Petani Muda, Kelembagaan, dan Ketahanan Pangan Indonesia
Sejak lima tahun terakhir, banyak komunitas dan gerakan petani-petani muda yang peduli pada kondisi pertanian Indonesia. Mereka tumbuh, berkembang, dan menyebar dengan ilmu-ilmu pertanian yang berkelanjutan, membagikannya pada petani-petani di lapisan terbawah.
Dipa, yang kerap menyuarakan pendapatnya tentang pertanian melalui akun Twitter @tanikelana, adalah salah satu pemuda yang peduli dengan kondisi agraria di negeri ini. Lulusan Ilmu Hubungan Internasional (HI) UGM ini mengaku memiliki ketertarikan di bidang pertanian sejak duduk di bangku SMA, dan dengan proses pembelajaran yang ia tekuni, Dipa yang kini fokus bertani di Sukabumi juga melihat ada kaitan erat antara pertanian dengan pembangunan berkelanjutan.
Bersama teman-temannya, Dipa juga membentuk wadah untuk Co-Farming Space, bernama Ruang Kayahara. Sebagai hilir kegiatannya, Ruang Kayahara menjalankan program Community-Supoorted Agriculture (CSA).
Green Network berkesempatan berbincang dengan Dipa melalui panggilan telepon pada Senin, 30 Agustus 2021 lalu.
Dipa menyebutkan sempat meneliti tentang perbedaan produksi beras Indonesia dengan Thailand. Boleh jelaskan sedikit?
Secara statistik, populasi Thailand lebih sedikit dibandingkan Indonesia, sehingga itu berpengaruh terhadap konsumsi beras Indonesia yang tentu lebih banyak. Dan sayangnya, hal ini ikut berkaitan dengan tren penurunan luas sawah serta hal-hal lainnya.
Kemudian, dari segi kebijakan—mungkin dari era pemerintahan Presiden Soeharto—tidak ada pemetaan yang jelas tentang arah pembangunan produksi beras nasional. Itu yang paling kelihatan. Memang dulu Presiden Soeharto memulai dengan Revolusi Hijau dan transmigrasi, serta ada juga kebijakan Lahan Gambut Satu Juta Hektar, tapi itu tampak berjalan tanpa tujuan yang jelas.
Bahkan sampai sekarang, ada program revitalisasi pertanian dan peternakan, tapi seperti tidak ada strategi yang jelas dan tidak ada keberpihakan serta otoritas formal yang terarah.
Menariknya, di Thailand, Thaksin Shinawatra dulu berhasil mengumpulkan suara penduduk dari kebijakan tentang penanganan beras yang dilakukan oleh pemerintah dengan dana APBN. Nah, di Indonesia, politisi kita kurang punya gambaran tentang bagaimana memanfaatkan mesin negara untuk mendukung kepentingan populis. Meskipun, saya juga bersyukur itu tidak terjadi, karena akan ada bahaya tersendiri bagi masyarakat.
Selama 5 tahun terakhir, apakah ada perubahan dalam kondisi pertanian Indonesia?
Kalau kita lihat secara legislatif, di akhir tahun 2018 ada RUU Budidaya Pertanian Berkelanjutan, RUU Koperasi, dan ada RUU Pertanahan yang pasal-pasalnya kurang berpihak pada petani. Misalnya, pasal dalam RUU Budidaya Pertanian Berkelanjutan sangat mengancam kedaulatan dan keragaman benih lokal di Indonesia. Jadi cukup jelas bahwa kondisi yang ada belum berubah menjadi lebih baik.
Banyak sekali anak-anak muda perkotaan yang belum terlalu paham atau tidak tertarik untuk belajar dan mendalami topik pertanian karena menganggap bahwa bertani bukanlah pekerjaan yang menjanjikan. Apakah kondisi serupa juga ditemui di wilayah pedesaan?
Sayangnya, iya. Kalau kita melihat data, daerah-daerah penghasil beras seperti Indramayu, Cianjur, dan Sukabumi punya tingkat kemiskinan pedesaan yang cukup tinggi. Bahkan daerah penghasil tembakau seperti Kedu dan Temanggung juga termasuk daerah miskin, padahal mereka adalah petani tembakau. Menyedihkan jika melihat daerah pedesaan malah jadi salah satu daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Ini semua ada di data, jadi bukan hanya sekadar mitos atau anggapan.
Konteks ini juga berlaku untuk perkebunan sayuran dan buah?
