Kerangka Hukum Perubahan Iklim untuk Memastikan Aksi Iklim Global yang Adil
Meski perubahan iklim dirasakan oleh semua orang, masyarakat di negara-negara berkembang pulau kecil merasakan dampak yang lebih parah. Dampak-dampak tersebut menimbulkan ancaman nyata terhadap kelangsungan hidup mereka, termasuk kenaikan permukaan laut hingga intrusi air asin. Oleh karena itu, memastikan aksi nyata untuk mengatasi perubahan iklim sangatlah penting dan memerlukan komitmen dan partisipasi kolektif dari semua pihak. Dalam hal ini, kerangka hukum perubahan iklim di bawah hukum internasional diperlukan untuk memastikan tindakan iklim yang adil dan menjamin partisipasi penuh negara-negara di dunia.
Negara-negara yang Terdampak Paling Parah
Mayoritas emisi gas rumah kaca berasal dari negara-negara besar, termasuk Tiongkok, Amerika Serikat, dan India, yang secara kolektif menyumbang sekitar 64% dari total emisi gas rumah kaca global. Negara-negara tersebut sangat bergantung pada bahan bakar fosil untuk mendukung perekonomian mereka yang besar di berbagai industri, seperti barang konsumsi, transportasi, dan energi. Sejauh ini, upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi emisi di setiap negara masih jauh dari cukup.
Di sisi lain, negara-negara Pasifik menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat kecil, dan secara kolektif hanya menyumbang 0,03% dari total emisi global. Ironisnya, negara-negara berkembang pulau kecil di Pasifik menghadapi dampak krisis iklim yang jauh lebih besar karena ketergantungan mereka pada sumber daya alam.
Sebagai contoh, di Tonga, intrusi air asin telah berdampak buruk pada pasokan air tanah, sehingga memaksa masyarakat di negara itu bergantung pada pengumpulan air hujan atau air impor. Intrusi air asin merusak sumber air tawar dan mengancam ketersediaan air bersih untuk sanitasi dan pertanian, yang merupakan sumber pendapatan utama mereka.
Selain itu, kondisi geografis Pasifik membuat mereka lebih rentan terhadap kenaikan permukaan air laut. Menurut IPCC, permukaan air laut telah meningkat rata-rata 3,7 mm per tahun sejak tahun 2006, dan negara-negara berkembang pulau kecil terancam tenggelam pada akhir abad ini jika emisi gas rumah kaca tidak dikendalikan secara efektif.
Penambahan Kerangka Hukum Perubahan Iklim
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai upaya telah dilakukan untuk melibatkan semua negara dalam menangani perubahan iklim secara serius. Kerangka kerja internasional dan konferensi-konferensi besar, seperti Perjanjian Paris, Konvensi Keanekaragaman Hayati, dan acara tahunan seperti COP, memandu negara-negara dalam mengatasi krisis ini.
Namun, upaya yang telah dilakukan sejauh ini masih belum cukup untuk mencapai kemajuan yang diperlukan untuk menghentikan krisis yang terjadi. Sebagai contoh, hasil COP29 dipandang tidak memadai, dan hanya sejumlah kecil tujuan pendanaan iklim yang disetujui. Banyak negara yang gagal menunjukkan komitmen mereka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dan beberapa perwakilan negara pulau kecil bahkan meninggalkan pertemuan (walk-out) karena diskusi yang sepihak dan tidak membuahkan hasil.
Oleh karena itu, kerangka hukum tambahan dan opini hukum menjadi penting dalam menetapkan standar global mengenai perubahan iklim dan memberikan referensi bagi negara-negara untuk mengambil tindakan nyata seperti mitigasi dan adaptasi. Penting juga untuk menetapkan kewajiban bagi negara-negara dengan emisi tinggi untuk berkontribusi secara adil dalam mengatasi krisis iklim.
Pada awal Desember 2024, Mahkamah Internasional (ICJ) mempertimbangkan permintaan pendapat penasehat mengenai kewajiban negara terhadap perubahan iklim. Proses persidangan ini bertujuan untuk mengurai bagaimana negara-negara harus mengatasi krisis iklim yang semakin meningkat dan konsekuensi yang akan mereka hadapi jika mereka gagal mengambil tindakan.
Memperjelas tanggung jawab negara dalam aksi iklim dan melindungi lingkungan dari gas rumah kaca yang berbahaya adalah hal yang krusial. Meski tidak mengikat secara hukum, pendapat penasehat ICJ punya pengaruh hukum dan politik yang signifikan dan dapat mempengaruhi hukum dan tindakan internasional mengenai perlindungan iklim di masa depan.
Tanggung Jawab yang Berbeda
Negara-negara berkembang pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan iklim, dan hal ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak akan bantuan keuangan dan sumber daya untuk memitigasi dampaknya. Meskipun aksi iklim merupakan tanggung jawab semua negara, penting untuk mengakui prinsip Tanggung Jawab Bersama namun Berbeda (CBDR), yang mengakui bahwa setiap negara memiliki tingkat tanggung jawab yang berbeda-beda dalam hal perlindungan lingkungan.
Komunitas internasional, termasuk individu, pemerintah, dan organisasi, harus mendorong kerangka kerja yang adil dalam hukum internasional sebagai landasan untuk memaksakan kewajiban dan tekanan untuk mewujudkan dukungan, komitmen, dan tindakan yang lebih besar dari negara-negara yang memiliki tanggung jawab terbesar atas perubahan iklim. Pada akhirnya, tindakan kolektif dan kontribusi yang adil sangat penting dalam memastikan ketahanan iklim dan perlindungan dari ancaman nyata bagi semua orang.
Editor: Kresentia Madina & Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Dinda adalah Reporter di Green Network Asia. Dia belajar Ilmu Hubungan Internasional di President University. Dinda bersemangat menulis tentang isu keberagaman, konsumsi berkelanjutan, dan pemberdayaan.