Bagaimana Bahasa Potawatomi Menghidupkan dan Menghormati Alam

Foto: Richard Lee di Unsplash.
Dunia modern berangsur-angsur menyadari pentingnya kesejahteraan lingkungan, melampaui akumulasi modal yang diperoleh melalui cara-cara yang merugikan. Dalam hal ini, bahasa Potawatomi, salah satu suku asli Amerika, sudah jauh lebih maju. Pendekatan linguistik dan filosofis mereka mengakui kepekaan alam. Lantas, bagaimana bahasa dan alam saling berhubungan?
Hubungan Antara Bahasa dan Alam
Bahasa merupakan instrumen penting yang membentuk persepsi kita tentang dunia. Eufemisme, salah satu komponen linguistik yang umum, sering mereduksi situasi yang gawat sehingga tidak terdengar terlalu parah. Dalam percakapan tentang lingkungan, manipulasi bahasa semacam itu digunakan secara luas sebagai alat politik untuk mengurangi persepsi mengenai bahaya, daya tarik sentimental, dan prospek keterlibatan masyarakat dalam aksi iklim.
Frasa “perubahan iklim”, misalnya, didukung oleh Frank Luntz sebagai alternatif dari “pemanasan global”. Perubahan nuansa tersebut mengubah respons publik terhadap krisis lingkungan; nada “perubahan iklim” yang agak netral dan pasif telah mengurangi keseriusan situasi kita saat ini.
Contoh lain adalah bagaimana Michael Halliday, seorang ahli ekolinguistik, mengkritik tata bahasa Inggris yang memposisikan sumber daya alam seolah-olah tak terbatas. Kata benda tak terhitung yang digunakan untuk menyebut minyak, energi, dan air memberikan gagasan yang keliru tentang sumber daya tak terbatas sementara kita terus memerasnya hingga tetes terakhir. Dengan demikian, bahasa tidak hanya memengaruhi reaksi manusia terhadap dunia yang berubah dengan cepat, tetapi juga berperan dalam eksploitasinya.
Lebih lanjut, penelitian menunjukkan bahwa wilayah yang beragam secara ekologis cenderung menjadi tempat bahasa-bahasa daerah digunakan. Dari sekitar 6.900 bahasa yang saat ini ada di Bumi, setidaknya 4.800 bahasa berada di wilayah dengan keanekaragaman hayati yang kaya.
Bahasa Potawatomi
Kadar antroposentris bahasa Inggris menunjukkan bagaimana manusia menyalahgunakan alam untuk memenuhi kebutuhan yang tak terbatas. Dalam bukunya, “The Democracy of Species”, Robin Wall Kimmerer menunjukkan kurangnya animasi (pengakuan terhadap makhluk non-manusia) dalam bahasa Inggris. Ahli botani ini mengkritik reduksi bahasa Inggris terhadap makhluk nonmanusia dengan kata “it”. Dia menulis, “Di mana kata-kata kita untuk mengakui keberadaan makhluk hidup lain?”
Dalam perjalanan untuk mendapatkan kembali asal moyangnya, Kimmerer mempelajari kembali bahasa Potawatomi. Potawatomi dan sebagian besar bahasa daerah (bahasa adat) lainnya menggabungkan tata bahasa animasi, yang menyapa setiap makhluk hidup dengan pengakuan penuh atas kepribadian mereka. Pengakuan Potawatomi terhadap animasi alam melampaui hewan dan tumbuhan. Suku Potawatomi juga menganggap entitas-entitas tertentu seperti gunung, batu, bahkan air yang memiliki kehidupan dengan menyebutnya dengan kata yawe, atau kurang lebih “to be” dalam bahasa Inggris.
Lebih lanjut, menurut para tetua Potawatomi, objek-objek alami tidak dapat diikuti oleh tanda kepemilikan. Meskipun tergantung pada standar masing-masing pembicara, menyebut sungai sebagai sesuatu yang dapat dimiliki manusia umumnya dianggap menghujat.
Lebih dari Sekadar Bahasa
Ketika membahas peran bahasa dalam membentuk perspektif lingkungan, Kimmerer berharap akan tiba saatnya manusia menggunakan kata-kata inklusif yang merangkul kepribadian setiap makhluk. Lebih dari sekadar kata-kata, menanamkan kepribadian pada semua makhluk hidup berarti memberi mereka rasa hormat dan pertimbangan. Ini termasuk memperjuangkan hak-hak alam dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat dalam pengelolaan alam. Sebagai contoh, semangat bahasa Potawatomi sebagian besar terwujud dalam aktivisme lingkungan oleh anggota Bangsa Potawatomi.
Pada akhirnya, Potawatomi dan bahasa-bahasa adat lainnya yang dijiwai oleh rasa welas asih ekologis dapat menjadi sumber linguistik dan filosofis untuk dipelajari. Menghormati alam sekitar dan mengarahkan mereka sebagai subjek, alih-alih objek, seperti dalam ajaran Potawatomi, merupakan langkah kecil namun signifikan untuk melestarikan planet Bumi, penghuninya, dan kekayaan warisan budaya.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.

Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member Sekarang