Divers Clean Action Membersihkan Laut Indonesia dari Jutaan Ton Sampah
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah lautan yang begitu luas. Menurut Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) di Jamaica pada 1982, luas wilayah laut Indonesia mencapai 3.257.357 km², dengan batas teritorial dari garis dasar kontinen sejauh 19,3 KM diukur dari garis dasar. Luasnya lautan Indonesia menyuguhkan banyak keindahan di berbagai tempat yang seolah tak ada habisnya untuk dijelajahi, termasuk bagi para penyelam (divers).
Sayangnya, keindahan-keindahan tersebut tercemar oleh banyaknya sampah laut akibat perilaku dan gaya hidup manusia. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2020, wilayah lautan Indonesia sudah tercemar oleh sekitar 1,7 Kg sampah per meter persegi (g/m2). Jika dihitung dari luasnya, diperkirakan jumlah keseluruhan sampah di laut Indonesia mencapai 5,75 juta ton.
Sampah-sampah tersebut berdampak buruk terhadap ekosistem dan satwa laut. Banyak ikan-ikan yang hidup di laut termakan sampah. Penelitian World Wild Fund (WWF) Indonesia mengungkap bahwa 25 persen spesies ikan laut telah mengandung bahan mikroplastik. Kita juga masih ingat pada tahun 18 November 2018, bangkai paus sperma (Physeter macrocephalus) yang ditemukan di perairan Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara, mengandung ratusan sampah plastik berbagai jenis seberat total 5,9 kilogram di dalam perutnya.
Kenyataan itu membuat Swietenia Puspa Lestari, penyelam asal Pulau Pramuka—salah satu pulau di dalam gugusan Kepulauan Seribu—masygul dan gelisah. Setiap kali menyelam, perempuan yang akrab disapa Tenia itu sering menemukan sampah di sekitar area pantai yang ia selami. Ketika beranjak dewasa dan memahami bahwa sampah merusak lautan, ia pun mulai tergerak untuk membersihkan sampah-sampah tersebut.
Pada November 2015, alumnus Teknik Lingkungan dari Institut Teknologi Bandung ini mengajak teman-temannya sesama penyelam membentuk komunitas Divers Clean Action. Komunitas ini memiliki misi untuk merawat lautan dan kini telah menjadi Yayasan Penyelam Lestari Indonesia yang relawannya telah tersebar di berbagai tempat di Indonesia.
Kini, hampir tujuh tahun Divers Clean Action (DCA) bergerak. Komunitas ini memiliki visi membuat peta sampah laut di Indonesia yang modern dan real-time sebagai data untuk mengambil tindakan terhadap pencemaran laut.
Disatukan oleh komunitas DCA, Tenia dan teman-temannya tidak hanya sekadar bersenang-senang dengan menyelam, tetapi juga aktif sebagai aktivis lingkungan yang konsisten menjaga laut Indonesia dari kerusakan.
Green Network mewawancarai Tenia melalui Zoom pada Senin, 8 Agustus 2022. Kami membahas perjalanan dan pengalamannya dalam merawat dan membersihkan laut dari limpahan sampah.
Bagaimana ceritanya seorang penyelam bisa jadi aktivis lingkungan sampai membentuk komunitas Divers Clean Action?
Aku memulai divers connection itu pada 2015 bulan November. Waktu itu aku masih mengumpulkan tim. Lalu Februari 2016, kami memulai kegiatan perdana sebagai komunitas. Pada tahun itu isu sampah laut belum begitu marak dibicarakan, termasuk soal konservasi laut. Masih jauh, tidak terasa dekat ke masyarakat urban atau masyarakat pada umumnya.
Waktu aku kuliah Teknik Lingkungan, aku menemukan banyak gap di lapangan. Kemudian gap itu aku review, aku menemukan tempat-tempat yang aku diving-in, dari mulai fasilitasnya enggak ada, orang-orang buang sampah sembarangan, yang barangkali karena enggak ada ilmunya atau resource-nya. Apalagi sampah itu ketika dikumpulkan enggak mudah didaur ulang.
Dari situ aku mencoba menangkap apa yang terjadi di lapangan dengan ilmu yang aku pelajari di bangku kuliah. Itu yang pada akhirnya mendasari kenapa aku membentuk DCA, di samping karena tahun itu ada berita dari jurnal penelitian yang menyebut bahwa Indonesia penyumbang sampah terbesar kedua.
