Hangno Hartono, Mengampanyekan Pemanfaatan Sampah Lewat Seni Wayang
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki sejumlah daya tarik yang membuat orang-orang ingin berkunjung. Selain terdapat banyak pusat pendidikan, Yogyakarta juga dikenal dengan seni dan budayanya yang kental. Namun sayangnya, provinsi ini menghadapi masalah serius dan berlarut-larut dalam hal pengelolaan sampah. Adapun Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan di Bantul, sudah menggunung dan tak mampu lagi menampung buangan sampah dari berbagai wilayah di DIY akibat penanganan sampah yang tidak memadai.
Cerita tentang warga sekitar TPST Piyungan yang memblokir jalan menuju lokasi pembuangan sampah sudah berulang kali terdengar. Setiap kali ada pemblokiran, tumpukan sampah di berbagai titik di wilayah DIY, terutama Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, menjadi pemandangan yang tak dapat dihindari, termasuk di pinggir jalan.
Persoalan itu telah menjadi perhatian Hangno Hartono, seorang budayawan dan seniman wayang di Yogyakarta. Sebagai upaya kecil untuk membantu mengurangi masalah penumpukan sampah di provinsi yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X itu, bersama-sama dengan beberapa temannya, ia mendirikan komunitas Wayang Merdeka, sebuah komunitas yang berupaya menyampaikan pendidikan publik dengan wayang sebagai mediumnya. Salah satu kegiatan yang sering dilakukan Wayang Merdeka adalah mengampanyekan gerakan penyelamatan lingkungan melalui pemanfaatan sampah.
Awal Ketertarikan pada Wayang
Lahir di Magelang pada 19 Agustus 1963, Hangno telah memiliki ketertarikan pada seni wayang sejak kecil. Lingkungan tempat ia tinggal di Muntilan menuntunnya ke dunia kesenian yang terus bertahan hingga hari ini.
Hampir sepanjang hidupnya, lulusan Filsafat dari UIN Syarif Hidayatullah dan Diploma Kriya Kulit dari ISI-AKNSB Yogyakarta ini selalu bersentuhan dengan seni, termasuk membuka usaha kerajinan (kriya) sebagai mata pencaharian. Selain wayang, jiwa Hangno juga tergugah oleh keberadaan berbagai karya kesenian yang terdapat di Magelang, khususnya candi-candi kuno seperti Borobudur dan Mendut.
“Di Muntilan itu ada kelenteng, tempat ibadah saudara kita Tionghoa. Uniknya, di kelenteng itu sering digelar pentas wayang. Saya suka nonton wayang di kelenteng itu. Tokoh-tokoh pewayangannya juga orang-orang Tionghoa. Dari situ saya jadi pengen tahu lebih jauh tentang wayang dan mendapatkan kesempatan untuk mendalaminya ketika hidup di Jogja,” katanya, Senin, 31 Juli 2023.
Momen yang meyakinkan Hangno untuk menekuni wayang datang ketika ia belajar tatah sungging untuk pertama kalinya kepada Maestro Tatah Sungging, Ki Sagio, beberapa tahun silam. “Pas saya dikasih alat tatah itu, saya buka, saya mencium bau yang harum sekali. Wanginya seperti bunga melati. Pada saat itu saya merasa bahwa ini suatu petanda penting dalam perjalanan hidup saya di kemudian hari. Dan ternyata sejak saat itu saya menekuni dunia pewayangan. Ini pengalaman mistis yang gak bisa dipahami secara rasional. Tapi bagi saya momen itu sangat berarti.”
Membentuk Komunitas Wayang Merdeka
Wayang merupakan salah satu warisan seni budaya Indonesia yang masih bertahan hingga hari ini. Namun, perkembangan zaman perlahan-lahan menggerus eksistensi wayang di berbagai tempat. Sebagian orang bahkan menjauhi wayang akibat mispersepsi dan misinformasi yang berkeliaran di media sosial. Padahal, wayang dapat menjadi saluran untuk menyampaikan pelajaran-pelajaran moral dalam kehidupan, yang pada gilirannya dapat mendukung pembangunan karakter bangsa.
“Seni wayang itu sarat akan kedalaman makna. Narasi-narasi ceritanya, ikonografinya, fisiknya—semua punya filosofi. Ketika kita masuk ke dunia wayang, kita akan masuk ke kedalaman-kedalaman itu. Tapi sayangnya, kedalaman-kedalaman itu seringkali banyak dilupakan orang.” tutur Hangno.
Hangno aktif terlibat dalam berbagai kegiatan dan komunitas yang bergerak untuk memperkenalkan wayang kepada masyarakat luas. Semua bertujuan untuk melestarikan wayang agar dapat terus dipelajari oleh generasi mendatang. Melestarikan wayang, baginya, sama artinya dengan merawat kemanusiaan dan lingkungan hidup tempat manusia dan semua makhluk bernaung.
Bersama teman-temannya di Komunitas Wayang Merdeka, Hangno mengajak anak-anak untuk menjaga kebersihan lingkungan, salah satunya dengan memanfaatkan sampah rumah tangga. Ia mengajari anak-anak bagaimana memanfaatkan sampah menjadi barang bernilai dengan mengolahnya menjadi tokoh wayang.