Sebetulnya ini menarik. Soal sayuran dan buah, memang ada anggapan bahwa di sana lebih menjanjikan, tapi ada juga fakta yang perlu digarisbawahi, yaitu adanya volatilitas pasar yang begitu tinggi. Makanya sering terjadi fenomena harga produk hari ini begitu tinggi, tapi besoknya harga tiba-tiba hancur. Artinya, margin untuk hutang atau penggantian kerugian bagi petani juga tinggi.
Menurut Dipa, bagaimana potensi pertanian perkotaan atau urban farming untuk ketahanan pangan?
Selama ini, salah satu faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan adalah jarak distribusi dari petani ke konsumen. Oleh karena itu, pertanian perkotaan adalah salah satu aspek penting untuk perbaikan sistem pangan. Tapi di konteks ini, kita juga perlu melihat kembali siapa pelaku pertanian perkotaan. Ketika aktor yang berada di baliknya adalah orang-orang yang punya lahan atau yang memiliki kapital luas, dan model pertanian yang dibangun adalah pertanian industrial, ini tidak akan menyelesaikan masalah pangan.
Tapi ketika kita melihat pertanian perkotaan sebagai gerakan sosial, yang menciptakan lapangan kerja untuk kaum miskin perkotaan, atau membangun sistem pangan solidaritas, inilah yang bisa jadi salah satu alternatif dan harapan. Banyak sekali potensi yang bisa digali.
Idealnya, model pertanian perkotaan seperti apa yang bisa jadi bagian dari solusi jika tidak banyak lahan yang tersedia di kota?
Ada contoh negara Kuba sebagai salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tinggi. Dalam salah satu periode sejarah, mereka pernah mengalami krisis pangan yang kemudian mendorong warganya untuk mengubah lahan-lahan kosong di kota menjadi lahan pertanian.
Areanya tidak luas, seperti satu sudut lahan rumah sakit, sekolah, atau gedung milik pemerintah, tapi bisa dijadikan lahan pertanian. Lalu, dari konsep pertanian industrial menggunakan bahan-bahan kimia, diubah juga ke pertanian organik—mereka menyebutnya Organopónicos. Pengolahannya dikelola secara kolektif, semacam kelembagaan seperti koperasi. Itu juga belum ada di Indonesia.
Di konteks ini, lahan memang terbatas, tapi akan selalu ada. Entah itu di rumah atau di lahan kosong parkiran yang ukurannya tidak lebih dari 100 meter. Di daerah Jakarta Selatan, Jakarta Barat, atau Tangerang saja, masih banyak lahan-lahan seperti ini, cukup lah untuk produksi sayur.
Kalau Reformasi Agraria belum dapat dilakukan sebagai kebijakan solutif, apakah mungkin kita bisa berkontribusi dari bawah ke atas?
Sangat mungkin! Apalagi dalam lingkup politik lokal, sangat bisa mendorong regulasi terkait aspek tenurial atau aspek agraria yang pro-petani.
Di luar politik formal, kita juga bisa mengusahakan perubahan skema tenurial. Contohnya seperti apa yang diusulkan Mohamad Shohibuddin, dosen IPB, tentang skema wakaf agraria. Lahan-lahan terlantar yang pemiliknya punya keberpihakan sosial, bisa mewakafkan tanahnya untuk digunakan sebagai basis pertanian produktif. Ini sangat bisa dilakukan, karena kita juga melihat adanya tren filantropi di masyarakat saat ini.
Wakaf juga punya hukum yang lebih kuat dibandingkan hukum nasional. Contohnya, ketika ada sebuah lahan yang awalnya ditujukan untuk pertanian, sering kali kemudian justru dijadikan ruko. Nah, ketika ini berupa tanah wakaf untuk pertanian, saya rasa agak jarang ada orang yang berani mengubah penggunaan lahan itu. Meskipun ada banyak kasus wakaf masjid atau wakaf makam yang lantas digusur oleh perusahaan-perusahaan, dalam konteks wakaf pertanian, saya rasa hal ini mampu mendorong masyarakat biasa untuk mempertahankannya.
Memang penting juga bagi petani dan produsen perkebunan untuk berjejaring dengan teman-teman yang punya sumber daya lahan; untuk membangun jaringan solidaritas sosial.
Tadi disebutkan juga bahwa distribusi dari produsen ke konsumen adalah salah satu kendala. Bagaimana caranya agar kita yang berada di sektor rumah tangga ikut berkontribusi memecahkan masalah itu?
