenghasilan rendah sangat sedikit. Indonesia baru memberikan vaksinasi sekitar 20,6 per 100.000 penduduk. Terjadi ketimpangan dalam distribusi vaksin antar negara.
Apa saja rintangan terhadap vaksinasi di Indonesia? Bagaimana cara meningkatkan cakupan vaksinasi?
Ada setidaknya 3 rintangan vaksinasi di Indonesia.
Pertama, pasokan vaksin yang tidak mencukupi (insufficient supply). Kita tahu itu pasti tidak cukup. Ini terkait dengan yang saya sebutkan bahwa sebagian besar vaksin tersedia di negara-negara kaya. Negara-negara berkembang belum mendapat jatah yang dibutuhkan.
Kedua, hambatan logistik (logistic barriers). Jika di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya kita bisa memberi vaksin, bagaimana dengan di Papua, Maluku, Sulawesi, dll? Masalah hambatan logistik ini krusial sekali bagi negara seperti Indonesia. Ada tantangan seperti vaksin yang harus disimpan pada suhu yang tepat, fasilitas dan tenaga kesehatan yang tidak mencukupi untuk memberikan vaksin secara benar dan aman.
Ketiga, keraguan untuk vaksinasi (vaccine hesitancy). Ini terkait dengan kesadaran sosial yang saya sebutkan sebelumnya. Di Indonesia, relatif banyak warga yang belum bisa menerima bahwa vaksin penting bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tapi juga untuk masyarakat.
Ada penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia terjadi penurunan kepercayaan warga kepada pemerintah terkait keamanan dan efektivitas vaksin. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya persepsi bahwa vaksin mengandung zat-zat yang tidak halal. Ini penting untuk dipahami, berarti banyak warga belum mau menerima vaksin. Ini adalah tantangan kebijakan publik.
Kita ketahui juga bahwa keraguan, kesangsian, dan keengganan terhadap vaksin juga terkait dengan disinformasi. Hoaks, teori konspirasi, dan propaganda difasilitasi oleh media sosial. Kita tahu banyak disinformasi tersebar di Facebook, Twitter, dll. Ini adalah tantangan kebijakan publik.
Menyikapi ketimpangan distribusi vaksin antar negara, apa solusi tata kelola dari organisasi multilateral dan negara-negara sehingga kita bisa menangani krisis kesehatan ini bersama-sama, mengingat “tidak seorangpun aman sampai setiap orang aman”?
Singkatnya, tata kelola pada tingkat global penting, tapi tata kelola pada tingkat nasional juga sangat penting. Di tingkat global ada COVAX, sebuah inisiatif multilateral yang satu-satunya tujuan adalah meningkatkan akses negara-negara berkembang pada vaksin. Didanai oleh Bank Dunia, IMF, dan dikoordinasi oleh WHO, Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), Gavi, dan UNICEF. Jadi benar2 inisiatif global multilateral. Itu harapan utama di tingkat global.
Di tingkat nasional, dalam situasi ini kita jangan selalu mengharapkan bantuan dari luar. Bagi Indonesia khususnya, ini juga kebijakan publik ya, kita perlu mempertimbangkan produksi vaksin domestik. Ini sesuatu yang disebutkan oleh banyak ahli, bahwa di masa depan kita harus self sufficient, berdikari.
Indonesia punya kapasitas yg cukup bagus, misalnya di Biofarma. Pemerintah perlu memberi prioritas kepada industri farmasi lainnya; swasta-nasional-bukan internasional, yang punya keahlian, kepakaran, dan fasilitas untuk membuat vaksin.
Mungkin ada di antara adik-adik yang bekerja di Kementerian Perindustrian atau Kementerian Kesehatan, bisa mempromosikan bahwa kita harus self sufficient di masa depan.
Jika Indonesia punya industri vaksin domestik yang cukup dan kuat, itu tidak hanya akan bermanfaat di dalam negeri saja, tapi kita juga bisa memperoleh pendapatan ekspor, untuk regional ASEAN misalnya. Jika kita bisa ekspor vaksin, bukan hanya vaksin COVID-19 tapi vaksin penyakit lainnya juga, akan jadi sumber pendapatan bagi pemerintah.
Ada trade off—yang dikorbankan—antara pertumbuhan ekonomi dengan krisis kesehatan, bagaimana pemerintah menemukan titik ekuilibrium alias keseimbangan dari perspektif kebijakan publik?