Sejak 2022, Wayang Merdeka rutin mengadakan workshop pembuatan wayang dari sampah plastik serta bahan-bahan organik. Mereka menjalin kerja sama dengan berbagai komunitas, di antaranya Komunitas Urban Farming Kali Code, SD Tumbuh, dan Kinder Station Primary. Menepikan segala bentuk pakem dan narasi wayang yang kerap diidentikkan dengan kisah Ramayana dan Mahabharata, Hangno membebaskan anak-anak membuat wayang sesuai kesukaan mereka.
“Semua peserta workshop kami minta membawa sampah dari rumah masing-masing. Lalu di workshop akan kami ajari bagaimana cara membuat wayang dari sampah-sampah itu, mulai dari melaminasi, menggambar, sampai membentuknya menjadi tokoh wayang. Kami mengusung konsep merdeka. Jadi anak-anak bebas membikin bentuk wayang seperti apa. Karena target kami cuma ingin menanamkan kata ‘wayang’ dalam kesadaran kognitif mereka. Intinya adalah membuat seni itu dekat dan dapat diterima masyarakat,” ujar ayah dua anak ini.
Aktivisme Wayang Merdeka tak ingin berhenti sampai di situ. Ke depan, mereka juga berencana untuk melindungi cagar-cagar budaya yang berkaitan dengan wayang. “Banyak situs sejarah yang terancam dihancurkan, salah satunya Situs Watu Wayang di Piyungan. Situs itu mulai dihancurkan untuk pembangunan jalan. Yang tersisa hanya sebagian. Saya menyayangkan itu. Makanya, untuk mengedukasi orang mengenai arti penting situs, kami akan melakukan workshop wayang di sana. Ini akan menjadi agenda rutin kami ke depan. Kami akan terus bergerak di situs-situs yang lain, terutama yang ada kaitannya dengan wayang,” kata Hangno.
Seni Wayang sebagai Sumber Inspirasi
Pada tahun 2019, Hangno mendirikan Omah Budaya Kahangnan, sebuah galeri seni wayang yang berada di Dusun Pringgading, Kelurahan Guwosari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul. Di galeri ini juga Hangno mengelola perpustakaan kecil yang khusus menyediakan literatur tentang Jawa. Galeri ini rutin mengadakan pameran seni wayang yang melibatkan berbagai komunitas, termasuk anak-anak sekolah dan masyarakat umum.
Selain komunitas Wayang Merdeka dan Omah Budaya Kahangnan, Hangno juga membentuk komunitas Wayang Kontemporer, sebuah wadah yang kerap menampilkan atraksi pedalangan yang tidak mengacu pada pakem tertentu, termasuk pakem wayang konvensional. Komunitas ini pernah mengadakan pentas seni wayang kontemporer semalam suntuk yang diikuti lima dalang wayang secara bergiliran di Omah Budaya Kahangnan. Di samping itu, Hangno juga aktif di berbagai komunitas lainnya, seperti UFO Network Indonesia serta menjabat sebagai Direktur Lembaga Cahaya Nusantara (YANTRA).
Hangno telah banyak menggelar pameran di berbagai tempat. Beberapa di antaranya adalah pameran bersama Wayang Alien dari sampah plastik, pameran bersama Komunitas Malioboro, dan pameran tunggal ‘Trilogi Mencari Arjuna’ yang menyoroti arti penting kepemimpinan. Ia berharap, pameran-pameran yang ia gelar dapat menginspirasi banyak orang.
“Semua elemen kehidupan ini adalah bagian dari kebudayaan. Tidak hanya seni; kegiatan ekonomi, politik, dan lainnya itu juga kebudayaan. Hanya saja, bagaimana kita menciptakan semua kegiatan itu agar mendukung kemanusiaan dan lingkungan,” kata Hangno.
Mendekatkan Seni ke Masyarakat
Hangno tidak memungkiri bahwa karya seni seringkali tidak dapat dipahami oleh semua orang. Untuk itu, “diperlukan metode komunikasi yang tepat untuk menyampaikan apa yang dikreasi oleh seniman kepada masyarakat. Ini yang jarang dilakukan. Kebanyakan orang-orang seni cuma berada di lingkungan seni, jarang keluar dari ranah komunitas seniman. Kalau pun ada, lingkupnya masih sebatas ketika ada pameran atau diskusi,” katanya.
Mendekatkan seni kepada masyarakat bukanlah tanpa alasan. Hangno percaya bahwa seni mampu menginspirasi masyarakat dan pemerintah di tengah upaya bersama untuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan Indonesia.
“Kalau kebudayaan itu stagnan, bangsa tidak akan maju. Makanya dibutuhkan orang-orang kreatif. Nah, tugas seniman itu adalah menginspirasi orang-orang untuk menciptakan kreasi baru. Orang-orang itu bisa siapa saja: politisi, pebisnis, guru, dan lainnya. Karena mereka semua juga adalah aktor kebudayaan,” katanya.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.