Kuncinya satu: kelembagaan. Sering kali para petani dan konsumen berjalan sendiri-sendiri, padahal dalam konsep Community-Supported Agriculture (CSA), satu petani bisa menanam berbagai jenis sayuran lalu menyuplai ke rumah tangga. Misalnya, dalam minggu ini mereka menanam sayuran A, kemudian minggu depan sayuran B, dan seterusnya.
Dalam konteks ini, jarak maksimal tetap perlu diperjelas karena nantinya kita juga akan bicara mengenai emisi jejak karbon dan kualitas sayur itu sendiri jika jarak distribusi terlalu jauh.
Itu sebabnya kelembagaan berperan penting, termasuk membaca permintaan serta memahami komoditas dan pasar. Karena contoh yang sering sekali terjadi adalah distribusi buah naga dari Banyuwangi atau cabai dari Jember yang justru dikirim ke Jakarta.
Bagaimana pelaksanaan rantai perolehan sumber daya yang bertanggung jawab (responsible supply chain) dalam konteks pertanian?
Ada perubahan pola budidaya yang lebih ramah lingkungan. Misalnya untuk padi, yang diketahui sebagai salah satu penghasil gas metana, bisa menerapkan System of Rice Intensification (SRI) sehingga bisa mengubah manajemen penanaman agar menjadi mini-metana.
Kembali soal jarak distribusi, akan sulit menjadikannya berkelanjutan jika masih ada praktik pengiriman beras dari Papua untuk suplai di Jawa. Yang penting ada fair trade juga dalam proses distribusi.
Bagaimana peranan Koperasi di sini?
Petani biasanya tidak punya uang dan aset, sehingga hal ini menjadi kelemahan bagi mereka untuk bisa mengatur pola tanam yang berkelanjutan. Koperasi bisa menghimpun sumber daya, baik dari petani atau dari konsumen, supaya penerapan budidaya berkelanjutan tadi bisa tercapai. Misalnya, dalam pengadaan pergudangan dan pengolahan hasil panen.
Pemetaan market, membangun kelembagaan distribusi, dan juga yang paling penting dan paling krusial adalah perannya untuk kepemilikan aset dan peralatan bersama agar bisa menekan biaya bersama-sama. Karena akan sangat susah bagi petani miskin untuk berjalan sendiri. Itulah yang sering terjadi di pemerintahan. Petani miskin, petani kesusahan, tapi pemerintah menyuruh mereka untuk melakukan semuanya sendiri. Sama saja seperti menyiram cuka ke luka.
Boleh jelaskan sedikit tentang Ruang Kayahara?
Ruang Kayahara adalah komunitas yang saya dirikan bersama beberapa orang teman, lokasinya di Sukabumi. Kami ingin mendirikan semacam kelembagaan atau koperasi yang berfokus pada perbaikan manajemen budidaya dan pengolahan hasilnya. Konsepnya seperti Co-Working Space di kalangan pekerja digital, namun kami sesuaikan sebagai Co-Farming Space. Lahannya berupa kebun eksperimen, tempat bekerja alternatif untuk anak muda, menjadi tempat petani muda lahir dan berkembang bersama. Sembari berkebun (dan kerja kepeloporan lainnya), kita bisa menerapkan teknologi tepat guna dalam bertani dan membagi pengetahuannya bersama petani lain. Namun saat ini kami sedang hiatus.
Apa harapan untuk pemerintah?
Banyak! Pemerintah punya banyak kesempatan dan wewenang untuk memecahkan masalah struktural dengan memperbaiki regulasi seperti Reformasi Agraria, akses lahan, skema tenurial, membangun infrastruktur, logistik—itu akan sangat membantu petani. Sering kali kita lupa bahwa mereka dimiskinkan oleh sistem. Sehingga ada banyak kebijakan dan program yang bisa dilakukan gerakan sipil dan pemerintah bersama-sama.
Lalu sebagai individu, hal terkecil apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, dukung inisiatif-inisiatif pro petani. Seperti mendirikan CSA, membeli langsung dari petani, atau membeli dari pedagang yang jelas pembagian keuntungannya dengan petani.
Kedua, berbagi pengetahuan ke petani juga penting. Misalnya pengetahuan soal mekanisasi otomasi mesin, atau tentang hama dan penyakit, atau soal pupuk. Ada banyak celah yang bisa diisi oleh simpatisan pro petani terkait permasalahan di lapangan.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.