Organisasi Masyarakat Sipil Soroti Risiko Program Biodiesel B35
Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan untuk mendukung transisi energi menuju Net Zero Emission pada 2060. Salah satunya dengan penerapan Program Mandatori Biodiesel dengan kadar minyak nabati (biodiesel) yang terus ditingkatkan secara bertahap. Per 1 Agustus 2023, Program Biodiesel B35 (Biodiesel 35%) resmi diberlakukan secara nasional. Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan sejumlah dampak yang tidak diinginkan, terutama akibat persaingan dalam perolehan bahan baku antara industri pangan dan industri bahan bakar.
Program Biodiesel Nasional
Pemerintah Indonesia telah mencanangkan Program Mandatori Biodiesel sejak 2008. Program ini bertujuan menciptakan bahan bakar alternatif yang bersumber dari bahan-bahan nabati atau bahan-bahan organik lainnya. Beberapa sumber bahan bakar nabati (BBN) yang dapat digunakan antara lain minyak kelapa sawit, kelapa, jagung, buah jarak pagar, tebu, kacang suuk, kapuk, kanola, hingga kesambi.
Semula, campuran biodiesel yang diberlakukan sebesar 2,5%, yang berarti 2,5% minyak nabati dan 97,5% bahan bakar solar. Secara bertahap, kadar minyak nabati ditingkatkan menjadi 7,5% pada 2010; 10% hingga 15% pada rentang 2011-2015; 20% persen pada 2016; dan 30% pada 2020. Pada 1 Februari 2023, pemerintah mulai meningkatkan kadarnya menjadi 35% dan memberlakukannya secara nasional sejak 1 Agustus.
Kebijakan B35 ini diharapkan dapat menyerap 13,15 juta kiloliter biodiesel bagi industri dalam negeri, menghemat devisa sebesar USD10.75 miliar, meningkatkan nilai tambah industri hilir sebesar Rp16,76 triliun, dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 34,9 juta ton CO2.
Yang menjadi persoalan, sejauh ini, bahan bakar nabati yang digunakan sebagai campuran biodiesel di Indonesia masih sangat bergantung pada minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Hal inilah yang menjadi sorotan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Transisi Bersih.
Sejumlah Risiko
Koalisi Transisi Bersih memaparkan sejumlah risiko yang akan muncul akibat peningkatan bauran CPO dalam Program Mandatori Biodiesel ini.
- Persaingan Industri Pangan Versus Energi
Peningkatan kadar CPO untuk campuran biodiesel akan menyebabkan munculnya tarik menarik kebutuhan bahan baku ini antara industri pangan versus industri energi. Alokasi CPO yang tidak seimbang bisa memicu kelangkaan pasokan untuk pangan, seperti kasus kelangkaan minyak goreng pada tahun 2022.
“Jika kondisi dihadapkan pada pilihan antara pangan (minyak goreng) dan energi (biodiesel), maka stok akan selalu condong bergerak untuk kebutuhan yang menghasilkan nilai ekonomi lebih tinggi–dalam hal ini adalah biodiesel. Para pengusaha tentunya akan selalu lebih tertarik untuk memasok CPO untuk biodiesel ketimbang industri lainnya,” ujar Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien.
- Meluasnya Alih Fungsi Lahan
Sepanjang 2014-2022, peningkatan permintaan biodiesel berbasis CPO berbanding lurus dengan peningkatan luasan kebun kelapa sawit. Hal itu didasarkan pada penelitian berjudul Biofuels Development and Indirect Deforestation (2023). Pada periode tersebut terjadi peningkatan 4,25 juta hektare lahan sawit.
“Dan laju peningkatan terbesar terjadi setelah 2016, tepat setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan insentif atau subsidi untuk sawit lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Kondisi ini menunjukkan program biodiesel berpotensi menyebabkan deforestasi secara tidak langsung,” kata Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian.
- Meningkatkan Emisi
Alih-alih menurunkan emisi, pengembangan biodiesel yang bergantung pada minyak kelapa sawit justru berpotensi meningkatkan emisi akibat ekspansi lahan sawit untuk memenuhi kebutuhan energi baru tersebut. - Meningkatkan Potensi Konflik Tenurial
Selain dampak lingkungan dan ekonomi, pengembangan biodiesel berbasis sawit juga berpotensi menimbulkan dampak sosial, seperti meningkatnya potensi konflik tenurial.
Diversifikasi Bahan Baku Biodiesel
Mengingat berbagai risiko yang dihadapi, Koalisi Transisi Bersih mengingatkan pemerintah untuk tidak terus-menerus meningkatkan campuran CPO dan solar tanpa pengaturan yang jelas. Pemerintah juga tidak bisa hanya mengandalkan biodiesel berbasis komoditas sawit. Perlu adanya pengembangan diversifikasi bahan baku selain CPO atau pengembangan bahan bakar nabati dari sumber bahan non-pangan, di antaranya dengan pemanfaatan minyak jelantah.
Pengembangan biodiesel perlu menerapkan standar keberlanjutan yang tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi, tetapi juga aspek lingkungan dan sosial. “Seyogyanya, transisi energi bukan hanya sekadar substitusi energi, namun juga harus
memperhatikan aspek keberlanjutan dari hulu hingga hilir,” kata Uli Arta.
Editor: Abul Muamar
Maulina adalah Reporter & Peneliti untuk Green Network Asia - Indonesia. Dia meliput Indonesia bagian barat, tengah, dan timur.