Ini akan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Di China misalnya, pemerintah bisa bertindak tegas karena ekonomi mereka cukup tahan, dan itu sangat berbeda dengan keadaan di Indonesia.
Keseimbangan hanya akan tercapai jika kita mendapati suatu titik di mana sistem kesehatan kita tidak terlalu overwhelmed. Sangat sulit mencapai titik itu sebelum vaksinasi mencapai cakupan titik tertentu. Jadi prioritas saat ini adalah untuk kesehatan sebelum ekonomi berlanjut.
Berbeda dengan di China, kita ketahui lockdown di Indonesia itu mikro, bukan total, karena banyak rakyat yang kerja sehari-hari, jika mereka tidak bekerja mereka tidak makan. Menurut saya, jika liputan vaksinasi mulai naik, akan bisa disetel lebih adil. Efek pandemi COVID-19 ini paling parah dirasakan oleh rakyat miskin, mereka yang berpendapatan rendah.
Soal bandel dan ngeyel, dari perspektif kebijakan publik memang sulit ditangani. Yang paling penting menurut saya adalah strategi komunikasi yang tepat, yang dapat mencapai mereka yang bisa kita pengaruhi, untuk memperbaiki tingkah laku mereka.
Harus melibatkan berbagai duta untuk menyebarkan keterangan mengenai pandemi dan vaksin. Itu tentu bisa melibatkan Kementerian Kesehatan, para profesor dari kampus-kampus yang punya otoritas, pemimpin masyarakat, pemimpin agama, yang bisa memberi pengaruh.
Di tempat tinggal saya di Jakarta, ketua RT dan RW bisa berperan sangat efektif. Bisa juga dengan selebriti, bintang film, penyanyi, atlet, yang bisa mempengaruhi. Kenyataannya banyak rakyat jelata yang tidak relate ketika misalnya melihat menteri kesehatan divaksin, tapi mereka relate dan percaya dengan “orang yang mukanya sama kayak saya, yang ngomongnya juga kayak saya.”
Kampanye bisa disampaikan dalam bahasa lokal seperti Jawa, Sunda, dll, agar rakyat merasa relate, itu kenyataan di seluruh dunia. Ada satu survei di Indonesia menunjukkan bahwa ternyata selebriti punya pengaruh kuat untuk kepentingan vaksinasi. Tapi saat dilakukan, efeknya lebih kuat jika selebriti itu berbicara dalam kata-katanya sendiri, bukan bicara apa yang disampaikan oleh menteri kesehatan. Jadi perlu advokasi dengan komunikasi yang tepat, menggunakan messenger yang tepat.
Bagaimana Anda melihat keadaan kita semua di masa depan?
Di masa depan, dalam normal baru, menurut pendapat saya, COVID-19 akan menjadi seperti new flu, semacam flu baru. Dari segi kebijakan publik, butuh strategi-strategi yang siap tersedia di tempat. Perlu meningkatkan cakupan vaksinasi dengan tetap membudayakan protokol kesehatan, karena vaksinasi bukan peluru ajaib! Perlu selalu ada surveillance dan monitoring untuk berjaga-jaga kiranya ada “kebakaran”. Itu bisa terjadi, varian baru COVID-19 mungkin akan muncul. Perlu tanggung jawab sosial yang lebih baik.
Dengan berbagai tantangan untuk mencapai situasi normal baru, semua memerlukan kebijakan publik. Saat ini, kebijakan publik yang efektif jauh lebih penting daripada sebelumnya.
Perlu diketahui, membuat kebijakan publik itu tidak mudah. Kadang bisa menyebabkan kontroversi. Saya ingin mengutip Albert Einstein bahwa, “Apa yang benar tidak selalu populer, dan apa yang populer belum tentu benar”. Di masa depan, adik-adik yang akan menentukan kebijakan publik harus berani untuk mengambil keputusan yang benar dan efektif.
-Selesai-
Editor: Agung Taufiqurrakhman
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Marlis adalah Founder & CEO Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Ilmu Kebijakan Publik dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. Ia seorang peneliti Kebijakan Publik dengan pendekatan interdisipliner dan praktisi Public Affairs dengan fokus terpadu pembangunan berkelanjutan dan keberlanjutan.