Laporan International IDEA Ungkap Hubungan Antara Demokrasi dan Perubahan Iklim
Sekilas, demokrasi dan perubahan iklim mungkin terkesan seperti dua hal yang tidak ada kaitannya. Namun kenyataannya, demokrasi dan perubahan iklim saling berhubungan dan memengaruhi satu sama lain. Demokrasi adalah tentang rakyat, dan kita tahu bahwa rakyat adalah jantung pembangunan berkelanjutan. Laporan yang diterbitkan oleh International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) memaparkan hubungan antara demokrasi dan perubahan iklim di Asia-Pasifik.
Mengenal Demokrasi
Secara umum, demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Di negara demokratis, rakyat memilih perwakilan pemerintahan dan berpartisipasi dalam pemilihan umum.
Namun, di luar pengertian itu, demokrasi juga dapat dipahami sebagai seperangkat nilai dan prinsip. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan demokrasi sebagai prinsip yang menyediakan “lingkungan yang menghormati hak asasi manusia dan kebebasan mendasar.”
Lalu, bagaimana peran demokrasi dalam mengatasi permasalahan mendesak dunia, khususnya krisis iklim? Laporan bertajuk “Perubahan Iklim dan Demokrasi: Wawasan dari Asia dan Pasifik” yang dirilis oleh International IDEA menelusuri hubungan antara demokrasi dan perubahan iklim, termasuk peluang dan tantangan yang mungkin terjadi. Laporan ini menarik kesimpulan berdasarkan studi kasus dari 10 negara di kawasan Asia-Pasifik: Australia, Bhutan, India, india, Jepang, Singapura, Kepulauan Solomon, Fiji, Tuvalu, dan Vanuatu.
Demokrasi dan Perubahan Iklim
Negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik sangat rentan terhadap krisis iklim. Meskipun semua negara mengalami dampaknya, masing-masing negara mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mengatasi perubahan iklim. Tata kelola negara menjadi salah satu faktor yang menentukan.
Laporan International IDEA mengkaji studi kasus dari sepuluh negara dengan tata kelola demokrasi yang berbeda-beda dan tingkat kesiapan menghadapi perubahan iklim yang beragam. Berdasarkan studi kasus tersebut, ada dua temuan utama yang disampaikan dalam laporan. Pertama, tata kelola yang demokratis dapat mempengaruhi aksi iklim. Misalnya, ketika kebijakan publik dipengaruhi oleh kepentingan komersial, tokoh politik cenderung beradaptasi dan menjalankan misi mereka untuk memenuhi kepentingan jangka pendek tersebut. Hal ini menyisakan sedikit ruang bagi rencana aksi iklim yang konsisten karena kepentingan komersial terus berubah.
Pada saat yang sama, laporan tersebut juga menemukan bahwa berbagai inovasi demokratis telah dilakukan oleh berbagai negara dalam aksi iklim. Salah satunya dengan membentuk perencanaan di mana negara-negara membuat rencana aksi iklim jangka panjang yang spesifik untuk mengatasi kecenderungan komitmen jangka pendek para tokoh politik.
Meski tata kelola pemerintahan yang demokratis dapat menentukan aksi iklim, hal ini bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhinya.
Kedua, laporan ini menemukan bahwa lokasi geografis, kerentanan iklim, kapasitas dan sumber daya negara, ketergantungan pada pendanaan internasional, dan struktur ekonomi merupakan faktor penting dalam mengembangkan aksi iklim.
Mendukung Aksi Iklim Lewat Demokrasi
Demokrasi dan pembangunan berkelanjutan sama-sama berkiblat pada rakyat. Oleh karena itu, menggunakan demokrasi untuk mengatasi krisis iklim dan masalah-masalah buruk lainnya menjadi hal yang sangat penting. Laporan tersebut diakhiri dengan beberapa rekomendasi tentang bagaimana memanfaatkan kekuatan demokrasi untuk mendukung aksi iklim:
- Mengidentifikasi dan menerapkan cara-cara untuk membangun perencanaan demokratis yang lebih kuat dengan respons demokratis yang lebih kuat.
- Memperkuat semangat solidaritas dan demokrasi dengan melibatkan generasi mendatang dan alam, serta menerapkan semangat tersebut dalam berbagai undang-undang dan kebijakan.
- Menempatkan perspektif masyarakat adat sebagai pusat politik demokratis.
- Memastikan pendanaan internasional untuk aksi iklim tidak mengorbankan demokrasi suatu negara.
- Menumbuhkan multilateralisme dengan belajar dari pihak yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Baca laporan selengkapnya di sini.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Madina adalah Reporter di Green Network Asia. Dia adalah alumni program sarjana Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Dia memiliki tiga tahun pengalaman profesional dalam editorial dan penciptaan konten kreatif, penyuntingan, dan riset.