Bukan Sekadar Memimpin, tapi Juga Melakukan Transformasi: Bagaimana Perempuan Membentuk Kembali Keadilan Iklim di Asia
Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Ketika para pembuat kebijakan sedang giat memperdebatkan target emisi dan perusahaan-perusahaan terus memoles citra mereka, ada kisah lain perihal keadilan iklim yang terungkap di Asia, bahwa perempuan semakin berperan. Namun, mereka tidak mencari posisi di struktur kekuasaan yang lama, melainkan membangun ruang baru untuk berpartisipasi.
Sebuah tinjauan dari AktivAsia menunjukkan bahwa perempuan dalam gerakan keadilan iklim di Asia tengah mentransformasi kepemimpinan. Mereka melakukannya dengan kekuatan yang sangat berbeda: berakar pada komunitas, kepedulian, ketegasan politik, dan aksi kolektif.
Ini bukanlah bentuk kepemimpinan yang sering tampil di panggung konferensi atau tercantum dalam laporan keberlanjutan perusahaan, melainkan hadir dari pengalaman hidup: para petani yang memahami tanah mereka lebih baik daripada peta satelit manapun, para perempuan yang menangani bencana banjir tanpa dukungan dana, serta para aktivis yang berperan sebagai ibu, pengasuh, sekaligus penyintas. Kekuatan mereka berasal bukan dari hierarki atau karisma, tetapi dari kolaborasi, ketangguhan, dan komitmen yang kuat pada komunitas mereka.
Seruan untuk Perubahan yang Menembus Batas
Di balik bentuk kepemimpinan perempuan ini, ada tantangan yang harus mereka hadapi. Di banyak wilayah di Asia, perempuan yang mengambil peran kepemimpinan atau menantang peran gender tradisional masih kerap dicap sebagai pemberontak. Meski memiliki peran yang penting, perempuan dan kelompok marjinal lainnya tetap menghadapi hambatan sistemik, keterbatasan sumber daya, serta pandangan sosial yang kerap membatasi ruang mereka dalam pengambilan keputusan. Bagi sebagian perempuan, keputusan untuk melangkah ke posisi kepemimpinan seringkali lebih berisiko alih-alihmenghasilkan keuntungan.
Di balik semangat aktivisme, perempuan dalam gerakan keadilan iklim kerap berhadapan dengan burnout (kelelahan), impostor syndrome (perasaan tidak pantas), dan beban ganda antara kerja-kerja advokasi dan pekerjaan domestik yang tidak berbayar. Tidak sedikit pula dari mereka yang diragukan bahkan mengalami penolakan ketika membawa perspektif feminis dalam melihat isu keadilan iklim ke dalam organisasi dan komunitas mereka.
Meski demikian, mereka terus bertahan. Mereka mengajar, mengorganisasi, menggerakkan, dan bermimpi sekaligus membentuk kembali masa depan kepemimpinan dalam gerakan keadilan iklim.
Ketika ditanya, dukungan seperti apa yang mereka butuhkan, jawabannya praktis sekaligus kuat. Para perempuan menyerukan pendidikan politik mengenai feminisme dan keadilan iklim, kesempatan belajar dari mentor dan tokoh yang lebih berpengalaman, serta pendanaan untuk mendukung pengorganisasian di akar rumput. Mereka juga menekankan pentingnya pembelajaran dan pertukaran pengalaman secara langsung dibandingkan program berbasis digital.
Selain itu, masa-masa ketika perempuan merasa harus mengorbankan diri sepenuhnya demi kepentingan kolektif telah berlalu. Bagi mereka, lingkungan ideal untuk gerakan keadilan iklim mencakup ruang aman untuk berefleksi dan membangun solidaritas, serta dukungan terhadap kesehatan mental secara menyeluruh. Dan yang paling utama, mereka menyerukan pengembangan kepemimpinan yang berakar pada tradisi dan pengalaman perjuangan di Asia, bukan kerangka yang diambil dari luar dan mengabaikan budaya lokal.
Tak Terlihat, Namun Tak Terelakkan
Kathy Jetnil-Kijiner, seorang advokat keadilan iklim asal Kepulauan Marshall, memberikan refleksi yang kuat tentang bagaimana isu gender dan diplomasi iklim saling berkelindan dengan cara yang seringkali tidak terlihat. Meski awalnya ia tidak bermaksud mengidentifikasi diri sebagai seorang feminis, advokasinya pada akhirnya berhadapan langsung dengan pertanyaan-pertanyaan seputar keadilan gender terutama di ruang-ruang internasional seperti UN Climate Talks.
Bagi para perempuan dari negara-negara Global South, memasuki ruang-ruang tersebut bukan hanya mahal dan eksklusif, tetapi juga tidak aman. Banyak di antara mereka hadir hanya sebagai pengamat, bukan perunding. Sementara itu, perempuan muda dari komunitas pedesaan dan akar rumput masih jarang mendapatkan ruang.