Awalnya aku ngajak dua teman aku. Namanya Tio (Adi Septiono) sama Nesha Ichida. Kami bertiga kemudian mengembangkannya bareng-bareng, bikin kegiatan bersama. Dari situ kami bikin acara di Februari 2016 untuk 100 orang, dan kami mengadakan kolaborasi dengan pemerintah, jurnalis, dan komunitas pecinta laut. DCA kemudian terus berkembang hingga akhirnya kami punya banyak relawan.
Sejak saat itu aku menyadari bahwa ternyata diving bisa memberikan dampak. Enggak cuma buat have fun atau buang-buang uang doang, tapi ternyata kita juga bisa melakukan perubahan. Kita bisa melakukan edukasi dan advokasi. Banyak kok diver yang peduli laut, tapi enggak ada wadahnya saja saat itu.
Anda pernah masuk dalam daftar “100 Most Inspiring Women BBC”, “30 under 30 Forbes Asia”, dan salah satu delegasi untuk “Obama Foundation Leaders: Asia Pacific”. Apa yang Anda rasakan dengan pencapaian itu?
Ada dua. Pertama, Aku sebenarnya tidak menyangka dan justru sedikit malu, aku merasa tidak layak karena masih banyak yang harus aku lakukan, dan programku juga belum selesai waktu itu, kenapa sudah dikasih penghargaan?
Kedua, aku senang, karena berarti apa yang aku lakukan di lapangan dapat pengakuan dan itu memberikan semangat kepada tim DCA, bukan hanya buat aku doang.
Apa saja yang dilakukan DCA untuk merawat laut?
Secara general ada 4 program kami yang utama. Pertama Citizen Science. Kami ingin menggaungkan bahwa yang bisa melakukan penelitian itu bukan hanya ilmuwan, bukan hanya engineer, bukan hanya pemerintah, tetapi kita semua yang mau belajar, bisa berkontribusi. Kita bisa mengambil data-data clean-up pantai, clean-up diving, studi perubahan perilaku, dan memetakan masalah fasilitas atau masalah lain yang ada di daerah pesisir. Itu yang kami lakukan dalam citizen science.
Kedua, Kampanye dan Pelatihan. Kami beberapa kali bekerja sama dengan YSEALI (The Young Southeast Asian Leaders Initiative) untuk program se-ASEAN, sedangkan di Indonesia setiap dua tahun sekali kami mengadakan Indonesian Youth Marine Debris Summit (IYMDS).
Yang ketiga, Pengembangan Masyarakat, atau Com Dev (Community Development) bahasa Inggrisnya. Kami mendampingi beberapa RW atau pulau untuk melakukan apa yang bisa dilakukan agar benar-benar tidak ada lagi sampah yang masuk ke laut. Dari situ kami banyak kerja sama dengan pihak Amerika, Jerman, dan companies (perusahaan-perusahaan).
Yang keempat, program kami adalah CSR/EPR Collaborator. Kami mendorong ekonomi sirkular. Misalnya, kami mengoleksi sampah-sampah botol di pulau-pulau untuk dijadikan botol lagi atau jadi fashion items. Kami juga bekerja sama dengan beberapa perusahaan swasta untuk membantu ngembangin Toko Cura di Kepulaun Seribu.
Sekarang, 4 program itu enggak hanya di Kepulauan Seribu dan Jakarta Utara dan Jakarta Timur, tapi juga ada di 15 titik di provinsi lain di Indonesia. Yang ngerjain relawan-relawan kami yang sudah membuktikan komitmen dan integritas mereka.
Apa tantangan atau kendala yang DCA hadapi selama ini?
Secara garis besar, kalau kita bicara tentang lingkungan dan konservasi laut itu, ini belum menjadi top of mind semua orang, belum menjadi prioritas semua bisnis. Itu salah satu tantangannya.
Jadi kita masih menemukan banyak bisnis yang tidak peduli dengan lingkungan. Kami merasa untuk membuat mereka berubah harus ada perubahan perilaku, dalam arti membuat manajemennya sadar atau mengajak mereka untuk membuat program yang lebih baik untuk laut. Tetapi perubahan perilaku, seperti yang kita tahu, tidak bisa dicapai dalam waktu sebentar.
