Paradoks AZEC: Potensi Peningkatan Emisi dalam Kerja Sama Dekarbonisasi
Kemitraan telah menjadi salah satu pilar utama dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan seperti penanganan perubahan iklim. Kerja sama antar negara adalah hal penting karena negara tidak bisa bekerja sendiri untuk menjaga suhu Bumi agar tetap di bawah 1,5 derajat celcius. Terkait hal ini, Indonesia menjalin kerja sama dengan beberapa negara dalam upaya mengurangi tingkat emisinya, salah satunya dengan Jepang lewat inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC). Namun, laporan dari Zero Carbon Analytics pada 4 Oktober 2024 menemukan bahwa kemitraan ini berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca.
Asia Zero Emission Community (AZEC)
AZEC merupakan sebuah platform kerja sama yang dipelopori Jepang untuk mencapai netralitas karbon atau nol emisi di kawasan Asia. AZEC resmi diluncurkan pada tahun 2023 oleh 11 negara mitra, termasuk Indonesia.
Sebelumnya, Indonesia sudah menyambut baik inisiatif Jepang pada tahun 2022 dengan bergabung menjadi inisiator untuk mewujudkan AZEC. Bergabungnya Indonesia disusul dengan dukungan Jepang yang memobilisasi sumber daya dan pendanaan dari institusi publiknya untuk mempercepat proses transisi energi Indonesia. Misalnya, PLN menandatangani sejumlah nota kesepahaman/Memorandum of Understanding (MoU) sehingga mendapat bantuan pendanaan sekitar 500 juta dollar hingga kerja sama dengan bank dan komunitas bisnis di Jepang.
Indonesia menjadi negara mitra yang paling banyak menandatangani MoU dengan Jepang, yaitu 43% dari seluruh MoU yang menjadi bagian dari inisiatif AZEC. Sayangnya, laporan dari lembaga penelitian internasional, Zero Carbon Analytics, menilai bahwa banyak dari kesepakatan tersebut justru berpotensi memperpanjang pemanfaatan energi fosil dan meningkatkan emisi gas rumah kaca.
Potensi Peningkatan Emisi dalam AZEC
Berdasarkan temuan Zero Carbon Analytics, dari 158 MoU yang telah ditandatangani dalam AZEC, 56 di antaranya terkait teknologi bahan bakar fosil seperti gas alam cair/Liquefied Natural Gas (LNG), amonia, dan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon/Carbon Capture Storage (CCS). Dari jumlah tersebut, 27 di antaranya adalah MoU yang disepakati oleh Indonesia.
Zero Carbon Analytics menyoroti permasalahan LNG karena proses mengubah gas alam menjadi cair dapat menghasilkan sejumlah besar metana yang berdampak terhadap pemanasan global. Lewat kemitraan AZEC, Jepang telah menggelontorkan dana jutaan dolar AS untuk pengembangan infrastruktur LNG di Asia Tenggara. Misalnya, Proyek LNG Tangguh di Papua Barat dan pengembangan LNG Abadi di Masela, Maluku.
Lebih lanjut, laporan tersebut juga menyoroti penggunaan co-firing amonia atau pembakaran bersama amonia dengan batu bara untuk sumber tenaga pembangkit listrik. Praktik ini dapat menjadi masalah karena bisa digunakan sebagai justifikasi oleh pemerintah untuk terus melanjutkan operasi PLTU. Apalagi, praktik ini juga dinilai lebih mahal dan banyak yang mengalami kegagalan sehingga menunjukkan bahwa amonia bukanlah opsi yang tepat untuk dekarbonisasi. Banyak perusahaan Jepang yang telah mengajukan inisiatif untuk mendorong co-firing amonia di berbagai PLTU, misalnya PLTU Suralaya di Banten, Paiton di Jawa Timur, dan PLTGU di Muara Karang, Jakarta. Padahal, PLTU-PLTU ini telah menyebabkan banyak dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat sekitar dan perekonomian serta menghasilkan limbah dalam jumlah besar.
Sementara itu, CCS juga sudah banyak dinilai menawarkan “solusi palsu” karena diragukan keefektifannya dalam mengurangi emisi karbon. Akan tetapi, banyak di antara MoU di bawah AZEC yang menyepakati proyek CCS, terutama untuk sektor minyak dan gas. Misalnya, lapangan minyak Sukowati di Jawa Timur yang merupakan kesepakatan antara Pertamina dan Japan Petroleum Exploration Corporation pada pertengahan 2023. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) AZEC kedua pada Agustus 2024, proyek ini disepakati akan diteruskan dalam skala yang lebih besar.
Tidak hanya Zero Carbon Analytics, kelompok masyarakat sipil seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga mengkritik kesepakatan-kesepakatan yang disetujui dalam AZEC. Selain menyebut tentang teknologi yang bisa memperpanjang penggunaan energi fosil seperti di atas, WALHI juga menyoroti implementasi AZEC yang tidak transparan, ancaman perampasan lahan dan ruang laut, deforestasi, kerusakan lingkungan, serta pelanggaran hak asasi manusia dalam berbagai proyek yang disepakati oleh Indonesia dan Jepang.
Kemitraan untuk Transisi Energi Berkeadilan
Mewujudkan nol emisi memang membutuhkan berbagai upaya kerja sama antar negara. Namun, memastikan bahwa kerja sama ini tidak menjadi greenwashing (dilabeli dekarbonisasi namun justru berkesempatan memperpanjang pemanfaatan energi fosil) merupakan hal krusial. Pemerintah Indonesia secara khusus harus menata ulang prioritas dalam kebijakan dekarbonisasi agar baik sumber energi maupun teknologi yang digunakan benar-benar berkelanjutan dan merupakan alternatif terbaik untuk menghentikan penggunaan energi fosil. Selain itu, penting juga untuk memastikan adanya partisipasi dari masyarakat adat dan kelompok dan organisasi masyarakat sipil agar setiap rumusan kebijakan dan kesepakatan dapat mewujudkan transisi energi yang berkeadilan.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Nisa adalah Reporter di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.