Kathy menekankan pentingnya dukungan dari mentor, jaringan perempuan seperti Lionesses, serta solidaritas antara negara-negara Global South. Namun, ia juga menyoroti hambatan yang masih bertahan seperti risiko keamanan, keterbatasan sumber daya, dan bias patriarki yang masih melekat bahkan di dalam komunitas perempuan sendiri. Refleksinya mengingatkan kita bahwa keberadaan perempuan dalam perjuangan keadilan iklim dan diplomasi harus melampaui sekadar keterwakilan menuju transformasi yang nyata.
Kepemimpinan Feminis dalam Keadilan Iklim
Lantas, muncul visi kepemimpinan yang melampaui ruang rapat korporasi maupun pemerintahan. Ini adalah bentuk kepemimpinan yang membangun gerakan dan mentransformasi komunitas, berpusat pada pengalaman hidup, menantang berbagai sistem penindasan, dan menciptakan alternatif yang memulihkan alih-alih mengeksploitasi.
Para perempuan ini tidak hanya bersiap untuk menduduki posisi kekuasaan. Mereka sedang mempersiapkan transformasi struktural. Visi mereka mengenai keadilan iklim bukan tentang memperbaiki sistem yang rusak, melainkan menggantinya dengan sesuatu yang lebih humanis, inklusif, dan efektif.
Dr. Louise Duxbury mengingatkan kita bahwa jika gerakan iklim ingin benar-benar transformatif, gerakan tersebut juga harus mengubah cara kita memandang kepemimpinan. Ia mengkritik model hierarkis, kompetitif, dan seringkali didominasi laki-laki baik dalam politik maupun aktivisme. Sebaliknya, ia menganjurkan kepemimpinan relasional berbasis nilai yang berakar pada kepedulian, kolaborasi, dan keterhubungan komunitas. Visi ini bukan tentang “menggantikan laki-laki dengan perempuan”. Visi ini tentang semua gender yang mengambil langkah bersama untuk berbagi peran dan menciptakan ruang bagi kepemimpinan yang beragam.
Bagi Duxbury, feminisme menawarkan pendefinisian ulang yang radikal atas struktur sosial dan lingkungan sebagai struktur yang mengintegrasikan keberlanjutan ekologis, keadilan gender, dan ekonomi yang berlandaskan nilai kepedulian. Namun, gerakan iklim justru seringkali mereproduksi sistem patriarki dan neoliberalisme yang ingin diubahnya dengan menonjolkan figur karismatik, sembari mengabaikan kerja kolektif perempuan yang kerap tidak terlihat. Ia menekankan bahwa meski perempuan memegang peran penting dalam merawat dan memulihkan masyarakat saat krisis iklim, kontribusi mereka jarang tercermin dalam data, pendanaan, maupun pengakuan.
Tantangannya jelas: jika keadilan iklim adalah tujuannya, maka kita harus membangun budaya organisasi yang mewujudkan etika feminis, prinsip dekolonisasi, dan keberlanjutan ekologis. Kepemimpinan yang baik tidak hanya menghargai siapa yang tampak, tetapi juga memperhatikan bagaimana kekuasaan dijalankan dengan adil.
Gerakan Feminis Asia untuk Keadilan Iklim
Inilah momentum bagi gerakan feminis Asia untuk keadilan iklim. Momen ini tidak diceritakan melalui grafik atau deklarasi KTT, melainkan melalui hubungan, tanah, sejarah, dan ingatan. Ini adalah kisah tentang perempuan yang dulu dibungkam, yang kini bersuara bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk masa depan yang belum terbayangkan.
Saat Asia menjadi tuan rumah dan menyelenggarakan berbagai dialog iklim, forum strategis, serta pertemuan energi bilateral, mulai dari Indonesia Net-Zero Summit hingga Bangkok Climate Week, ini bukan sekadar menunjukkan kesiapan. Lebih dari itu, Asia memperlihatkan kepemimpinan yang berlandaskan aksi nyata, dan kesetaraan.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah perempuan bisa memimpin. Mereka sudah membuktikannya. Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita mau mendengarkan suara mereka?
Editor: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member Sekarang
Bagaimana Memberi Makan Sembilan Miliar Orang Sembari Mendinginkan Langit?
Menyoal Akuntabilitas dalam Tata Kelola Perdagangan Karbon
Transformasi Sistem Pangan Dunia untuk Bumi yang Sehat
Memperkuat Pendidikan Nonformal untuk Perluas Akses Pendidikan bagi Semua
Memberdayakan Pembudidaya Ikan Skala Kecil untuk Akuakultur Berkelanjutan
Langkah Pemerintah Dorong Pengelolaan Sampah Perkotaan menjadi Energi