Soal kesadaran lingkungan, yang menurut Anda belum menjadi top of mind di masyarakat, bagaimana mengatasinya? Perlukah edukasi mengenai perubahan iklim?
Menurutku itu perlu banget. Misalnya, banyak anak-anak kecil yang tinggal di wilayah pesisir atau kepulauan yang tidak bisa berenang karena mereka tidak diajarkan atau dilarang berenang karena orang tuanya takut anaknya tenggelam. Padahal kalau mereka bisa berenang mereka bisa melihat kondisi bawah laut itu seperti apa dan jadi punya keinginan ingin menjaga lautnya.
Selain itu, local wisdom yang kurang tepat dapat diperbaiki sehingga mereka akan lebih mudah untuk menerapkan gaya hidup yang lebih baik. Misalnya memastikan jajanan di sekolah kemasannya pakai plastik atau tidak. Dengan edukasi itu juga mereka menjadi tahu kalau hutan mangrove itu bukan angker, melainkan banyak manfaatnya dan harus dijaga.
Edukasi semacam itu juga yang banyak kami investasikan dalam pendampingan dan pengembangan anak-anak muda, termasuk di daerah-daerah.
Bagaimana Anda memandang pihak-pihak yang mengklaim peduli lingkungan namun kenyataannya tidak?
Sebelum menjawab itu, saya ingin cerita. DCA semangatnya adalah kolaborasi. Kami bergerak bagaimana agar laut kita sehat, bersih dan baik. Jadi, sekalipun kita kerjasama dengan partner atau perusahaan yang track record-nya dikenal sering memproduksi sampah plastik, tidak berarti mereka tidak bisa berubah. Yang kami lakukan adalah bagaimana kita memastikan itu dengan mengecek kolaborasi kami ini hanya sekali saja atau memang sebenarnya sesuatu yang bisa kita bangun secara jangka panjang, misalnya membantu keberlangsungan program kita yang ada di daerah.
Akhirnya kita bisa dengan nyaman menceritakan ke semua relawan kita bahwa di sini kita bukannya mau menyalahkan sebuah perusahaan, tapi kita bergerak bersama untuk mencapai tujuan tadi (melestarikan laut) dengan aksi yang tangible (nyata). Jadi kita bisa tetap melihat ada dampak baik yang dihasilkan dari itu semua. Intinya, advokasi itu sangat penting untuk dilakukan. Jangan sampai hanya kampanye saja. Bisnis mereka bisa berubah menjadi sesuatu yang bertanggung jawab, extended producer responsibility, dengan cara tidak menghakimi mereka seperti mengatakan ‘hello, itu greenwashing!’. Jadi jika mereka tidak mau dilabel seperti itu, kita bisa minta mereka menyampaikan laporan ESG dan EPR mereka.
Tindakan apa yang dibutuhkan oleh lautan kita agar lestari?
Banyak, ya. Tidak bisa cuma satu tindakan. Salah satu persoalan adalah kita ini kalah di narasi. Kita digemborkan sebaga negara maritim. Oke, lalu apa? Sebagai negara maritim, apa yang sebenarnya bisa nyambung dengan hidup kita? Nyatanya masih banyak teman-teman kita yang enggak pernah main ke laut, enggak tahu di bawah laut itu kayak apa kondisinya, enggak ngerti kalau laut kita kotor dan enggak ngerti bahwa ternyata perubahan iklim itu berpengaruh.
Aku rasa yang perlu kita lakukan adalah menggaungkan bahwa narasi bawah laut itu sangat dekat dengan kehidupan kita sebagai masyarakat Indonesia. Dan perubahan sangat mungkin dilakukan semua orang. Local-local wisdom, local-local champion, misalnya. Kita juga punya hukum adat–misalnya ada waktu tertentu untuk menangkap ikan agar tidak over-exploited. Nah yang seperti itu belum dianggap keren atau belum semua orang tahu. Padahal solusi-solusi itu akan menjadi batu bergulir untuk aksi-aksi lainnya.
Selain itu, riset-riset kelautan. Masih banyak yang belum dieksplorasi dari bawah laut, sehingga ketika kita mau menjaga atau merawatnya, kita tidak tahu apa yang harus dilakukan, tindakan apa yang paling tepat. Untuk mendukung tindakan itu, pada akhirnya balik lagi ke kebijakan dan kampanye.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.